Kecuali mural, sangat langka
sebuah pameran di galeri dimaklumatkan sebagai perang terhadap kejahatan
yang terjadi di ranah publik. Umumnya para seniman menjaga diri agar
karya-karyanya tidak jatuh sebagai sekadar slogan yang kadang dicap norak
dan banal.
Risiko itu disadari benar oleh
perupa Aris Budiono Sadjad saat menggelar pameran Perang Suci Melawan
Korupsi, 14-23 Maret 2013, di Bentara Budaya Jakarta. Aris bahkan meminta
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi
Dedi A Rachim untuk membuka pamerannya. Peristiwa itu makin mengukuhkan
sikap Aris yang benar-benar ingin semakin terbuka angkat senjata terhadap
kejahatan korupsi.
Penyair WS Rendra, pasca-melahirkan Empat
Kumpulan Sajak, memilih memanggul senjata melawan ketimpangan sosial dan
politik yang terjadi di sekitar kita. ”Si Burung Merak” bahkan
terang-terangan menyebut puisi- puisinya dalam Blues untuk Bonnie,
misalnya, sebagai sajak pamflet. Artinya, penyair sekaliber Rendra
menyamakan sajak-sajaknya sebagai grafiti atau poster- poster perlawanan di
sudut-sudut kota.
Karya-karya Aris memang tidak
sebanal sebuah mural di kolong-kolong jembatan. Ia tetap merasa tidak perlu
mencantumkan narasi di sekitar lukisannya sebagai tanda perlawanan. Cuma
kegeraman terhadap perilaku para koruptor justru makin kentara dengan
penggunaan metafor celeng hampir pada seluruh kanvas Aris. Celeng menjadi
pernyataan paling menjijikkan, kalau tidak boleh dibilang umpatan, terhadap
realitas pahit di sekitar kita.
Mengapa Bukan Tikus?
Tikus sebelumnya memang mewakili
dunia kerakusan yang cepat mereproduksi diri dari satuan menjadi puluhan,
hingga mencapai jutaan. Begitulah diibaratkan perilaku para koruptor itu:
rakus dan cepat bereproduksi.
Ketika memasuki ruang pameran,
kita disuguhi satu pemandangan jamak. Lukisan berjudul ”Empat Cakil Rakyat”
itu selain secara harfiah berupa pelesetan dari kata ”empat wakil rakyat”,
juga mengandung bahasa simbolik yang kaya. Cakil adalah salah satu tokoh buto,
raksasa yang berperilaku jahat dan rakus. Aris menggambar empat Cakil
sedang mengendarai empat celeng dengan mulut merah dan taring tajam. Itu
adalah pernyataan jamak di mana kejahatan sedang berkendara kerakusan,
mungkin sekali ia akan mengeduk harta negara lagi hingga tandas.
Reproduksi
Kejahatan sekecil apa pun selalu
direproduksi. Itu teori yang akhir-akhir ini di negara kita seperti
mendapatkan kebenarannya. Tidak saja kasus-kasus pencurian motor yang
berulang, kasus-kasus sadis, seperti mutilasi, dan korupsi terus-menerus
direproduksi, seperti tak pernah berhenti. Kemunculan satu kasus ibarat
puncak gunung es yang menyembul ke permukaan. Di bawahnya gunung kejahatan
itu mungkin terdapat bongkah besar yang sekali waktu akan menyembul juga.
Aris mereproduksi celeng pada
hampir setiap kanvasnya. Itu bukan semata pernyataan kegeraman terhadap
perilaku koruptif, melainkan kasus-kasus serupa terus-menerus terjadi di
depan mata. ”Dan hebatnya para
koruptor itu menjadi pesohor, senyam-senyum di televisi, berdebat di depan
publik, seperti tak ada penyesalan. Ini kan menjijikkan sekali, sudah
kebalik-balik,” kata Aris.
Rupanya itulah yang mendorong Aris
menggambar karya- karya yang tipis bedanya dengan sebuah mural. Namun, ia
tidak peduli, walau tetap mencoba menjaga sisi-sisi artistik dengan
mengambil bahasa dari dunia wayang. Tokoh-tokoh yang digambar Aris hampir
selalu dua dimensi sebagaimana tokoh-tokoh dalam dunia wayang. Ia menyodorkan
pilihan yang rigid seperti juga dalam wayang: kejahatan selalu
berhadapan dengan kebaikan. Aris mengambil pahlawan-pahlawan dunia wayang,
seperti Hanoman dan Bima, yang bahu-membahu memberantas kejahatan.
Sebutlah lukisan ”Hanoman Samurai”
atau ”Bima Jagal Abilawa”, keduanya memperlihatkan bagaimana superhero
pewayangan sedang mengalahkan kejahatan atau celeng. Secara tersirat Aris
ingin mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan superhero untuk melawan
korupsi yang terus-menerus direproduksi seperti tiada henti. ”Ini sudah sampai tahap memuakkan,”
kata Aris.
Aris sadar kesenian memang tidak
akan mengubah keadaan dalam sekejap. Itulah salah satu alasan mengapa ia
memilih bahasa pamflet. Setidaknya, karya-karya yang dihasilkannya
diam-diam akan menyelinap ke kedalaman nurani para pemirsanya dan menjadi
semacam penggugah kesadaran yang memberi pencerahan. Seni bekerja di
kedalaman rasa. Ia bukan sejenis racikan sambal yang sekali kunyah langsung
pedas. Seni bekerja seperti anak kunci, membuka pintu untuk memasuki sebuah
ruangan yang dipenuhi permenungan tentang hakikat sebuah nilai.
Masalahnya, kini seni berhadapan
muka dengan banalitas kejahatan yang memuakkan, yang membuat lembaga sekuat
KPK pun seperti kewalahan. ”Seni
tetap harus melawan…!” ujar Aris. Sebuah lukisan memang tak boleh
rendah diri apalagi takut dicap sebagai mural di tengah reproduksi
kejahatan yang jauh lebih cepat dibanding upaya-upaya pemberantasannya. Lawan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar