KEGADUHAN kasus hukum yang membelit sejumlah
elite politik di Tanah Air menenggelamkan berbagai berita penting lain,
termasuk tentang inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi
pada Januari lalu 1,03%, memecahkan rekor inflasi pada bulan yang sama
dalam 4 tahun terakhir. Awal Maret lalu BPS kembali mengumumkan bahwa angka
inflasi Februari 0,75% tercatat sebagai inflasi tertinggi pada bulan yang
sama selama 10 tahun terakhir.
Kenyataan itu
selain mengejutkan kita, juga menjadi peringatan dini bagi pemerintah guna
menyikapi kondisi lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman, inflasi pada
Februari kurang dari 0,5% dengan penjelasan bahwa permintaan masyarakat
sudah mulai turun setelah melambung pada pengujung tahun sebelumnya dan
awal tahun baru. Selama satu dekade terakhir, inflasi tertinggi pada
Februari terjadi pada 2008, yang mencapai 0,65%.
Secara umum
inflasi Februari 2013 dipicu oleh kelompok volatile food, seperti bawang
putih (0,12%), bawang merah (0,07%), cabai merah (0,04%), dan daging sapi
(0,01%). Kondisi seperti ini dipicu oleh kemeroketan harga beberapa
komoditas hortikultura beberapa bulan terakhir ini. Kenaikan harga bawang
putih 31,38%, cabai merah 12,5%, dan bawang merah 11,3%.
Kelompok
volatile food sebagai penyumbang inflasi terbesar dibanding kelompok
pengeluaran lain, mengindikasikan bahwa pangan masih merupakan pengeluaran
terbesar sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Henri Josserand dari
Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian
Dunia PBB menyatakan inflasi yang diakibatkan kemelambungan harga pangan
merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal ini mengingat
pengeluaran untuk belanja pangan tidak kurang dari 60% dari total
pengeluaran mereka.
Pemerintah
harus menyikapi kenyataan ini secara bijak, jangan reaktif dengan membuka
seluas-luasnya keran impor. Banyak pihak menilai kondisi pasar seperti
sekarang merujuk pada praktik kartel sebagai pukulan balik terhadap
kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, guna melindungi petani dan
peternak domestik, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan telah
mengeluarkan regulasi impor komoditas hortikultura dan daging sapi.
Momentum Kebangkitan
Selain
mengurangi kuota impor daging sapi, mulai Januari 2013 pemerintah
mengeluarkan larangan sementara impor 13 jenis komoditas hortikultura.
Kemelut harga
daging sapi yang hingga kini terus berlangsung merupakan satu contoh ulah
para kartelis. Menurut hitung-hitungan di atas kertas, ketersediaan daging
sapi dari dalam negeri ditambah impor, sangat mencukupi kebutuhan
masyarakat. Namun harga daging sapi tetap tak terkendali sampai hari ini.
Kondisi seperti
ini tak sepenuhnya disebabkan oleh buruknya manajemen stok daging sapi
tetapi juga merujuk pada praktik kartel. Boleh jadi kondisi ini sengaja
diciptakan para kartelis untuk memukul balik kebijakan Kementerian
Pertanian mengurangi kuota impor daging sapi. Pengurangan kuota impor
nyata-nyata memangkas pendapatan mereka. Para kartelis tak peduli jeritan
rakyat, yang penting dapat mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan.
Kondisi saat
ini harus dijadikan momentum oleh semua pemangku kepentingan pembangunan
pangan untuk memperbaiki struktur produksi dan struktur pasar dalam negeri.
Secara umum kegencaran impor pangan dan praktik kartel pangan telah merusak
sistem pertanian nasional dan menyengsarakan kehidupan petani.
Kemerebakan
impor dan penyelundupan bawang putih telah mengubur kisah sukses petani
pada sentra produksi bawang putih, seperti Desa Tuwel Kecamatan Bojong
Kabupaten Tegal, yang akhir Februari 2013 dikunjungi Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Jangankan mencari ribuan hektare tanaman bawang putih seperti
era 1980-an, sekarang ini mencari belasan hektare saja sangat sulit.
Komunitas ’’arisan haji’’ yang dulu sangat dibanggakan sebagai simbol
kemakmuran petani bawang putih Desa Tuwel, kini tinggal kenangan.
Insentif harga
yang cukup menarik saat ini diharapkan akan menjadi momentum kebangkitan
bawang putih Desa Tuwel dan sentra-sentra produksi sayuran lainnya di
Indonesia. Menurut
ekonom Peter Timer, harga jual komoditas pertanian yang memadai akan
menjadi insentif utama bagi petani untuk meningkatkan produksi. Bahkan,
jika harga menjanjikan, petani sayuran tidak segan-segan untuk melakukan
budi daya di luar musim kendati berisiko cukup besar.
Semua upaya itu
tidak cukup, pemerintah juga dituntut segera membenahi data pangan
nasional. Selama ini akurasi data pangan secara umum menjadi titik lemah
manajemen pangan nasional. Sebagai contoh, pemerintah harus segera
membenahi akurasi data jumlah ternak sapi dan kerbau dikaitkan dengan pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan elastisitas kebutuhan daging. Data populasi ternak dan
data elastisitas kebutuhan daging yang tidak akurat diyakini menjadi
pangkal gonjang-ganjing harga daging sapi yang berlangsung lebih dari
setahun terakhir ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar