Dalam satu dekade terakhir, dunia pendidikan di Tanah Air seakan
terus terbelenggu dalam dilema.
Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu Pertama 2004-2009, Wapres Jusuf
Kalla gigih melaksanakan pengendalian mutu pendidikan dengan pemberlakuan
standar ujian nasional. Tidak ada toleransi kelulusan bagi mereka yang
tidak melewati standar minimum dari sejumlah mata pelajaran yang diujikan,
Akibatnya, masyarakat seakan mengalami sentakan sosial ketika melihat ada
sekolah yang tidak satu pun siswanya lulus karena kelaziman sebelumnya
secara nasional kelulusan selalu di kisaran 100 persen atau mendekati 100
persen.
Alasan Kalla ketika itu sangat sederhana. Jika sekolah selalu
meluluskan siswanya 100 persen, siswa merasa tidak perlu belajar, guru
tidak termotivasi mengajar sungguh-sungguh, dan orangtua tidak merasa perlu
ikut bertanggung jawab atas mutu pendidikan. Cara ini, menurut Kalla,
adalah mekanisme peningkatan mutu pendidikan yang paling murah dan mudah
dilaksanakan. Dengan demikian, pendidikan kita menjadi tanggung jawab semua
pihak (siswa, masyarakat, dan pemerintah) menuju pencapaian mutu yang lebih
tinggi. Selanjutnya, bangsa kita tak lagi akan menjadi kuli dari Malaysia.
Sewaktu menjabat sebagai Menko Kesra pada 2003, Kalla menemukan
tingkat kesukaran ujian akhir jenjang SD di Malaysia untuk Bahasa Inggris
relatif sebanding dengan kesukaran ujian akhir jenjang SLTA di Indonesia.
Tingkat kesukaran IPA dan Matematika jenjang SLTP relatif sama dengan
jenjang SLTA. Sementara standar kelulusan nasional Malaysia dengan tingkat
kesukaran tersebut pada 2003 adalah 6, sedangkan Indonesia 3. Jika tiap
tahun standar kelulusan dinaikkan 0,5, berarti mutu pendidikan Indonesia
tertinggal 9-12 tahun dari Malaysia.
Dengan standar kelulusan itu, dapat dipastikan terdapat peningkatan
mutu pendidikan kita secara bertahap dan pada waktunya Indonesia akan
berada pada posisi yang sejajar dan bahkan mengungguli Malaysia.
Kini, keadaannya kembali lagi ke tingkat kelulusan yang mendekati 100
persen. Pada tahun ajaran 2010, untuk jenjang SMA/MA, misalnya, tingkat
kelulusan peserta ujian nasional mencapai 99,22 persen. Tingkat kelulusan
di jenjang SLTP dan SMK juga relatif sama. Akibatnya, ujian nasional tidak
lagi menjadi sarana yang memotivasi siswa, orangtua, dan guru untuk
meningkatkan mutu pendidikan.
Kebijakan yang telah diletakkan Kalla terkesan ditinggalkan begitu
saja oleh kabinet baru. Masyarakat seakan disuguhkan satu tontonan drama
kekuasaan. Betapa pun kebesaran dan manfaat yang telah diletakkan masa lalu
seakan tidak lagi mendapat tempat karena peletaknya tidak lagi di
kekuasaan.
Dilema Pendidikan
Dalam artikel di Kompas, 27 Agustus 2012, Wapres Boediono dengan
tegas menyebutkan, sampai saat ini kita belum punya konsepsi yang jelas
mengenai substansi pendidikan. Karena tak ada konsepsi yang jelas,
timbullah kecenderungan untuk memasukkan apa saja yang dianggap penting ke
dalam kurikulum. Akibatnya, terjadilah beban berlebihan pada anak didik.
Bahan yang diajarkan terasa ”berat”, tetapi tak jelas apakah anak
mendapatkan apa yang seharusnya diperoleh dari pendidikannya.
Akibat dari kerisauan Wapres itu, tiba-tiba timbullah proyek
perombakan kurikulum yang terkesan dipaksakan. Kurikulum 2013 hasil
perombakan kurikulum sebelumnya harus segera diberlakukan meski masyarakat
luas belum melihat hasil satu penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa mutu
pendidikan kita terus merosot karena kesalahan kurikulum. Apakah tidak ada
faktor lain yang lebih dominan dari kurikulum? Misalnya, sebagaimana telah
diungkapkan Mendikbud Mohammad Nuh sendiri di hadapan Komisi X DPR pada 21
Maret 2011, terdapat 88,8 persen sekolah di Indonesia—SD hingga
SMA/SMK—belum melewati mutu standar pelayanan minimal. Lalu, mengapa bukan
itu yang dibenahi lebih dahulu?
Perubahan kurikulum dadakan ini cermin ketiadaan kerangka besar arah
pembenahan pendidikan nasional. Di tengah berbagai keterbatasan yang ada,
keliru besar bila pembenahan pendidikan di semua jenjang, jenis,
dan jalur—baik di pusat maupun di tiap kabupaten/kota—dilakukan secara
parsial dan tidak menyentuh sistem karena tanpa didasari hasil pengkajian
ilmiah.
Dalam era Orde Baru, misalnya, di berbagai periode kabinet, sejak
periode Mashuri, Soemantri Brodjonegoro, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef,
Nugroho Notosusanto, Fuad Hassan, Wardiman Djojonegoro, Wiranto
Arismunandar, hingga kabinet era Reformasi, betapa banyak gagasan inovatif
dan strategis. Namun, gagasan-gagasan itu terkesan bersifat temporer,
terlaksana sebatas masa jabatan menteri yang bersangkutan. Betapa banyak
dana yang telah dihabiskan, tetapi akhirnya upaya tersebut tidak cukup
terlihat dampaknya bagi pembenahan masalah pendidikan. Lihatlah, misalnya,
pengembangan Sekolah Pembangunan, proyek CBSA, pengajaran Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa, dan pengembangan link and match.
Bahkan, jika kita membuka lembaran masa lalu, terlihat betapa lebih
seabad silam visi besar pendidikan sudah dirumuskan Boedi Oetomo pada 1908.
Angkatan ini sudah mengungkapkan dalam anggaran dasarnya yang dirumuskan
pada Pasal 3: (1) usaha pendidikan dalam arti seluas-luasnya; (2)
peningkatan pertanian, peternakan, dan perdagangan; (3) kemajuan teknik dan
kerajinan; (4) menghidupkan kembali kesenian pribumi dan tradisi; (5)
menjunjung tinggi cita-cita kemanusiaan; dan (6) hal-hal yang bisa membantu
meningkatkan kesejahteraan bangsa. Dalam pembahasan program juga telah
dibahas pembangunan perpustakaan rakyat dan pendidikan untuk perempuan.
Sungguh begitu banyak pemikiran dan langkah besar yang telah
dilakukan para pendahulu kita, tetapi hilang begitu saja, tidak diteruskan
penerusnya. Jika kita selalu mengedepankan egoisme sektoral dan kepentingan
politik pencitraan, kita akan selalu berada dalam cengkeraman dilema.
Proyek dan Pencitraan
Tidak tertutup kemungkinan apa yang telah dilakukan periode Mohammad
Nuh akan diabaikan menteri berikutnya. Akibatnya, kita tidak akan pernah
mencapai prestasi besar. Tembok China adalah salah satu wujud mahakarya
peradaban umat manusia karena, meski mulai dibangun sebelum periode Dinasti
Qin pada 722 SM, dinasti mana pun pada era kekuasaan berikutnya terus
memelihara dan meneruskan hingga kini.
Modus perubahan kurikulum lebih terkesan sebagai ikhtiar dadakan
karena tidak didahului persiapan yang lebih matang. Memang, perombakan
kurikulum pilihan paling aman. Sebab, jika ikhtiar dadakan itu keliru,
kekeliruan itu baru akan terungkap 10-20 tahun kemudian. Lagi pula, jika
terdapat perubahan satu lembar kurikulum, dimungkinkan dilahirkan begitu
banyak proyek baru yang dapat menyerap anggaran sekian triliun rupiah.
Semoga pendidikan kita tidak terus-menerus terbelenggu dalam dilema
dan berjalan di tempat. Sudah waktunya kenegarawanan lebih dikedepankan
dari sekadar pencitraan sesaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar