Selasa, 12 Maret 2013

Lentera Jiwa (2)


Lentera Jiwa (2)
Rhenald Kasali  ;   Ketua Program MM UI
JAWA POS, 12 Maret 2013


KETIKA seseorang bertanya bagaimana caranya menjaga kebugaran agar selalu tampak segar dan bersemangat, sebenarnya jawaban terbaik ada pada menyala atau tidaknya lentera jiwa seseorang. Di rumah, kala saya sedang mengalami tekanan psikologis, istri saya selalu mengatakan bahwa wajah saya sudah berubah menjadi seperti pak dosen. Lama saya tak mendengar lagi kalimat itu, tetapi saya pernah memikirkannya.

Rupanya dia tak mau wajah suaminya menjadi mirip rata-rata dosen yang kata dia menjadi lebih tua daripada usianya. Saya baru menemukan jawabannya ketika suatu waktu Najwa Shihab mempertemukan saya, Prof Emil Salim, dan Niniek L. Karim, dosen Fakultas Psikologi UI, untuk menyambut mahasiswa baru. Di atas panggung auditorium UI, kami bercerita tentang kehidupan kami, bagaimana meniti karir dan menembus tembok-tembok kesulitan sepanjang masa. Saat jeda, saya bertanya kepada Niniek, apakah sosok seperti dia lazim berada di kalangan dosen? Apakah tidak mengalami masalah dengan pola karir seperti itu?

Di luar dugaan saya, pemain teater yang beberapa kali meraih Piala Citra lewat layar lebar tersebut justru bertanya balik kepada saya. Saya katakan, justru itulah saya bertanya, karena sesungguhnya saya ingin tahu apakah orang seperti saya di fakultas lain juga mengalami hal serupa? Selain mengajar, Niniek dikenal sebagai selebriti dan dulu sering muncul di layar lebar.  Kalau sekarang Anda menyaksikan akademisi menjadi pengamat dan sering masuk TV adalah hal biasa, tidak demikian sepuluh-dua puluh tahun lalu.

Niniek bercerita panjang lebar bagaimana dirinya dianggap aneh oleh komunitasnya. Bahkan, yang lain bercerita bahwa mereka seperti digunjingkan, tak diinginkan oleh komunitasnya. Tetapi, Niniek kemudian mengatakan, "Tetapi, saya bahagia, Mas. Saya lakukan semua ini karena panggilan jiwa saya. Sementara ada ratusan dosen yang melakukan profesinya bukan karena panggilan jiwanya."  Maka, layaklah mereka menjadi dosen killer, mudah tertekan, cepat tersinggung, sulit mengungkapkan kemauan hatinya, bahkan sulit berprestasi optimal. Padahal, seorang guru sejati bukanlah orang yang senang marah, mempersulit orang lain, mengatakan orang lain tak mutu, bahkan mengatakan hanya dirinya yang bisa bernalar. Bagi saya, semua itu hanyalah cerminan dari tak menyalanya lentera jiwa. Mereka bahkan the caged life (perangkap jiwa) atau sudah comfortable life (mempertahankan kenyamanan).

Pertanyaan Jiwa 

Maka, sampai di usia 30-40-an tahun, seorang yang sedang meniti karir perlu bertanya kepada jiwanya dan pertanyaan itu adalah cermin di mana dia berada. The caged life, kata Brendon Burchard, akan selalu diwarnai perasaan-perasaan takut setiap menyaksikan perubahan apa saja. "Apakah saya bisa survive?" Dan fokusnya hanya "aman atau tersakiti".

The comfortable life sebaliknya akan bertanya, "Apakah saya akan diterima dan berhasil?" Dan fokusnya penerimaan. Sedangkan pemantik lentera jiwa akan bertanya, "Apakah saya telah menegakkan kebenaran dan mengaktualisasikan potensi diri saya? Apakah saya telah menjalankan hidup yang inspiratif dan menginspirasi orang lain?"

Bagi saya, maaf, percuma saja meneriakkan kejujuran dan etika bila diri sendiri menjalani hidup yang terpenjara. Orang yang terpenjara tidak hidup dalam apa yang dia inginkan. Dia menyimpan banyak pertanyaan yang sulit dijawabnya sendiri. Sementara bagi pemantik lentera jiwa, kredo yang dianutnya adalah "ask not what you are getting from the world, but rather what you are giving to the world".

Orang yang karirnya dijalani dalam the caged life berpotensi menjadi komplainer dan tidak bahagia melihat orang lain bahagia. Mereka justru berbahaya bila menjalani karir sebagai auditor, wartawan investigator, penulis, penegak hukum, atau bahkan ditempatkan ke dalam dewan etika sebuah lembaga.

Maka, mereka tak pernah merasa letih karena setiap hari selalu menyaksikan hal-hal baru. Itu berbeda dengan the comfortabe life yang selalu menjalani rutin dengan kebosanan. Bagi pemantik lentera jiwa, life is magical and meaningful. Mereka tak takut menghadapi gelombang-gelombang ancaman. Mereka hanya peduli "apakah ini benar atau tidak" dan "apakah ini meaningful". Selamat menyalakan lentera jwa masing-masing... ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar