Minggu, 03 Maret 2013

Menguji Kemandirian KPU


Menguji Kemandirian KPU
Khairul Fahmi  ;  Dosen Hukum Tata Negara; Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA, 02 Maret 2013


SAMPAI batas akhir penyerahan syarat pendaftaran peserta pemilu, tercatat 46 partai politik mengajukan diri menjadi peserta Pemilu 2014. Jumlah tersebut lebih sedikit bila dibandingkan dengan parpol yang mendaftar sebagai peserta Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Pemilu 1999 mendaftar 141 partai politik, Pemilu 2004 mendaftar 50 partai politik, dan Pemilu 2009 mendaftar 49 partai politik.

Sekalipun jumlah pendaftar hanya 46 partai politik, beban kerja verifikasi peserta Pemilu 2014 jauh lebih berat jika dibandingkan dengan verifikasi sebelumnya. Secara kuantitatif, jumlah partai politik yang harus diverifikasi jauh lebih banyak daripada dua pemilu sebelumnya. Secara substansi, persyaratan yang harus diverifikasi juga lebih banyak daripada pemilupemilu terdahulu.

Selain itu, dalam sejarah pemilu Indonesia inilah untuk pertama kali seluruh peserta pemilu diwajibkan mengikuti verifikasi. Pada Pemilu 1999, masih terdapat tiga parpol yang dinyatakan sebagai peserta pemilu tanpa verifikasi.

Begitu pula dalam Pemilu 2004, enam parpol yang memenuhi electoral threshold ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2004 tanpa harus diverifikasi. Terakhir, Pemilu 2009, sebanyak 20 partai politik mengikuti pemilu tanpa melalui verifikasi keterpenuhan syarat yang ditentukan undang-undang.

Hakikat Verifikasi

Tampak luar, verifikasi dimaknai sebagai proses pemeriksaan terhadap kebenaran semua persyaratan yang disampaikan partai politik untuk menjadi peserta pemilu. Seiring dengan itu, verifikasi partai politik juga dipahami sebagai mekanisme update terhadap keberadaan dan perkembangan partai politik. Pada level itu, verifikasi ditujukan untuk membuktikan apakah organisasi, personalia pengurus, anggota, administrasi, dan keuangan partai betul-betul nyata adanya.

Secara substansi, verifikasi ditujukan untuk mendorong partai politik membuktikan tanggung jawab mereka sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat. Apakah partai politik terkait betul-betul mengakar dalam masyarakat atau sekadar perwujudan hasrat segelintir elite yang masih genit untuk menari di atas panggung politik. Melalui verifikasi, keseriusan partai politik untuk terus membangun dan mengembangkan diri menjadi partai yang merepresentasikan mayoritas rakyat dapat diuji. Pada tingkat tersebut, verifikasi dapat dimaknai sebagai sebuah langkah untuk `memaksa' terjadinya penguatan terhadap kelembagaan partai politik.

Karena itu, verifikasi merupakan salah satu tahapan krusial dalam penyelenggaraan pemilu. Dalam posisi demikian, tahap itu harus diselesaikan KPU secara cerdas dan akurat. Dalam arti, tahapan itu mesti dijadikan momentum untuk mengevaluasi keberadaan partai politik guna mendorong terjadinya penataan sistem kepartaian. Bagaimanapun, verifikasi bukanlah pekerjaan mudah. Verifikasi yang dilakukan dalam semangat membenahi partai politik sebagai infrastruktur politik tentunya akan menghadapi persoalan yang tidak sederhana. Persoalan itu dapat muncul karena ada perlawanan terbuka partai politik yang berpikir pragmatis ataupun perlawanan dengan cara menggerogoti integritas penyelenggara pemilu.

Keniscayaan Pengawasan

Dalam pelaksanaannya, verifikasi peserta pemilu akan dihantui berbagai bentuk tindakan tidak fair, baik yang dilakukan partai politik peserta pemilu maupun oleh penyelenggara pemilu. Bagi peserta pemilu, kecurangan berpo tensi terjadi dalam berbagai bentuk se perti memanipulasi persyaratan, memalsukan dokumen, dan melakukan kecurangan lainnya.

Pada level penyelenggara, ketidakjujuran pada tahap verifikasi dapat terjadi dalam bentuk membiarkan kecurangan yang dilakukan peserta ataupun turut serta melakukan kecurangan dengan meloloskan parpol yang seharusnya tidak lolos dalam verifikasi. Potensi kecurangan sangat mungkin terjadi pada setiap tahapan verifikasi, baik admi nistrasi maupun faktual.

Pada tahap verifikasi administrasi, kecurangan dapat terjadi dalam bentuk meloloskan partai politik yang tidak memenuhi syarat. Hanya, sejauh perkembangan yang dapat diikuti, KPU masih mampu bersikap tegas atas partai politik yang dinilai tidak memenuhi syarat administrasi. Untuk itu, dari 46 partai politik yang telah mendaftarkan diri, 12 partai politik dinyatakan gagal karena tidak memenuhi administrasi yang dipersyaratkan.

Karena itu, langkah lebih lanjut yang perlu dibangun ialah kewaspadaan terhadap partai politik yang telah dinyatakan memenuhi seluruh dokumen persyaratan pendaftaran. Dikhawatirkan, partai politik akan mengambil sikap pragmatis dengan sebatas memenuhi administrasi belaka, sedangkan kebenaran informasi yang dicantumkan dalam dokumen yang diajukan luput dari perhatian serius. Pada tahap itu, meski mungkin telah terjadi kecurangan dengan memberikan infor masi yang tidak benar, sepanjang persyaratan administratif sudah terpenuhi, KPU tentunya tidak dapat berbuat banyak. KPU hanya dapat menerima keberadaan dokumen administrasi yang telah diserahkan, sedangkan penilaian benartidaknya isi dokumen baru dapat dilakukan KPU pada saat proses verifikasi faktual.

Pada tahapan verifikasi faktuallah potensi terjadinya penyimpangan terbuka lebar karena pada tahap itu KPU berada pada posisi memeriksa kebenaran informasi dan syarat yang diserahkan partai politik peserta pemilu. Kolusi dan nepotisme antara penyelenggara pemilu dan parpol peserta pemilu sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, pada tahap itu pengawasan menjadi sangat penting dilakukan.

Pengawasan proses verifikasi faktual tentunya bukan pekerjaan mudah. Tahapan itu tidak hanya dilaksanakan di tingkat pusat, tetapi juga dilaksanakan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Luasnya lingkup pekerjaan yang ada membuka ruang terjadinya `permufakatan jahat' antara oknum penyelenggara pemilu dan pengurus partai politik baik karena imingiming materi ataupun sekadar pertimbangan lain yang sulit dijelaskan secara konkret.

Minus Pengawasan

Sayangnya, sampai tahapan verifikasi faktual selesai dilaksanakan, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota diperkirakan belum akan terbentuk. Dengan demikian, proses verifikasi (termasuk verifikasi faktual) terancam tidak ada pengawasan. Padahal, salah satu titik rawan pada saat verifikasi faktual terletak pada pemenuhan syarat memiliki 1.000 anggota atau 1/1.000 dari jumlah penduduk kabupaten/kota yang diverifikasi jajaran KPU di tingkat kabupaten/kota.

Dengan tidak akan adanya pengawasan terhadap verifikasi faktual, tahapan itu sepenuhnya akan bergantung pada jajaran KPU. Dalam hal ini, jajaran KPU hanya punya dua pilihan. Pertama, membiarkan proses verifikasi berjalan dengan segala kemungkinan kecurangan yang dilakukan baik oleh partai politik sendiri ataupun bersama-sama dengan oknum penyelenggara. Kedua, melaksanakan verifikasi dalam kerangka nondiskriminasi dan semangat penyederhaaan partai politik. Dalam arti melaksanakan verifikasi secara fair, memperlakukan semua peserta pemilu secara sama dan melaksanakan verifikasi secara profesional. Banyak kalangan percaya, dengan cara tersebut, berbagai kecurangan yang mungkin terjadi dapat dihindari.

Pilihan tersebut akan sangat bergantung pada integritas komisioner mulai tingkat pusat sampai ke daerah. Bila memilih jalan pertama, berarti KPU tidak hendak menjadi bagian dari elemen perbaikan kualitas demokrasi. Sebaliknya, bila memilih jalan kedua, berarti KPU masih bermimpi tercatat sebagai lembaga yang mandiri. Karena itu, verifikasi tidak sebatas menjadi ajang pembuktian keterpenuhan syarat menjadi peserta pemilu, tetapi juga untuk memastikan apakah KPU benar-benar mampu menjaga kemandirian mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar