Jumat, 15 Maret 2013

Presiden 2014


Presiden 2014
Ahmad Syafii Maarif ;  Pendiri Maarif Institute
KOMPAS, 15 Maret 2013

  
Jika proses ritual demokrasi Indonesia berjalan lancar, tahun 2014 akan ada lagi pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk parlemen pusat, DPD, dan pemilihan presiden RI yang ketujuh (atau kedelapan jika Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia dimasukkan dalam daftar).
Pemilihan presiden langsung baru dimulai 2004 sebagai pelaksanaan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan presiden dan wakil dipilih secara langsung, sebagaimana juga berlaku dalam pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Biayanya memang sangat besar, tetapi inilah risiko yang harus dipikul negara sesuai dengan perubahan UUD yang terasa dikerjakan kurang cermat di tengah euforia demokrasi yang eksesif.
Peradaban Demokrasi Rendah
Karena tingkat peradaban demokrasi Indonesia masih berada di bawah standar jika diukur dengan tujuan yang hendak diraih oleh Indonesia Merdeka, Pilpres 2014 menjadi sangat krusial dan penting. Jika sosok yang terpilih punya potensi menjadi negarawan, ada harapan demokrasi Indonesia akan meninggalkan corak yang serba ritual dan prosedural menuju terciptanya sebuah demokrasi substansial yang sepenuhnya berpihak ke kepentingan rakyat banyak. Isu-isu keadilan dan kesejahteraan yang selama ini masih tergantung di awan tinggi, di bawah pimpinan para negarawan dari pucuk tertinggi sampai ke akar yang paling bawah, secara berangsur dan pasti akan menjadi kenyataan dalam formatnya konkret.
Namun, jika yang tampil adalah mereka yang miskin visi dan tunamoral, kondisi Indonesia yang sudah lama berkubang dalam dosa dan dusta akan kian rontok, tunamartabat, dan sunyi dari keadilan. Dengan demikian, 2014 akan jadi momen krusial bagi sistem demokrasi yang tidak saja sangat kritikal, tetapi juga akan menentukan corak hari depan bangsa dan negara ini, apakah masih berdaulat atau kedaulatan pindah tangan melalui agen-agen domestik pihak asing yang telah kehilangan harga diri sebagai manusia merdeka. Di bawah kendali para agen ini, tidak banyak gunanya bagi tuan dan puan untuk berbicara tentang kedaulatan politik dan kedaulatan ekonomi, sebuah cita-cita mulia yang dulu dijadikan pedoman dan acuan utama oleh para pendiri bangsa dan negara tercinta ini. Setelah lebih enam dasawarsa pascaproklamasi, cengkeraman kuku asing atas kekayaan bangsa malah semakin menguat dan melilit kita semua.
Berbagai perjanjian dagang telah disepakati, tetapi sering sangat merugikan posisi Indonesia. Kasus Freeport yang menghebohkan itu hanyalah salah satu contoh betapa leluasanya asing mengeruk keuntungan dari bumi Papua gara-gara pihak Jakarta melakukan blunder politik yang sangat fatal. Akibatnya sangat jelas, kita tidak lagi sepenuhnya menjadi tuan di rumah kita. Inilah jadinya, bila bangsa dan negara dipimpin londo ireng yang tidak punya nyali berhadapan dengan pihak asing. Harga diri kita dengan mental terjajah sangatlah rendah sekalipun masih saja berlagak sebagai manusia merdeka. Padahal, syarat bagi seorang manusia merdeka ada dalam ungkapan Bung Karno, ”Mana dadamu, ini dadaku.” Bangsa-bangsa lain kita hormati, tetapi jika mau mendikte, tunjukkan bahwa kita adalah manusia merdeka yang punya harga diri.
Kriteria Calon Presiden 2014
Adakah tokoh yang mampu membalik situasi demi kedaulatan bangsa pada 2014? Saya tidak pesimistis. Pastilah dari rahim Indonesia telah lahir sosok yang diharapkan itu. Sosok inilah yang harus dimunculkan dalam tempo dekat ini. Dilihat jejak rekamnya jika sudah pernah menjabat, dinilai integritas moralnya, dipantau pula sikapnya terhadap benda dan kekuasaan, dan yang tak kurang pentingnya adalah ditimbang nyalinya dalam mengambil keputusan kenegaraan penting sekalipun mungkin tidak populer.
Dalam situasi situasional kritikal ini, usia calon tidak terlalu mustahak dijadikan syarat. Saya berharap parpol bisa menjinakkan ego politiknya untuk turut menemukan dan mendukung figur nasional yang memenuhi kriteria di atas, tidak perlu harus dari kalangan partainya.
Dalam bacaan saya sejak proklamasi, telah dikenal beberapa tokoh negarawan yang dinilai cukup punya kemampuan mengisi kemerdekaan secara sungguh-sungguh dan bertanggung jawab, tetapi tak diberi kesempatan menjadi orang pertama. Dari sisi mana pun kita meneropong, mereka memenuhi semua kriteria di atas. Mereka adalah Bung Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan M Jusuf Kalla. Amat disayangkan, karena lemahnya visi kenegarawanan elite politik nasional, mereka tak dapat peluang dan dukungan untuk tampil memimpin bangsa dan negara demi terwujudnya cita-cita suci kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan meratanya kesejahteraan rakyat yang sampai kini masih menjadi mimpi nasional.
Pengamat migas, Kurtubi, sudah lama berteriak agar politik migas kita diubah secara radikal. Disarankan agar pemerintah dan Pertamina mendirikan kilang-kilang pemroses minyak mentah dalam jumlah lebih banyak lagi. Namun, saran ini tak pernah digubris dengan dalih untungnya tak banyak. Menurut Kurtubi, untung memang tak banyak, tetapi pasti beruntung. Cara ini akan jauh lebih bermartabat dibandingkan apa yang ditempuh selama ini dengan membeli BBM lewat agen-agen tengkulak di Singapura.
Adalah kebiasaan buruk pemerintah dan Pertamina yang sering menempuh jalan mudah sekalipun dalam jangka panjang pasti menggerogoti kekuatan ekonomi nasional. Dalam perspektif ini, saya berharap presiden 2014 membuka telinga dan mata mendengarkan saran-saran positif dari para ahli perminyakan untuk membalik politik migas yang tidak tepat selama ini. Indonesia adalah sebuah benua maritim dengan ribuan pulau berserakan. Karena aparat pengawal dan penjaga laut yang luasnya jauh melebihi daratan masih dalam posisi lemah, tidak mengherankan pencuri ikan telah merampok kekayaan laut kita dengan kerugian negara mencapai Rp 30 triliun saban tahun. Sebagai negara maritim, semestinya kekuatan Angkatan Laut kita setidak-tidaknya setanding dengan kekuatan Angkatan Darat. Dengan AL yang tangguh, para perampok dan pencuri kekayaan laut akan berpikir 1.000 kali sebelum meneruskan petualangan kriminalnya yang sangat merugikan negara itu.
Akhirnya, presiden yang kita harapkan muncul pada 2014 adalah figur yang mengenal betul peta Indonesia secara utuh dengan segala sisi kekuatan dan kelemahannya. Berdasarkan peta itu, dibuat strategi pembangunan nasional yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat jelata, bukan ”memanjakan” kelompok elitis yang kebanyakan telah lama mati rasa. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar