Sejumlah elemen masyarakat akhir-akhir ini menentang rencana
penerbitan undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain,
DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang tampak ngotot hendak
menerbitkannya. Perlukah suatu UU tentang ormas?
Seperti diketahui, pengaturan mengenai organisasi kemasyarakatan
pernah diterbitkan oleh rezim Orde Baru pada tahun 1985 melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Paling kurang ada tiga substansi pengaturan organisasi kemasyarakatan
(ormas) dalam UU No 8/1985. Pertama, kewajiban bagi setiap ormas
berideologikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua, kewenangan
pembinaan atas setiap ormas yang menjadi otoritas pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Dalam Negeri. Ketiga, adanya kewenangan pemerintah membekukan
kepengurusan, dan bahkan membubarkan ormas, jika dinilai tidak berasaskan
Pancasila dan dianggap tidak turut memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa.
Pasal 1 UU tersebut mendefinisikan ormas sebagai, ”Organisasi yang
dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan
kepercayaan terhadap Tuhan yang Mahaesa, untuk berperan serta dalam pembangunan
dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila”. Itu artinya, semua organisasi
kemasyarakatan di luar organisasi partai politik diklasifikasikan sebagai
ormas.
Secara substansi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tidak mungkin
dipertahankan karena UU tersebut didesain sebagai instrumen rezim otoriter
Soeharto untuk membungkam kebebasan berserikat dan mengontrol kehidupan
masyarakat, termasuk cara pandang dan ideologi suatu kelompok masyarakat.
Melalui undang-undang yang sama, rezim Soeharto bahkan dapat membungkam
musuh-musuh politiknya yang dianggap mengancam kelangsungan kekuasaan Orde
Baru.
Cara Pandang
Dalam era demokrasi yang berlangsung sejak jatuhnya Soeharto pada
1998, semua peraturan perundangan yang membatasi kebebasan berserikat telah
dicabut. Sebagai konsekuensinya, lebih dari 100 partai politik lahir dari
rahim kemerdekaan berserikat sejak 1999.
Dalam jumlah yang jauh lebih besar dan tidak pernah terhitung, aneka
ragam organisasi masyarakat tumbuh bagai jamur di musim hujan. Aneka wadah
ekspresi masyarakat bahkan bisa lahir dan mati sendiri—tanpa harus
diberangus oleh kekuasaan—setiap saat.
Pertanyaannya, perlukah semua kerepotan yang sesungguhnya memang
melekat pada dinamika dan pluralitas masyarakat seperti itu diatur negara?
Lebih jauh lagi, apakah secara paradigmatik negara berhak turut campur
dalam persoalan-persoalan masyarakat yang bersifat sukarela seperti ormas?
Mengapa kementerian negara harus dibebani dengan pekerjaan sia-sia dan
tidak perlu—antara lain berupa pendaftaran dan akreditasi ormas—jika
pekerjaan pokok dan tanggung jawab setiap kementerian sudah begitu banyak
dan tidak terselesaikan?
Semua ini tergantung pada cara pandang kita dalam melihat keberadaan
masyarakat dan ormas itu sendiri. Jika masyarakat selalu dilihat sebagai
sumber ancaman, konflik, dan disintegrasi bangsa, sebagaimana halnya cara
pandang rezim otoriter seperti Orde Baru, UU yang mengatur ormas
diperlukan.
Sebaliknya, apabila ormas yang bersifat sukarela dipandang sebagai
salah satu bentuk kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan
kolektif bangsa kita, pengaturan ormas melalui UU jelas tidak diperlukan.
Negara, khususnya pemerintah, semestinya justru memberi apresiasi atas
kontribusi yang diberikan sejumlah elemen masyarakat dalam kehidupan
kolektif.
Problemnya, draf rancangan undang-undang (RUU) Ormas yang tengah
diselesaikan DPR pada tingkat panitia kerja lebih berorientasi mengatur dan
mengontrol ormas ketimbang menjamin kebebasan berserikat sebagaimana
diamanatkan konstitusi kita. Naskah RUU tersebut masih menganut cara
pandang keliru rezim otoriter yang melihat masyarakat sebagai ancaman.
Padahal, kebebasan berserikat semestinya justru dijamin oleh negara dalam
rangka kontribusinya bagi kemaslahatan kolektif. Karena itu, yang lebih
diperlukan sebenarnya bukanlah undang-undang yang mengatur ormas, melainkan
suatu undang-undang yang menjamin kebebasan berserikat.
Kegagalan Negara
Meningkatnya tindak kekerasan dan anarki oleh sejumlah elemen
masyarakat selama lebih dari 10 tahun terakhir tidak dapat dijadikan
pembenaran untuk menerbitkan Undang-Undang tentang Ormas. Tindak kekerasan
dan anarki massa lebih terkait dengan kegagalan negara mengelola kebebasan
berekspresi di satu pihak, dan kegagalan negara dalam penegakan supremasi
hukum di lain pihak.
Apabila kapasitas negara melalui institusi kepolisian dioptimalkan
dalam rangka tegaknya hukum, tertib sipil, dan perlindungan masyarakat,
semestinya tidak perlu ada kekhawatiran terkait tindak kekerasan dan anarki
massa. Persoalannya, selama ini Kepolisian Negara RI belum secara optimal
memanfaatkan instrumen hukum yang sudah ada, khususnya Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana, untuk mengantisipasi ledakan partisipasi masyarakat yang
akhirnya tumpah di jalan dan menjadi liar dalam bentuk tindak kekerasan dan
anarki.
Pilihan lain adalah menerbitkan UU Perkumpulan secara terpisah dengan
UU Yayasan yang sebenarnya lebih penting dibandingkan UU Ormas. Adapun
terkait keberadaan ormas asing, baik yang dibentuk warga negara asing
maupun yang berkantor pusat di luar Indonesia, biarlah diatur Kementerian
Luar Negeri RI atas dasar prinsip hukum yang selama ini mendasari politik
luar negeri kita.
Terlalu banyak energi yang dibuang percuma oleh DPR dan pemerintah
jika tetap ngotot menerbitkan UU yang tingkat urgensinya relatif rendah
dibandingkan banyak soal strategis bangsa yang lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar