Minggu, 03 Maret 2013

Dicari “Leader” Tanpa Mental Diler!


Dicari “Leader” Tanpa Mental Diler!
Benny Susetyo  ;  Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute
SINAR HARAPAN, 02 Maret 2013


Konflik sumber daya alam dan agraria sepanjang tiga tahun terakhir mengkhawatirkan. Tercatat terjadi 232 konflik yang mencuat. Selain menyebabkan 91.968 orang menjadi korban dan kerugian materi, penyalahgunaan tata guna hutan dan lahan ini memicu berbagai bencana, seperti banjir bandang dan tanah longsor.

Berdasarkan catatan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma), 232 konflik itu berlangsung di 98 kabupaten/ kota di 22 provinsi. Luasan area konflik ini lebih dari 2 juta hektare atau lebih dari 20.000 kilometer persegi. Huma juga mencatat 91.968 orang dari 315 komunitas telah menjadi korban konflik SDA dan agraria. Koordinator Database dan Informasi Huma Widiyanto mengatakan, tujuh provinsi yang paling banyak mengalami konflik SDA dan agraria, yakni Kalimantan Tengah 67 kasus di 13 kabupaten, Jawa Tengah 36 kasus di 11 kabupaten, Banten 14 kasus di dua kabupaten, Jawa Barat 12 kasus di lima kabupaten, Kalimantan Barat 11 kasus di delapan kabupaten, Aceh 10 kasus di delapan kabupaten, Kalimantan Timur tujuh kasus di tujuh kabupaten, dan Kalimantan Selatan satu kasus di satu kabupaten. Dibutuhkan  sejumlah upaya untuk mengatasi konflik  yang terjadi di mana-mana akibat tata kelola sumber daya alam  yang dikelola hanya berdasarkan selera politik lokal. 

Demokrasi dengan pilihan langsung menciptakan pejabat lokal yang bisa menggunakan wewenang luar biasa dengan mengeluarkan izin tanpa peduli keselamatan lingkungan hidup. Persoalan kita membutuhkan pemimpin mampu memahami serta mengerti akar konflik sosial di Indonesia. 

Konflik di Indonesia saat ini mengancam eksistensi NKRI karena menyangkut kepentingan kapital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Maka persoalan perselingkuhan kapital dengan penguasa membuat posisi rakyat tidak berdaya. Tugas pejabat publik adalah mengelola negara dalam mengatur kekayaan publik sebaik-baiknya, bukan memilikinya. Kekayaan publik semestinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini tersirat jelas dalam konstitusi kita. Bumi dan kekayaannya harus diolah demi kemakmuran bersama.

Rumusan ini sebenarnya memberi amanat kepada pengelola negara untuk mengatur kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia demi rakyat. Sayangnya, para pejabat publik kerap kali tidak memiliki tanggung jawab dan kesadaran sebagaimana penegasan dalam konstitusi. Konstitusi kerap kali ditafsirkan secara sembarangan dan mengarah pada kepentingan politik kekuasaan semata.  Ini membuat kesejahteraan sulit tercipta karena badan publik yang membuat kebijakan kerap kali bermain mata dengan pasar, dan sering berkolaborasi dengan komunitas bisnis hitam.

Para pebisnis hitam memasuki dunia politik untuk melindungi diri. Politik menjadi arena perdagangan semata. Permainan mereka inilah yang merugikan masyarakat. Alam Indonesia kering disedot oleh para mafia ini.

Di tingkat akar rumput diciptakan potensi konflik dan kekerasan, adu domba. Sering kali ini sebenarnya sekadar upaya mengalihkan masalah lebih besar, yakni rusaknya keadaan publik yang ditandai dengan kolusi elite politik yang memproduksi undang dengan kekuatan pasar hitam. Inilah yang membuat wajah keadaban publik menjadi muram karena tidak mampu menata pemerintahan yang efisien dan efektif untuk memberikan pelayanan publik sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.

Badan publik selalu dipenuhi dengan “titipan politik”. Mereka sering kali direpotkan manuver partai politik yang meminta jatah setoran untuk kepentingan partai dan pribadi. Karena itu, optimalisasi badan publik hanya bisa dilakukan bila kekuasaan politik berhenti melakukan praktik pemerasan terhadap badan publik negara. Bangsa dan negara memerlukan pencerahan yang bersumber dari akal budi agar selamat dari bahaya perselingkuhan politik dengan kapitalis. Kalau pencerahan terhadap akal dan budi tidak dilakukan, akan semakin sulit bagi bangsa ini untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar disegani dan diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Krisis 
Salah urus dalam pengelolaan bangsa dan negara telah menimbulkan krisis berkepanjangan yang membuat masyarakat menjadi gila, stres, dan hilang harapan. Solusinya perlu seorang pemimpin visioner dan berkarakter, pemberani hingga bisa menentukan arah Indonesia ke depan. 

Pemimpin adalah leader, bukan diler. Dimensi terakhir adalah individualized consideration, yang mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya. Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah dengan rakyatnya.

Sekarang saatnya kita melakukan refleksi: sudahkah para pemimpin kita menerapkan gaya kepemimpinan transformasional? Jujur kita akui, Indonesia saat ini masih miskin pemimpin transformasional yang inspiratif dan autentik. Elite pemimpin kita tersandera kepemimpinan transaksional. Mereka lebih mengedepankan konstituen ketimbang konstitusi, memprioritaskan kepentingan jangka pendek dan politik barter untuk mengamankan posisi masing-masing. Saatnya kita memperbaiki jalur kaderisasi politik kita, menyiapkan supply-side politik yang bertumpu pada asas meritokrasi dan kompetensi. 

Persoalan sekarang ini kita kehilangan pemimpin memiliki kemampuan sebagai leader yang mampu membawa bangsa ini memiliki mimpi untuk masa depan tidak terjebak masalah internal partai politik. Kita merindukan pemimpin yang mampu memiliki mimpi besar dengan mengatasi persoalan yang kecil agar bangsa ini mampu mengembalikan kembali visi keindonesiaan. 

Tujuan kita merdeka menciptakan masyarakat cerdas dan kewajiban negara melindungi warga serta mampu berperan untuk menjaga perdamaian dan masyarakat sejahtera. Inilah mimpi yang harus diwujudkan oleh setiap pemimpin negeri ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar