Minggu, 03 Maret 2013

Lagi tentang Kartel Pangan


Lagi tentang Kartel Pangan
Andi Irawan  ;  Peminat Telaah Ekonomi Politik Pangan Indonesia,
Doktor Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor
MEDIA INDONESIA, 02 Maret 2013


HARGA sejumlah komoditas pangan pokok sepanjang 2009-2013 menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan. Harga gula, misalnya, pada 2009 sekitar Rp6.300 per kilogram (kg), tetapi saat ini berkisar Rp11.000-Rp13.000 per kg. Padahal, harga gula di pasar internasional hanya sekitar US$489,80 per ton atau Rp4.700 per kg. Hal sama terjadi pada daging sapi. Pada 2009, harganya hanya sekitar Rp60 ribu per kg, tetapi sekarang tembus Rp100 ribu per kg.

Harga yang naik ialah indikasi penting terjadinya kelangkaan barang. Kelangkaan barang secara umum pasti karena adanya gap antara supply and demand (persediaan dan permintaan). Ketika demand lebih tinggi daripada supply, adalah niscaya harga akan naik. Namun, pertanyaan lanjut yang perlu diklarifikasi dari kenaikan harga barang itu ialah apakah kenaikan itu terjadi karena faktor-faktor alamiah yang dikenal dengan mekanisme pasar yang kompetitif atau karena adanya power (kekuasaan) yang mengintervensi pasar sehingga memberikan keuntungan kepada segolongan orang yang berakibat merugikan banyak orang.

Dalam konteks tersebut menarik untuk mengajukan pertanyaan apakah tren harga bahan-bahan pokok yang cenderung naik beberapa tahun terakhir sepenuhnya disebabkan faktor-faktor alamiah pasar atau karena masuknya power yang mendistorsi pasar.

Power yang mendistorsi pasar terbagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, berasal dari kekuatan yang dimiliki para pelaku pasar. Ketika ada produsen tunggal (monopoli) atau konsumen tunggal (monopsoni) pastilah berimplikasi kemampuan menentukan harga yang berakibat mengeksploitasi mitra ekonomi mereka, yakni para konsumen untuk pasar monopoli dan para produsen untuk pasar monopsoni.

Bentuk kekuatan pasar lain yang distortif dan ekploitatif ialah ketika pasar hanya dikuasai beberapa produsen (oligopoli) atau segelintir konsumen (oligopsoni). Eksploitasi terhadap para konsumen (dalam pasar oligopoli) atau para produsen (dalam pasar oligopsoni) muncul ketika terjadi kolusi atau persekongkolan segelintir pelaku pasar untuk mengatur produksi atau konsumsi mereka, atau mengatur pemasaran barang sehingga mereka bisa menentukan harga, atau dengan kata lain mereka membentuk kartel di dalam pasar.

Tren kenaikan harga pangan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir diduga karena hadirnya kartel dalam struktur pasar komoditas pangan impor. Kecurigaan itu memang cukup beralasan. Kalau kita melihat struktur pasar, memang tampak jelas bahwa hanya segelitir perusahaan yang berskala besar menguasai pasar pangan Indonesia. Dengan kata lain, struktur pasar pangan domestik bersifat oligopoli. Seperti yang disampaikan Ketua Komite Ekonomi Nasional, Chairul Tanjung, pasar komoditas pangan domestik kita berstruktur oligopoli, terutama untuk pasar kedelai, pakan unggas, dan gula.

Importir kedelai di dalam negeri hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan (menggunakan PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill Indonesia. Pada industri pakan unggas yang hampir 70% bahan bakunya ialah jagung, empat perusahaan terbesar menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Distribusi gula di dalam negeri dulu dikuasai `sembilan samurai', tetapi sekarang dikuasai enam orang.

Namun, tentu saja struktur pasar yang bersifat oligopoli itu secara hukum positif tidak bisa disebut kartel. Pasal 11 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat mengatakan mereka baru bisa dikatakan membentuk kartel kalau terbukti melakukan persekongkolan, kerja sama untuk mengatur produksi dan atau mengatur pemasaran produk-produk pangan impor di Indonesia.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sangat sulit untuk membuktikan terjadinya persekongkolan ekonomi yang dinamakan kartel. Hal itu mungkin disebabkan kewenangan KPPU tidak sehebat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang punya ke wenangan menyadap telepon, e-mail, atau jalur komunikasi lainnya. Dengan demikian, tidak ada salahnya presiden dan DPR menjadikan KPPU menjadi lembaga superbodi demi tegaknya hukum persaingan usaha yang sehat di negeri ini.

Faktor kedua yang menjadi penyebab hadirnya power destruktif dalam pasar ialah ketika pelaku pasar berkongkalikong dengan kekuatan di luar pasar, khususnya pengambil kebijakan penting negara baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

Power pasar yang sedemikian bisa terbentuk karena adanya win-win solution antara pelaku ekonomi dan salah satu atau lebih dari elite negara, bisa perencana dan pelaksana pembangunan (eksekutif), pembuat undang-undang (legislatif) atau penegak hukum (jaksa, polisi, atau hakim).

Pelaku pasar tertentu diuntungkan dan mendapat privilege (privilese) dan power untuk menguasai pasar karena mendapat dukungan dan lindungan elite-elite negara. Keuntungan dari penguasaan pasar dibagi kepada semua pihak yang terlibat. Fenomena itu kita kenal dengan terminologi economic rent seeking (perburuan rente ekonomi).

Akibatnya kebijakan-kebijakan perdagangan, produksi, distribusi dan konsumsi negara yang dikeluarkan negara menjadi bias vested interest. Motivasi utamanya bukan untuk memakmurkan bangsa, melainkan lebih didorong keinginan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau politik dalam jangka pendek (Grindle, 1989).

Keberadaan para pemburu rente itu menyebabkan tak adanya pertimbangan jangka panjang ketika akan mengeluarkan sebuah kebijakan. Dampaknya aturan yang dikeluarkan pembuat keputusan hanya berdasar pada motif kepentingan jangka pendek, baik secara ekonomi ataupun politik, yang terkadang sangat mengabaikan kepentingan masyarakat.

Kita berharap aparat hukum, khususnya KPK, mampu menyelisik semua aktivitas perburuan rente ekonomi dalam aktivitas ekonomi domestik kita, tidak terkecuali dalam semua aktivitas impor komoditas pangan skala besar. Jika perilaku itu tidak bisa dikikis, yang dirugikan ialah masyarakat konsumen dan petani. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar