Perilaku keagamaan manusia
dapat dilihat dari dua sudut hukum Islam, yaitu hukum secara formal dan
esensi atau substansi dari sudut ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ibadah manusia bermakna keagungan Tuhan dan kebajikan untuk manusia
sendiri. Maka, penilaian berdasarkan perspektif sosiologis, psikologis,
ekonomis dan agama sangat menentukan untuk melihat peribadatan manusia.
Asumsi ini sepadan dengan
tesis Kuntowijoyo tentang humanisme teosentrik, yaitu melihat perilaku
keagamaan manusia pada tingkat keimanan kepada Tuhan dan kemaslahatan
manusia seutuhnya. Ibadah haji merupakan titik sinkron dari iman dan
keislaman seseorang untuk mencapai Tuhan-nya. Ibadah haji menjadi upaya
manusia untuk menyucikan diri dari berbagai dosa dan virus kemanusiaan,
politik dan sosial lainnya.
Menarik kiranya ketika kita
mengapresiasi ibadah haji dalam ranah dosa korupsi yang tengah melanda
manusia Indonesia. Menelaah dosa korupsi dalam perspektif moralitas
keagamaan akan berpangkal pada sebuah tanya, dapatkan haji menghapus dosa
korupsi manusia? Aaumsi ini berangkat dari sebuah realitas bahwa haji
semakin membludak, korupsi dana haji, antrean haji dan korupsi yang semakin
parah menyerang manusia Indonesia.
Haji merupakan simbol
perwujudan akhir dari perjalanan keagamaan manusia. Makanya, haji
diletakkan sebagai rukun Islam kelima, hanya orang mampu dan kuat secara
mental dan ekonomi yang bisa melaksanakannya. Haji menjadi simbol
kesempurnaan rukun Islam seseorang. Orang yang berhaji harus orang yang
mampu secara mental dan ekonomi.
Haji menjadi wujud dari
keselarasan antara idealisme dan praktek dan keselarasan iman dan keislaman
manusia itu. Covey (1996) menelaah haji sebagai pusat prinsip (principle centered), kesadaran diri
(self awarness), dan suara hati (conscience) manusia yang memberikan
rasa intrinsik yang dalam pada diri manusia untuk mencapai cita-cita
keagamaanya.
Cita-cita manusia menunaikan
haji adalah membersihkan diri dari segala dosa dan kehinaan duniawi. Haji
merupakan simbol persona-vertikal manusia dengan Tuhan-nya, yaitu tempat
mengadu, bercengkrama dan berkomunikasi agar dibersihkan dari segala
kesalahan di masa lalu.
Tidak Menghapus Dosa
Korupsi yang melanda Indonesia
akan menarik jika kita menelaahnya dalam cara pandang moralitas agama,
yaitu ibadah haji. Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang berkaitan
dengan negara, bangsa dan masyarakat. Kejahatan korupsi atau dosa korupsi
yang dilakukan oleh manusia, baik pejabat, elit politisi lainnya atau orang
yang terlibat suap-menyuap tidak akan mampu dibersihkan dengan ritual haji.
Dalam sebuah hadis, Nabi
Muhammad saw bersabda bahwa, kebaikan akan menghapus kejahatan yang pernah
kita lakukan. Kebaikan akan dihapuskan oleh Tuhan kalau kejahatan itu
berhubungan langsung dengan Tuhan. Akan tetapi, kalau berhubungan dengan
manusia, maka konsekwensi sosiologis harus dipertanggungjawabkan oleh
manusia itu, jalannya adalah bertaubat atau minta maaf pada manusia.
Dosa korupsi merupakan dosa
yang berhubungan langsung dengan manusia. Jadi dalam logika hukumnya,
berlaku dua hukum, yaitu pertaubatan pada manusia (Haq al-Adamy) dan Tuhan. Ketika orang menunaikan haji tetapi
masih tersangkut dosa korupsi, maka himmah dan cita untuk mencapai
"manusia fitri" atau kembali suci tidak akan pernah tercapai
kalau hartanya masih belum disucikan. Dosa korupsi tidak akan terhapus
dengan haji, karena hak orang (uang) tidak dikembalikan kepada yang berhak.
Hal ini sejalan dengan Hadis
Nabi yang berbunyi bahwa kewajiban orang bertaubat yang memiliki dosa pada
anak adam memiliki empat syarat, yaitu menyesal, konsekwen tidak akan
mengulangi kesalahan yang sama, bertaubat dengan sungguh-sungguh dan
terakhir mengembalikan hak anak adam.
Sedangkan kewajiban
sosial-politik orang yang korupsi adalah mengembalikan harta hasil korupsi
dan secara teologi kewajiban itu adalah bertaubat pada Allah untuk
membersihkan dirinya dari dosa-dosa yang dibuatnya. Haji sebagai media
pertaubatan diri, pembersihan diri lewat komunikasi langsung dengan sang
pencipta dilakukan di Kabah. Dan, renungan spiritual Ibrahim dengan biaya
yang sangat mahal harusnya tidak dikerjakan dengan harta yang tidak halal.
Pertanggung jawaban secara
sosial dan teologis dituntut untuk segera dilakukan. Nabi mengisyaratkan
bahwa, "Harta haram dan harta
halal yang dikumpulkan, maka menjadi haram seluruhnya".
Kalau uang yang dibawa berhaji
berasal dari uang haram yang didapat dari korupsi atau suap-menyuap, maka
tidak akan bisa menjadi halal karena melakukan pertaubatan atau karena
perbuatan salah itu sudah dimaafkan. Perbuatannya mungkin akan terhapus
dengan bertaubat, tetapi hasil perbuatannya itu harus dikembalikan pada
yang berhak.
Dosa korupsi tidak akan pernah
bisa diwariskan kepada anak keturunan, tetapi akan diminta pertanggung
jawabannya baik di dunia maupun di akhirat. Dosa korupsi tidak akan
dihapuskan lewat haji.
Perjalanan haji harus
dibarengi dengan seluruh jiwa dan raga yang bersih pula. Tidak mungkin,
kita berkunjung ke rumah Tuhan dengan membawa harta yang haram. Perjalanan
haji adalah perjalanan batin dan renungan spiritual yang mendalam manusia
untuk mencapati "titik pusat", Tuhan. Fritjof Schoun menyebutkan
bahwa perjalanan haji ke Ka'bah yang merupakan perwujudan dari perjalanan
batin menuju hati dan menyucikan jasmani. Puncaknya, perjalanan haji harus
mampu melahirkan manusia fitri yang utuh seperti baru dilahirkan.
"Manusia haji" dalam bentuk apa pun harus berhasil
menjadi "manusia baru" yang lepas dari segala dosa sdan kesalahan
masa lalunya, serta tidak mengulang lagi pasca berhaji. Tranformasi diri
menjadi manusia fitri harus mewujud dalam setiap sikap, perilaku dan
kesadaran diri dalam hubungannya dengan Tuhan dan mahluk sosialnya, hingga
terbebaskan dari beban sosialnya.
Orang yang berhaji dengan
harta yang tidak halal, maka hajinya tidak akan pernah mampu menghapus dosa
korupsi yang dilakukan terhadap rakyat, negara dan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar