SAMPAI batas akhir penyerahan
syarat pendaftaran peserta pemilu, tercatat 46 partai politik mengajukan
diri menjadi peserta Pemilu 2014. Jumlah tersebut lebih sedikit bila
dibandingkan dengan parpol yang mendaftar sebagai peserta Pemilu 1999,
2004, dan 2009. Pemilu 1999 mendaftar 141 partai politik, Pemilu 2004
mendaftar 50 partai politik, dan Pemilu 2009 mendaftar 49 partai politik.
Sekalipun jumlah pendaftar hanya 46 partai
politik, beban kerja verifikasi peserta Pemilu 2014 jauh lebih berat jika
dibandingkan dengan verifikasi sebelumnya. Secara kuantitatif, jumlah
partai politik yang harus diverifikasi jauh lebih banyak daripada dua
pemilu sebelumnya. Secara substansi, persyaratan yang harus diverifikasi
juga lebih banyak daripada pemilupemilu terdahulu.
Selain itu, dalam sejarah pemilu Indonesia
inilah untuk pertama kali seluruh peserta pemilu diwajibkan mengikuti verifikasi.
Pada Pemilu 1999, masih terdapat tiga parpol yang dinyatakan sebagai
peserta pemilu tanpa verifikasi.
Begitu pula dalam Pemilu 2004, enam parpol yang memenuhi electoral threshold ditetapkan
sebagai peserta Pemilu 2004 tanpa harus diverifikasi. Terakhir, Pemilu
2009, sebanyak 20 partai politik mengikuti pemilu tanpa melalui verifikasi
keterpenuhan syarat yang ditentukan undang-undang.
Hakikat
Verifikasi
Tampak luar, verifikasi dimaknai sebagai
proses pemeriksaan terhadap kebenaran semua persyaratan yang disampaikan
partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Seiring dengan itu, verifikasi
partai politik juga dipahami sebagai mekanisme update terhadap keberadaan
dan perkembangan partai politik. Pada level itu, verifikasi ditujukan untuk
membuktikan apakah organisasi, personalia pengurus, anggota, administrasi,
dan keuangan partai betul-betul nyata adanya.
Secara substansi, verifikasi ditujukan
untuk mendorong partai politik membuktikan tanggung jawab mereka sebagai
penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat. Apakah partai
politik terkait betul-betul mengakar dalam masyarakat atau sekadar
perwujudan hasrat segelintir elite yang masih genit untuk menari di atas
panggung politik. Melalui verifikasi, keseriusan partai politik untuk terus
membangun dan mengembangkan diri menjadi partai yang merepresentasikan mayoritas
rakyat dapat diuji. Pada tingkat tersebut, verifikasi dapat dimaknai
sebagai sebuah langkah untuk `memaksa' terjadinya penguatan terhadap
kelembagaan partai politik.
Karena itu, verifikasi merupakan salah satu
tahapan krusial dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam posisi demikian, tahap
itu harus diselesaikan KPU secara cerdas dan akurat. Dalam arti, tahapan
itu mesti dijadikan momentum untuk mengevaluasi keberadaan partai politik
guna mendorong terjadinya penataan sistem kepartaian. Bagaimanapun,
verifikasi bukanlah pekerjaan mudah. Verifikasi yang dilakukan dalam
semangat membenahi partai politik sebagai infrastruktur politik tentunya
akan menghadapi persoalan yang tidak sederhana. Persoalan itu dapat muncul
karena ada perlawanan terbuka partai politik yang berpikir pragmatis
ataupun perlawanan dengan cara menggerogoti integritas penyelenggara
pemilu.
Keniscayaan
Pengawasan
Dalam pelaksanaannya, verifikasi peserta
pemilu akan dihantui berbagai bentuk tindakan tidak fair, baik yang
dilakukan partai politik peserta pemilu maupun oleh penyelenggara pemilu. Bagi
peserta pemilu, kecurangan berpo tensi terjadi dalam berbagai bentuk se
perti memanipulasi persyaratan, memalsukan dokumen, dan melakukan
kecurangan lainnya.
Pada level penyelenggara, ketidakjujuran
pada tahap verifikasi dapat terjadi dalam bentuk membiarkan kecurangan yang
dilakukan peserta ataupun turut serta melakukan kecurangan dengan meloloskan
parpol yang seharusnya tidak lolos dalam verifikasi. Potensi kecurangan
sangat mungkin terjadi pada setiap tahapan verifikasi, baik admi nistrasi
maupun faktual.
Pada tahap verifikasi administrasi,
kecurangan dapat terjadi dalam bentuk meloloskan partai politik yang tidak
memenuhi syarat. Hanya, sejauh perkembangan yang dapat diikuti, KPU masih
mampu bersikap tegas atas partai politik yang dinilai tidak memenuhi syarat
administrasi. Untuk itu, dari 46 partai politik yang telah mendaftarkan
diri, 12 partai politik dinyatakan gagal karena tidak memenuhi administrasi
yang dipersyaratkan.
Karena itu, langkah lebih lanjut yang perlu
dibangun ialah kewaspadaan terhadap partai politik yang telah dinyatakan
memenuhi seluruh dokumen persyaratan pendaftaran. Dikhawatirkan, partai
politik akan mengambil sikap pragmatis dengan sebatas memenuhi administrasi
belaka, sedangkan kebenaran informasi yang dicantumkan dalam dokumen yang
diajukan luput dari perhatian serius. Pada tahap itu, meski mungkin telah
terjadi kecurangan dengan memberikan infor masi yang tidak benar, sepanjang
persyaratan administratif sudah terpenuhi, KPU tentunya tidak dapat berbuat
banyak. KPU hanya dapat menerima keberadaan dokumen administrasi yang telah
diserahkan, sedangkan penilaian benartidaknya isi dokumen baru dapat
dilakukan KPU pada saat proses verifikasi faktual.
Pada tahapan verifikasi faktuallah potensi
terjadinya penyimpangan terbuka lebar karena pada tahap itu KPU berada pada
posisi memeriksa kebenaran informasi dan syarat yang diserahkan partai
politik peserta pemilu. Kolusi dan nepotisme antara penyelenggara pemilu
dan parpol peserta pemilu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, pada
tahap itu pengawasan menjadi sangat penting dilakukan.
Pengawasan proses verifikasi faktual tentunya
bukan pekerjaan mudah. Tahapan itu tidak hanya dilaksanakan di tingkat
pusat, tetapi juga dilaksanakan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Luasnya
lingkup pekerjaan yang ada membuka ruang terjadinya `permufakatan jahat'
antara oknum penyelenggara pemilu dan pengurus partai politik baik karena
imingiming materi ataupun sekadar pertimbangan lain yang sulit dijelaskan
secara konkret.
Minus
Pengawasan
Sayangnya, sampai tahapan verifikasi
faktual selesai dilaksanakan, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota
diperkirakan belum akan terbentuk. Dengan demikian, proses verifikasi
(termasuk verifikasi faktual) terancam tidak ada pengawasan. Padahal, salah
satu titik rawan pada saat verifikasi faktual terletak pada pemenuhan
syarat memiliki 1.000 anggota atau 1/1.000 dari jumlah penduduk
kabupaten/kota yang diverifikasi jajaran KPU di tingkat kabupaten/kota.
Dengan tidak akan adanya pengawasan
terhadap verifikasi faktual, tahapan itu sepenuhnya akan bergantung pada
jajaran KPU. Dalam hal ini, jajaran KPU hanya punya dua pilihan. Pertama,
membiarkan proses verifikasi berjalan dengan segala kemungkinan kecurangan
yang dilakukan baik oleh partai politik sendiri ataupun bersama-sama dengan
oknum penyelenggara. Kedua, melaksanakan verifikasi dalam kerangka
nondiskriminasi dan semangat penyederhaaan partai politik. Dalam arti
melaksanakan verifikasi secara fair, memperlakukan semua peserta pemilu
secara sama dan melaksanakan verifikasi secara profesional. Banyak kalangan
percaya, dengan cara tersebut, berbagai kecurangan yang mungkin terjadi
dapat dihindari.
Pilihan tersebut akan sangat
bergantung pada integritas komisioner mulai tingkat pusat sampai ke daerah.
Bila memilih jalan pertama, berarti KPU tidak hendak menjadi bagian dari
elemen perbaikan kualitas demokrasi. Sebaliknya, bila memilih jalan kedua,
berarti KPU masih bermimpi tercatat sebagai lembaga yang mandiri. Karena
itu, verifikasi tidak sebatas menjadi ajang pembuktian keterpenuhan syarat
menjadi peserta pemilu, tetapi juga untuk memastikan apakah KPU benar-benar
mampu menjaga kemandirian mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar