SEJAK 1997, seiring dengan tuntutan
pentingnya mereformasi segala bidang, terutama setelah pemerintah
mencanangkan reformasi birokrasi, widyaiswara dihadapkan pada realitas
betapa susah menempatkan diri sebagai pendidik sekaligus pelatih. Di satu
sisi, banyak orang menilai kinerja widyaiswara belum optimal sebagaimana
diharapkan negara dan masyarakat .
Di sisi lain,
sebagian masyarakat acap mempersepsikan widyaiswara sebagai pejabat buangan,
korban politisasi jabatan, dipertanyakan kadar intelektualitasnya, dan
dengan kesejahteraan yang tidak menjanjikan. Bahkan ada dari internal
menganggap dirinya tamu di rumah lantaran kepala badan diklat adalah
pejabat struktural.
Terlepas dari
anggapan konotatif itu, kini kinerja dan profil sosok widyaiswara telah
banyak berubah. Tak sedikit dari mereka bergelar doktor, dan badan diklat
pun sudah banyak memperoleh sertifikasi standar mutu. Terkait
dengan kinerja PNS, adakah implikasi positif perubahan perilaku birokrasi
sebelum dan setelah mengikuti diklat? Berapa rasio ideal antara jumlah
widyaiswara dan jumlah PNS? Adakah korelasi manfaat mengikuti diklat dengan
indeks korupsi?
Kepala Lembaga
Administrasi Negara (LAN) Prof Dr Agus Dwiyanto dalam kunjungan kerja ke
Diklat Provinsi Jateng mengatakan, program diklat kepemimpinan (diklatpim)
kurang berhasil membentuk pejabat. Kegiatan itu sudah diikuti 26 ribu PNS
eselon II, tapi belum ada ’’lulusan’’ yang benar-benar bisa menjadi
critical mass pada birokrasi (SM, 30/1/13)
Tulisan ini
ingin mengajak publik dan PNS untuk memahami konteks persoalan faktual
bagaimana meningkatkan kinerja widayaiswara? Di sisi lain, bagaimana pula
upaya mewujudkan kinerja birokrasi dan tata pemerintahan yang berorientasi
pada good governance?
Pelayan Publik
Ada tiga poin
penting yang layak menjadi catatan kritis bagi widyaiswara. Tiga hal itu
menyangkut standar kompetensi pengembangan, peningkatan
profesionalisme, dan upaya mewujudkan peran kunci sebagai agen perubahan
mindset birokrasi. Ketiganya untuk menjawab tantangan reformasi birokrasi
sebagaimana tuntutan masyarakat.
Sosok widyaiswara tak berbeda jauh dari
guru ataupun dosen. Mampukah ia mengubah mindset dan kinerja
birokrat, dari paradigma lama yang kental pendekatan kekuasaan menuju
paradigma baru yang lebih menyandarkan tujuan utama sebagai pelayan
publik?
Meminjam
terminologi Edi Santosa (2008), widyaiswara bisa disebut sosok reformis
struktural. Artinya, ia pencerah bangsa, layaknya zaman Renaisans atau
Restorasi Meiji. Intinya, ia harus siap mencurahkan jiwa, raga, dan
roh sebagai transformator, motivator, sekaligus motor perubahan dalam
birokrasi, terkait dengan kinerja pemerintahan yang sedang gering.
Karena itu,
widyaiswara mensyaratkan memiliki kompetensi keahlian, manajerial, sosial,
dan intelektual/ stratategik. Kompetensi keahlian menyangkut bidang yang
menjadi tugas pokok diklat.
Kompetensi
manajerial berkorelasi dengan kemampuan menerapkan konsep dan perencanaan,
pengorganisasian, pengendalian, dan pengevaluasian kinerja unit organisasi.
Adapun
kompetensi sosial berkait erat dengan kemampuan berkomunikasi yang
dibutuhkan oleh organisasi dalam pelaksanaan tugas pokok. Yang berkait
dengan lingkungan eksternal, kita bisa melihatnya dari implementasi pola
kemitraan, kolaborasi, dan pengembangan jaringan kerja dengan berbagai
lembaga.
Kompetensi intelektual/strategik dibutuhkan
untuk bisa berpikir secara strategik dengan visi jauh ke depan. Kompetensi
ini meliputi kemampuan merumuskan visi, misi, dan strategi dalam rangka
mencapai tujuan organisasi, sebagai bagian integral dari pembangunan
nasional.
Dalam peran
kuncinya sebagai agen perubahan, restorasi pola pikir widyaiswara bertujuan
untuk kembali menata struktur pola pikir yang mereformasi struktur,
kultur, dan etika birokrasi. Upaya itu guna menyelaraskan dengan
berbagai permasalahan masyarakat.
Karena itu, dalam konteks reformasi maka
tugas widyaiswara tidak hanya mengajar dengan berdasarkan modul tapi perlu
mengembangkannya melalui pertimbangan rasionalitas perubahan mindset, dan
perilaku setelah mengikuti diklat.
Kebijakan dari
pimpinan pusat dan daerah terhadap pengembangan widyaiswara perlu
dimutakhirkan, direvisi pada tiap siklus perencanaan, termasuk
mereformulasi lewat langkah progresif. Semua upaya itu demi ketercapaian
linkage antara struktur pola pikir widyaiswara, birokrasi, dan masyarakat.
Mengapa
demikian? Pasalnya, sekarang ini pelayanan kepada masyarakat belum optimal,
serta etika dan moralitas masih rendah yang ditandai dengan kemerebakan
korupsi, serta kualitas SDM aparatur yang belum memadai. Hal ini bisa
menjadi alasan pembenar untuk mengubah pola pikir PNS. Momentum
paling tepat adalah pada saat mereka masih berstatus CPNS. Karena itu,
diklat prajabatan merupakan saat yang tepat untuk mengubah pola pikir.
Dengan pola pikir yang sudah berubah, kita bisa berharap ketika mereka
memasuki bangunan birokrasi, perilaku pun sudah berubah ke arah yang lebih
baik.
Mereka akan
memiliki etika dan budaya kerja yang baik, memiliki wawasan kebangsaan yang
kuat, menyadari pentingnya memberikan pelayanan prima dan sebagainya.
Kelahiran perubahan perilaku tersebut secara otomatis akan mempermudah
reformasi birokrasi guna meningkatkan kompetensi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar