Omongan
Mary McCarthy ada benarnya. “Dalam kekerasan, kita lupa siapa kita,” kata
novelis perempuan Amerika ini. Jika ajaran dasar setiap agama dan keyakinan
melarang, mengapa kekerasan justru dilakukan, bahkan dengan simbol-simbol
keagamaan?
Jika
ia identik dengan kebodohan, mengapa justru dilakukan oleh orang-orang
terdidik dan terpelajar? Mungkin itu, dalam kekerasan kita memang
betul-betul lupa siapa kita sesungguhnya. Kekerasan tak kenal latar
belakang agama, pendidikan, etnis, dan lain-lain.
Dalam
pengertian yang luas, kekerasan memang harus dilihat sebagai sesuatu yang
tak hanya merujuk pada bentuk kekerasan fisik. Ia menyangkut sebuah
“proses” dan “hubungan” tak seimbang, diskriminatif, manipulatif, dan
menindas.
Kekerasan–termasuk
kekerasan atas nama agama—semestinya selalu dipandang sebagai yang tak
berwajah tunggal. Ia banyak muka. Kekerasan tak bisa semata-mata perkara
doktrin. Faktornya lebih lebih luas dari itu: ekonomi, politik, hukum,
keamanan, dan lain-lain.
Karena
itu, kekerasan terhadap komunitas Syiah, misalnya, tak bisa dilihat
semata-mata saat dan sebab-musabab ketika kekerasan meletus. Kekerasan itu
harus dilihat buah dari rangkaian dan hubungan yang timpang selama ini.
Kekerasan itu seperti pucuk-pucuk dari tindakan intoleransi yang selama ini
mereka alami.
Dengan
logika itu, kekerasan atas nama agama yang meningkat belakangan ini
semestinya dipahami sebagai sebuah gambar kecil dalam gambar besar jaminan
kemerdekaan di Indonesia.
Seperti
diperkirakan, tren pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia tahun 2012
betul-betul menanjak dibanding sebelumnya. Laporan The Wahid Institute (WI)
menyebut, di sekujur tahun 2012, 274 kasus pelanggaran dengan total 363
tindakan meletus di Tanah Air.
Pelanggaran
paling banyak dilakukan aktor non-negara. Maksudnya, kelompok-kelompok
sipil di luar negara, seperti organisasi keagamaan, kelompok-kelompok
tertentu atau pribadi. Jumlahnya, 197 tindakan.
Sementara
itu aktor negara (pemerintah tingkat pusat dan daerah atau aparat keamanan)
melakukan 166 tindakan. Naik 78 persen dari tahun lalu yang jumlahnya 93
kasus. Laporan Human Right Watch (HRW) belum lama ini juga menyoal
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan negara.
Pelanggaran
dengan korban jiwa meninggal terjadi pada 26 Agustus 2012. Sekitar 200
warga penganut Syiah Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben,
Kabupaten Sampang, diserang dengan menggunakan parang dan batu. Rumah
mereka dirusak dan dibakar. Hamamah (50), pengikut komunitas ini, tewas
dengan usus terburai.
Lainnya
luka-luka. Ini pelanggaran serius setelah kasus Cikeusik. Tajul Muluk,
pemimpin komunitas tersebut, sebelumnya dipenjara karena disangka melanggar
Pasal Penodaan Agama, KUHP 156a. Pasal ini juga dikenakan pada Sebastian
Joe yang didakwa menodai agama lewat tulisannya di Facebook.
Kepolisian
merupakan pihak paling sering melanggar. Bentuk tindakan terbanyak,
pembiaran (57 tindakan). Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) bertengger
di nomor dua dengan 34 tindakan. Dalam kasus pelaksanaan ibadah HKBP
Filadelpia Kabupaten Bekasi atau GKI Yasmin, aparat misalnya tak menindak
pelaku intoleransi atau kekerasan dalam acara kebaktian Minggu yang rutin
mereka lakukan.
Yang
diminta mengalah dan dievakuasi justru jemaat HKBP Filadelpia atau GKI
Yasmin. Alasannya, demi menghindari konflik yang lebih besar. Intimidasi
dan penyebaran kebencian yang dilakukan massa intoleran dibiarkan.
Pembiaran juga terjadi dalam kasus pembubaran diskusi Irsyad Manji oleh
massa intoleran di Teater Salihara (4 Mei) dan di LKiS, Yogyakarta (9 Mei).
Sementara
itu korban paling sering mengalami pelanggaran aparatus negara adalah umat
Kristiani (37 tindakan). Setelahnya disusul kelompok yang diduga sesat (25
tindakan), individu (14 tindakan), anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (13
tindakan), anggota Syiah (12 tindakan).
Di
sejumlah daerah, jemaat Ahmadiyah dipaksa tak melakukan aktivitas
keagamaan. Misalnya terjadi di Kendal, Juni 2012. Aparat kecamatan memaksa
mereka menandatangani surat pernyataan tidak akan melakukan
kegiatan-kegiatan Ahmadiyah.
Penting
juga dicatat sepanjang 2012, WI mencatat dengan baik sejumlah warta baik
yang melegakan, di antaranya langkah-langkah pemerintah dan aparat yang
mendukung kualitas jaminan kebebasan beragama warganya.
Misalnya
kebijakan Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus Jawa Tengah, yang membolehkan
kelompok penganut Sedulur Sikep mengosongkan kolom agama dalam e-KTP,
Kantor Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang membebaskan
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) mencantumkan agama mereka Islam dalam
kolom agama di KTP, atau putusan MK yang menyatakan anak-anak yang
dilahirkan di luar hubungan perkawinan memiliki hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya.
Penegakan Hukum Lemah
Membaca
peta kekerasan di atas, ada sejumlah hal yang penting dicatat. Pertama,
meningkatnya kasus pelanggaran kebebasan beragama terjadi karena lemahnya
penegakan hukum dan tindakan tegas aparat. Pelaku kekerasan dihukum ringan.
Sebaliknya,
korban justru menjadi tersangka dengan vonis berat. Kedua, pemerintah bukan
hanya seperti tunduk pada kehendak mayoritas, melainkan juga menjadi pihak
yang banyak melakukan pelanggaran. Di lapangan, aparat sering kali
membiarkan tindakan penyebaran kebencian dan intimidasi terhadap kelompok
minoritas.
Ketiga,
kelemahan kepemimpinan dan tebalnya muatan politik di tingkat lokal
menyebabkan isu agama masih sering dipakai dan dimanfaatkan untuk
kepentingan politik, yang pada akhirnya menyulut praktik-praktik
diskriminasi dan pelanggaran.
Keempat,
masih adanya regulasi baik di tingkat nasional maupun lokal yang
bertentangan dengan prisip kebebasan beragama dan dijadikan pegangan untuk
membatasi dan melanggar hak-hak seseorang atau warga negara, khususnya
kelompok minoritas.
Kelima, hak-hak
korban kekerasan yang umumnya kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah,
dan orang-orang yang disesatkan belum mendapatkan keadilan khususnya
terkait aset mereka yang hancur. Sejauh ini, korban-koban yang berada di
pengungsian akibat serangan massa seperti di Sampang dan Lombok juga tidak
jelas masa depannya.
Untuk
keluar dari jeratan kekerasan itu, tak ada cara lain yang lebih strategis
selain menjawab catatan-catatan di atas dengan langkah nyata dan komitmen
negara pada konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar