Rabu, 13 Maret 2013

Urgensi UU Ormas


Urgensi UU Ormas
Syamsuddin Haris   Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 13 Maret 2013
  

Sejumlah elemen masyarakat akhir-akhir ini menentang rencana penerbitan undang-undang tentang organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang tampak ngotot hendak menerbitkannya. Perlukah suatu UU tentang ormas?

Seperti diketahui, pengaturan mengenai organisasi kemasyarakatan pernah diterbitkan oleh rezim Orde Baru pada tahun 1985 melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Paling kurang ada tiga substansi pengaturan organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam UU No 8/1985. Pertama, kewajiban bagi setiap ormas berideologikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua, kewenangan pembinaan atas setiap ormas yang menjadi otoritas pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri. Ketiga, adanya kewenangan pemerintah membekukan kepengurusan, dan bahkan membubarkan ormas, jika dinilai tidak berasaskan Pancasila dan dianggap tidak turut memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

Pasal 1 UU tersebut mendefinisikan ormas sebagai, ”Organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Mahaesa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”. Itu artinya, semua organisasi kemasyarakatan di luar organisasi partai politik diklasifikasikan sebagai ormas.

Secara substansi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tidak mungkin dipertahankan karena UU tersebut didesain sebagai instrumen rezim otoriter Soeharto untuk membungkam kebebasan berserikat dan mengontrol kehidupan masyarakat, termasuk cara pandang dan ideologi suatu kelompok masyarakat. Melalui undang-undang yang sama, rezim Soeharto bahkan dapat membungkam musuh-musuh politiknya yang dianggap mengancam kelangsungan kekuasaan Orde Baru.

Cara Pandang

Dalam era demokrasi yang berlangsung sejak jatuhnya Soeharto pada 1998, semua peraturan perundangan yang membatasi kebebasan berserikat telah dicabut. Sebagai konsekuensinya, lebih dari 100 partai politik lahir dari rahim kemerdekaan berserikat sejak 1999.

Dalam jumlah yang jauh lebih besar dan tidak pernah terhitung, aneka ragam organisasi masyarakat tumbuh bagai jamur di musim hujan. Aneka wadah ekspresi masyarakat bahkan bisa lahir dan mati sendiri—tanpa harus diberangus oleh kekuasaan—setiap saat.

Pertanyaannya, perlukah semua kerepotan yang sesungguhnya memang melekat pada dinamika dan pluralitas masyarakat seperti itu diatur negara? Lebih jauh lagi, apakah secara paradigmatik negara berhak turut campur dalam persoalan-persoalan masyarakat yang bersifat sukarela seperti ormas? 

Mengapa kementerian negara harus dibebani dengan pekerjaan sia-sia dan tidak perlu—antara lain berupa pendaftaran dan akreditasi ormas—jika pekerjaan pokok dan tanggung jawab setiap kementerian sudah begitu banyak dan tidak terselesaikan?

Semua ini tergantung pada cara pandang kita dalam melihat keberadaan masyarakat dan ormas itu sendiri. Jika masyarakat selalu dilihat sebagai sumber ancaman, konflik, dan disintegrasi bangsa, sebagaimana halnya cara pandang rezim otoriter seperti Orde Baru, UU yang mengatur ormas diperlukan.

Sebaliknya, apabila ormas yang bersifat sukarela dipandang sebagai salah satu bentuk kontribusi dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan kolektif bangsa kita, pengaturan ormas melalui UU jelas tidak diperlukan. Negara, khususnya pemerintah, semestinya justru memberi apresiasi atas kontribusi yang diberikan sejumlah elemen masyarakat dalam kehidupan kolektif.

Problemnya, draf rancangan undang-undang (RUU) Ormas yang tengah diselesaikan DPR pada tingkat panitia kerja lebih berorientasi mengatur dan mengontrol ormas ketimbang menjamin kebebasan berserikat sebagaimana diamanatkan konstitusi kita. Naskah RUU tersebut masih menganut cara pandang keliru rezim otoriter yang melihat masyarakat sebagai ancaman. Padahal, kebebasan berserikat semestinya justru dijamin oleh negara dalam rangka kontribusinya bagi kemaslahatan kolektif. Karena itu, yang lebih diperlukan sebenarnya bukanlah undang-undang yang mengatur ormas, melainkan suatu undang-undang yang menjamin kebebasan berserikat.

Kegagalan Negara

Meningkatnya tindak kekerasan dan anarki oleh sejumlah elemen masyarakat selama lebih dari 10 tahun terakhir tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menerbitkan Undang-Undang tentang Ormas. Tindak kekerasan dan anarki massa lebih terkait dengan kegagalan negara mengelola kebebasan berekspresi di satu pihak, dan kegagalan negara dalam penegakan supremasi hukum di lain pihak.

Apabila kapasitas negara melalui institusi kepolisian dioptimalkan dalam rangka tegaknya hukum, tertib sipil, dan perlindungan masyarakat, semestinya tidak perlu ada kekhawatiran terkait tindak kekerasan dan anarki massa. Persoalannya, selama ini Kepolisian Negara RI belum secara optimal memanfaatkan instrumen hukum yang sudah ada, khususnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, untuk mengantisipasi ledakan partisipasi masyarakat yang akhirnya tumpah di jalan dan menjadi liar dalam bentuk tindak kekerasan dan anarki.

Pilihan lain adalah menerbitkan UU Perkumpulan secara terpisah dengan UU Yayasan yang sebenarnya lebih penting dibandingkan UU Ormas. Adapun terkait keberadaan ormas asing, baik yang dibentuk warga negara asing maupun yang berkantor pusat di luar Indonesia, biarlah diatur Kementerian Luar Negeri RI atas dasar prinsip hukum yang selama ini mendasari politik luar negeri kita.

Terlalu banyak energi yang dibuang percuma oleh DPR dan pemerintah jika tetap ngotot menerbitkan UU yang tingkat urgensinya relatif rendah dibandingkan banyak soal strategis bangsa yang lainnya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar