"Politik kita sudah menjadi
politik nasar, politik para pemakan bangkai," tegas seorang kawan
dengan berapi-api dalam diskusi rutin yang biasa kami selenggarakan. Nasar
adalah jenis burung pemakan bangkai, seperti juga burung kondor. Semula
saya sempat kaget karena menyangka ia Nazar, Nazaruddin; yang dulu tampak
pucat dan ketakutan ketika kali pertama tiba di Indonesia pasca
penangkapannya; tapi sekarang tampak begitu enjoy dan bahkan berani
cengengesan setiap kali diwawancarai oleh krew televisi terkait kasus
korupsi yang melanda bangsa ini.
"Ungkapan
'berlomba-lombalah dalam kebaikan', sekarang diplesetkan jadi
'berlomba-lombalah dalam memburu bangkai'. Orang tidak lagi memikirkan
rakyat, tapi mengerahkan seluruh energinya untuk mengais-ngais, mencari
kelemahan lawan politiknya."
"Bukankah yang demikian
justru menguntungkan rakyat, semua ditelanjangi sehingga tak ada lagi yang
bisa bersembunyi dari kebusukannya sendiri?" sergah seorang kawan.
Mengikuti perdebatan tersebut,
yang terlintas pertama kali di pikiran saya adalah: rakyatlah yang pertama
kali akan jadi korban. Mereka sudah sangat sengsara, tapi setiap hari masih
dipaksa mengikuti sinetron tidak bermutu dari para nasar. Akibatnya, mereka
cuma bisa diam. Diam orang yang menunggu sesuatu. Diam yang mencekam.
Ada istilah bahasa Jawa yang
tepat untuk menggambarkan situasi diam menunggu ini, yaitu: tintrim. Sunyi
yang mencekam. Sunyi ini terasa mencekam, karena rakyat bukannya tidak tahu
bahwa selama ini prioritas bagi kepentingan mereka hampir selalu berada di
posisi paling buncit; dan mereka tak punya kekuatan yang memadai untuk
merubahnya.
Harapan Semu
Mereka toh tidak mungkin
beramai-ramai menggelar demonstrasi, agar kepentingannya diperhatikan,
misalnya. Jadi, tidak ada yang bisa mereka lakukan kecuali menunggu dan
berharap-harap cemas akan adanya perubahan yang menguntungkan mereka.
Paling tidak, selama delapan
tahun terakhir, rakyat telah begitu banyak belajar. Mereka sudah begitu
banyak menelan pil pahit, karena harapan mereka yang menggebu sering harus
berakhir dengan kekecewaan. Tak heran, bila mereka tak mau kembali
terperosok pada lubang yang sama. Mereka tak mau lagi ceroboh membaca janji
sebagai kenyataan; sehingga - seperti yang sudah-sudah - gampang
terprovokasi untuk meluapkan kegembiraan, begitu tokoh yang sudah membius
mereka dengan janji-janji indah, duduk di tampuk kekuasaan.
Bayangkan, sejak reformasi
dimulai, rakyat senantiasa dibayangi harapan yang tanpa ragu terus
diguyurkan elite politik: 'inilah saat perubahan'. Harapan semacam ini
bahkan nyaris jadi mantra, karena selalu diulang sebagai komoditas politik
setiap kali ada pergantian rezim.
Harapan-harapan rakyat yang
pada awalnya senantiasa demikian menggelembung ini, pelan-pelan - tapi
hampir pasti - selalu gembos begitu sebuah rezim mulai berkuasa dan
memperlihatkan kebijakan dan kinerjanya. Orang bisa saja berdebat, bahwa
setiap rezim yang pernah berkuasa sejak reformasi, dengan skala dan
intensitasnya sendiri-sendiri, pada dasarnya telah menyumbang penyelesaian
bagi tumpukan masalah yang mendera Republik ini.
Tapi, betapapun bagi rakyat,
tampaknya ini semua telanjur dipersepsi sebagai kegagalan. Paling tidak,
karena jejaknya dianggap tidak terlihat dalam kenyataan keseharian mereka.
Kini, di saat rakyat makin
terjepit, ketika kehidupan makin terasa pahit; bukannya jalan keluar yang
ditawarkan, tapi malah sinetron para nasar yang disajikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar