Senin, 18 Maret 2013

Maklumat Perang pada Korupsi!


Maklumat Perang pada Korupsi!
Putu Fajar Arcana  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 17 Maret 2013
  

Kecuali mural, sangat langka sebuah pameran di galeri dimaklumatkan sebagai perang terhadap kejahatan yang terjadi di ranah publik. Umumnya para seniman menjaga diri agar karya-karyanya tidak jatuh sebagai sekadar slogan yang kadang dicap norak dan banal.
Risiko itu disadari benar oleh perupa Aris Budiono Sadjad saat menggelar pameran Perang Suci Melawan Korupsi, 14-23 Maret 2013, di Bentara Budaya Jakarta. Aris bahkan meminta Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi Dedi A Rachim untuk membuka pamerannya. Peristiwa itu makin mengukuhkan sikap Aris yang benar-benar ingin semakin terbuka angkat senjata terhadap kejahatan korupsi.
Penyair WS Rendra, pasca-melahirkan Empat Kumpulan Sajak, memilih memanggul senjata melawan ketimpangan sosial dan politik yang terjadi di sekitar kita. ”Si Burung Merak” bahkan terang-terangan menyebut puisi- puisinya dalam Blues untuk Bonnie, misalnya, sebagai sajak pamflet. Artinya, penyair sekaliber Rendra menyamakan sajak-sajaknya sebagai grafiti atau poster- poster perlawanan di sudut-sudut kota.
Karya-karya Aris memang tidak sebanal sebuah mural di kolong-kolong jembatan. Ia tetap merasa tidak perlu mencantumkan narasi di sekitar lukisannya sebagai tanda perlawanan. Cuma kegeraman terhadap perilaku para koruptor justru makin kentara dengan penggunaan metafor celeng hampir pada seluruh kanvas Aris. Celeng menjadi pernyataan paling menjijikkan, kalau tidak boleh dibilang umpatan, terhadap realitas pahit di sekitar kita.
Mengapa Bukan Tikus?
Tikus sebelumnya memang mewakili dunia kerakusan yang cepat mereproduksi diri dari satuan menjadi puluhan, hingga mencapai jutaan. Begitulah diibaratkan perilaku para koruptor itu: rakus dan cepat bereproduksi.
Ketika memasuki ruang pameran, kita disuguhi satu pemandangan jamak. Lukisan berjudul ”Empat Cakil Rakyat” itu selain secara harfiah berupa pelesetan dari kata ”empat wakil rakyat”, juga mengandung bahasa simbolik yang kaya. Cakil adalah salah satu tokoh buto, raksasa yang berperilaku jahat dan rakus. Aris menggambar empat Cakil sedang mengendarai empat celeng dengan mulut merah dan taring tajam. Itu adalah pernyataan jamak di mana kejahatan sedang berkendara kerakusan, mungkin sekali ia akan mengeduk harta negara lagi hingga tandas.
Reproduksi
Kejahatan sekecil apa pun selalu direproduksi. Itu teori yang akhir-akhir ini di negara kita seperti mendapatkan kebenarannya. Tidak saja kasus-kasus pencurian motor yang berulang, kasus-kasus sadis, seperti mutilasi, dan korupsi terus-menerus direproduksi, seperti tak pernah berhenti. Kemunculan satu kasus ibarat puncak gunung es yang menyembul ke permukaan. Di bawahnya gunung kejahatan itu mungkin terdapat bongkah besar yang sekali waktu akan menyembul juga.
Aris mereproduksi celeng pada hampir setiap kanvasnya. Itu bukan semata pernyataan kegeraman terhadap perilaku koruptif, melainkan kasus-kasus serupa terus-menerus terjadi di depan mata. ”Dan hebatnya para koruptor itu menjadi pesohor, senyam-senyum di televisi, berdebat di depan publik, seperti tak ada penyesalan. Ini kan menjijikkan sekali, sudah kebalik-balik,” kata Aris.
Rupanya itulah yang mendorong Aris menggambar karya- karya yang tipis bedanya dengan sebuah mural. Namun, ia tidak peduli, walau tetap mencoba menjaga sisi-sisi artistik dengan mengambil bahasa dari dunia wayang. Tokoh-tokoh yang digambar Aris hampir selalu dua dimensi sebagaimana tokoh-tokoh dalam dunia wayang. Ia menyodorkan pilihan yang rigid seperti juga dalam wayang: kejahatan selalu berhadapan dengan kebaikan. Aris mengambil pahlawan-pahlawan dunia wayang, seperti Hanoman dan Bima, yang bahu-membahu memberantas kejahatan.
Sebutlah lukisan ”Hanoman Samurai” atau ”Bima Jagal Abilawa”, keduanya memperlihatkan bagaimana superhero pewayangan sedang mengalahkan kejahatan atau celeng. Secara tersirat Aris ingin mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan superhero untuk melawan korupsi yang terus-menerus direproduksi seperti tiada henti. ”Ini sudah sampai tahap memuakkan,” kata Aris.
Aris sadar kesenian memang tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap. Itulah salah satu alasan mengapa ia memilih bahasa pamflet. Setidaknya, karya-karya yang dihasilkannya diam-diam akan menyelinap ke kedalaman nurani para pemirsanya dan menjadi semacam penggugah kesadaran yang memberi pencerahan. Seni bekerja di kedalaman rasa. Ia bukan sejenis racikan sambal yang sekali kunyah langsung pedas. Seni bekerja seperti anak kunci, membuka pintu untuk memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi permenungan tentang hakikat sebuah nilai.
Masalahnya, kini seni berhadapan muka dengan banalitas kejahatan yang memuakkan, yang membuat lembaga sekuat KPK pun seperti kewalahan. ”Seni tetap harus melawan…!” ujar Aris. Sebuah lukisan memang tak boleh rendah diri apalagi takut dicap sebagai mural di tengah reproduksi kejahatan yang jauh lebih cepat dibanding upaya-upaya pemberantasannya. Lawan! ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar