Di tahun 2009 Komite Nasional Perlindungan Anak mengajukan uji materi
UU No 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.
Tuntutannya agar Ayat (3) Huruf c dari Pasal 46 mengenai iklan rokok
dicabut dan seharusnya rokok tidak boleh diiklankan karena rokok adalah
barang adiktif. Bunyi ayat yang diajukan dalam kasus uji materi tersebut
adalah: ”(3) Siaran iklan niaga dilarang melakukan: c. promosi rokok yang
memperagakan wujud rokok.”
UU ini kemudian diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
2005, di mana pada Pasal 21 Ayat (3) menyatakan bahwa iklan rokok pada
lembaga penyiaran radio dan televisi hanya dapat disiarkan pukul 21.30
sampai pukul 05.00 waktu setempat di mana lembaga penyiaran itu berada.
Mahkamah Konstitusi menolak tuntutan Komite Nasional Perlindungan
Anak itu. Salah satu alasannya: ”Rokok adalah produk yang legal (legitimate) diperdagangkan, jadi
boleh beriklan.” Alasan Mahkamah Konstitusi cukup jelas. Yang belum jelas
adalah landasan berpikir para anggota Parlemen yang menyusun UU itu. Para
hakim Mahka- mah Konstitusi pun agaknya tidak memperhatikan mengapa rokok
yang produk legal harus dibatasi pengiklanannya? Dibatasi cara mengiklankan
dan dibatasi waktu pengiklanannya, UU tentang Penyiaran itu tidak
memberikan penjelasan apa-apa.
Ada dua kemungkinan alasan mengapa iklan rokok dibatasi. Pertama,
mungkin karena rokok dianggap berbahaya bagi anak sehingga hanya boleh
ditayangkan pada waktu anak-anak diperkirakan sudah tidur. Namun, dari mana
diambil dasar bahwa rokok berbahaya bagi anak? Dalam UU Cukai No 39/2007
disebutkan, barang-barang yang: a. konsumsinya perlu dikendalikan; b.
peredarannya perlu diawasi; dan c. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak
negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; dikenai cukai. Rokok dikenai
cukai. Berarti ia memenuhi persyaratan itu. Namun, tidak ada dalam kriteria
itu disebut tentang berbahaya bagi anak sehingga harus dibatasi
pengiklanannya.
Selain itu, barang yang dikenai cukai bukan hanya rokok. Minuman
beralkohol juga dikenai cukai. Mengapa perlakuan terhadap alkohol berbeda
dengan rokok? UU Penyiaran melarang minuman beralkohol beriklan sama
sekali. Padahal, keduanya merupakan produk yang legal diperdagangkan.
Minuman beralkohol dapat dibeli di bar-bar, restoran, dan supermarket.
Tidak ada penjelasan dalam UU Penyiaran dan dari hakim Mahkamah Konstitusi.
Kedua, mungkin karena rokok bersifat mencandu (adiktif) yang dapat
membuat anak kecanduan kalau sekali berkenalan dengan rokok. Alasan kedua
ini lebih masuk akal karena ayat tentang iklan rokok tersebut berada
langsung sesudah pelarangan iklan zat-zat adiktif termasuk alkohol.
Namun, kemudian timbul pertanyaan, kalau memang rokok itu adiktif,
mengapa mengenai iklannya ia diberikan perlakuan berbeda dengan zat adiktif
yang lain? Pasal 46 UU Penyiaran menyebutkan bahwa siaran iklan dilarang
melakukan promosi minuman keras dan bahan atau zat adiktif. Apakah mungkin
karena waktu UU itu disahkan belum ada aturan hukum yang mengatakan rokok
adalah zat adiktif. Kembali timbul pertanyaan, kalau belum ada dasar hukum
yang menyatakan rokok zat adiktif, mengapa harus dibatasi iklannya?
Para hakim Mahkamah Konstitusi agaknya ragu-ragu. Di hati kecil
mungkin mengakui bahwa rokok adalah adiktif, tetapi di sisi lain tidak ada
hukum yang secara positif mengatakan demikian. Keragu-raguan itu
menghasilkan keputusan yang mendua juga. Di satu sisi menyatakan rokok
sebagai produk legal dan berhak beriklan, di sisi lain setuju adanya
pembatasan cara rokok beriklan.
Susu Formula
Kini dengan adanya UU No 36/2009 tentang Kesehatan—secara eksplisit
dinyatakan bahwa rokok (tembakau) adalah zat adiktif, yang juga sudah
dikukuhkan Mahkamah Konstitusi—keragu-raguan itu seharusnya hilang. Pasal
46 Ayat (3) Huruf c UU Penyiaran tahun 2002 tidak perlu ada lagi.
Persoalan makin rumit dipahami jika ketentuan iklan rokok dalam UU
Penyiaran itu dibandingkan dengan ketentuan iklan susu formula dalam PP
tentang Air Susu Ibu tahun 2012.
Di sana disebutkan, produsen susu formula dilarang beriklan di media
umum dan juga dilarang mensponsori kegiatan-kegiatan. Padahal, dibanding
dengan rokok, susu formula tidak berbahaya bagi kesehatan anak dan pada
keadaan tertentu bahkan dibolehkan untuk diberikan.
Kalau susu formula dilarang beriklan dan mensponsori kegiatan,
mengapa rokok yang adiktif dan membahayakan kesehatan justru dianggap berhak
beriklan dan mensponsori kegiatan? Tidak pula ada penjelasan mengenai hal
ini.
Karena itu, layaklah kalau dikatakan ada yang berbau amis di sini,
atau kata orang Inggris something
fishy. Bahkan, dalam rancangan revisi UU Penyiaran yang digarap Komisi
I Parlemen, Baleg kembali mempertahankan agar ketentuan tentang iklan rokok
tidak diubah atau dihapus. Tetap dipertahankan seperti UU No 32/2002 meski
tentunya para anggota Baleg tahu secara sah rokok dianggap sebagai zat
adiktif dalam UU Kesehatan tahun 2009.
Bagi para anggota Parlemen itu agaknya jelas atau tidak, logis atau
tidak, bertentangan dengan UU lain atau tidak, semua itu tidak penting.
Yang penting sesuai dengan pesanan atau mungkin juga pembayar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar