Jumat, 15 Maret 2013

Prajurit Profesional


Prajurit Profesional
Adjie Suradji ;  Alumnus Fakultas Sains Universitas Karachi, Pakistan
KOMPAS, 15 Maret 2013

  
Sejak TNI–Polri berpisah 1 April 1999, kemesraan kedua institusi itu mudah goyah. Menurut catatan Indonesia Police Watch, sepanjang 2007-2012 terjadi 17 bentrokan TNI-Polri.
Insiden pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, oleh sekelompok anggota TNI, Kamis (7/3) pagi, menjadi contoh buruk untuk kesekian kalinya.
Mungkinkah terjadi penurunan derajat (downgraded) pemaknaan rambu-rambu Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib TNI, Tri Brata, Catur Prasetya, dan Rastra Sewakotama?
Kesenjangan?
Penampilan tentara dan polisi sekarang berbeda dengan era perjuangan fisik. Mereka jauh dari kesan garang. Malah sering terlihat tentara dan polisi, dengan seragam lengkap, berjoget-ria di acara-acara formal dan terbuka dengan iringan musik membahana. Memang, tidak ada yang salah meski kurang pas.
Apabila Jenderal Sudirman di masa perjuangan fisik tampil dengan pakaian sederhana, berselimut mantel tentara tebal, tetap memancar kejujuran dan jiwa besarnya, jenderal-jenderal sekarang tampil sebaliknya. Kendaraan dinasnya trendi dan seragamnya penuh tanda jasa. Jenderal-jenderal sekarang juga lebih senang ke ”lapangan golf” daripada menemani prajuritnya merancang strategi.
Perjuangan fisik memang sudah berlalu. Namun, perjuangan mental dan terutama sosial-ekonomi bagi tentara dan polisi masa kini justru lebih sulit. ”People do what people see (anak buah bertindak atas dasar apa yang dilihatnya),” kata John C Maxwell.
Argumentasi Maxwell ini mengandung pesan, anak buah—TNI dan Polri—dalam bertindak selalu berkaca pada atasannya, baik para komandan lapangan di satuan kerja masing-masing maupun para jenderal keseluruhan.
Gugurnya delapan prajurit TNI di Papua adalah contoh terkini. Tidak ada kesan keprihatinan mendalam. Semua terhapus ingar-bingar politik. Nyawa prajurit seolah tidak berharga.
Dugaan kesenjangan sosial-ekonomi menjadi valid karena tidak hanya terjadi antar-institusi; TNI dan Polri, tetapi juga antarkorps prajurit; kopral dan jenderal. Jika prajurit TNI di lapangan diperintah mengejar kaum separatis, Polri menghadapi teroris dan demonstran, para jenderalnya justru sibuk memperkaya diri.
Jadi, siapa sesungguhnya yang menurun dalam memaknai rambu-rambu keprajuritan? Kopral atau jenderalnya?
Ancaman ke Depan
Ke depan, ada empat ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, ancaman terhadap kelangsungan hidup, eksistensi, serta keutuhan bangsa dan negara oleh invasi militer, ekonomi, ataupun budaya negara asing.
Kedua, ancaman infiltrasi atau provokasi militer dan nonmiliter terhadap kepentingan nasional yang secara tidak langsung mengancam kedaulatan.
Ketiga, gangguan ketertiban umum yang secara tidak langsung mengancam kepentingan nasional. Misalnya, konflik horizontal, teror, dan isu separatisme.
Keempat, ketidakstabilan sistem politik yang berdampak pada kepentingan nasional dan keutuhan bangsa dan negara.
Dengan demikian, TNI dan Polri tetap menjadi tulang punggung keamanan dan pengamanan negara. Ke depan, TNI dan Polri dituntut mampu menanggulangi ancaman.
Sebagai elaborasi, terdapat tiga ciri yang mendasari tumbuhnya profesionalisme prajurit, yaitu keahlian, tanggung jawab sosial, dan karakter korporasi.
Keahlian memerlukan pengetahuan dan keterampilan untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitas prajurit dalam perang atau damai.
Tanggung jawab sosial adalah nilai moral. Prajurit (TNI dan Polri) profesional bertanggung jawab kepada negara, bukan atasan. Prajurit profesional siap menerima kritik sekaligus berhak mengoreksi atasan jika atasan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Prajurit profesional bekerja untuk kepentingan masyarakat dan negara, bukan kepentingan pribadi perorangan.
Karakter korporasi adalah bentuk jiwa korsa (esprit de corps) yang kuat. Dunia prajurit yang profesional dan otonom mengabdi pada birokrasi negara.
Dari hasil kajian, bentrokan TNI dan Polri terjadi akibat akumulasi kekecewaan dan kejengkelan prajurit di lapangan yang gagal diantisipasi satuan kerja, pelaksana pusat, komando utama, dan pusat (markas besar).
Kita—rakyat Indonesia—tentu saja tidak menghendaki bentrok fisik TNI-Polri terjadi lagi. Oleh karena itu, insiden pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu harus segera dievaluasi dan diperbaiki. Namun, hal ini bisa terealisasi jika para jenderal—pemimpin prajurit—mampu berlaku sebagai prajurit profesional yang rela mengorbankan segala miliknya, termasuk nyawa, demi bangsa dan negara. Bukan prajurit yang hanya mengejar pangkat, jabatan, dan kekayaan!
Tidak ada prajurit salah. Yang salah adalah atasannya! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar