Dicari “Leader”
Tanpa Mental Diler!
Benny Susetyo ; Sekretaris Dewan
Nasional Setara Institute
|
|
SINAR
HARAPAN, 02 Maret 2013
Konflik sumber daya alam dan
agraria sepanjang tiga tahun terakhir mengkhawatirkan. Tercatat terjadi 232
konflik yang mencuat. Selain menyebabkan 91.968 orang menjadi korban dan
kerugian materi, penyalahgunaan tata guna hutan dan lahan ini memicu
berbagai bencana, seperti banjir bandang dan tanah longsor.
Berdasarkan
catatan Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan
Ekologis (Huma), 232 konflik itu berlangsung di 98 kabupaten/ kota di 22
provinsi. Luasan area konflik ini lebih dari 2 juta hektare atau lebih dari
20.000 kilometer persegi. Huma juga mencatat 91.968 orang dari 315
komunitas telah menjadi korban konflik SDA dan agraria. Koordinator
Database dan Informasi Huma Widiyanto mengatakan, tujuh provinsi yang
paling banyak mengalami konflik SDA dan agraria, yakni Kalimantan Tengah 67
kasus di 13 kabupaten, Jawa Tengah 36 kasus di 11 kabupaten, Banten 14
kasus di dua kabupaten, Jawa Barat 12 kasus di lima kabupaten, Kalimantan
Barat 11 kasus di delapan kabupaten, Aceh 10 kasus di delapan kabupaten,
Kalimantan Timur tujuh kasus di tujuh kabupaten, dan Kalimantan Selatan
satu kasus di satu kabupaten. Dibutuhkan sejumlah upaya untuk
mengatasi konflik yang terjadi di mana-mana akibat tata kelola sumber
daya alam yang dikelola hanya berdasarkan selera politik lokal.
Demokrasi
dengan pilihan langsung menciptakan pejabat lokal yang bisa menggunakan
wewenang luar biasa dengan mengeluarkan izin tanpa peduli keselamatan
lingkungan hidup. Persoalan kita membutuhkan pemimpin mampu memahami serta
mengerti akar konflik sosial di Indonesia.
Konflik di
Indonesia saat ini mengancam eksistensi NKRI karena menyangkut kepentingan
kapital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Maka persoalan
perselingkuhan kapital dengan penguasa membuat posisi rakyat tidak berdaya.
Tugas pejabat publik adalah mengelola negara dalam mengatur kekayaan publik
sebaik-baiknya, bukan memilikinya. Kekayaan publik semestinya dipergunakan
untuk kemakmuran rakyat. Ini tersirat jelas dalam konstitusi kita. Bumi dan
kekayaannya harus diolah demi kemakmuran bersama.
Rumusan ini
sebenarnya memberi amanat kepada pengelola negara untuk mengatur kekayaan
alam yang ada di bumi Indonesia demi rakyat. Sayangnya, para pejabat publik
kerap kali tidak memiliki tanggung jawab dan kesadaran sebagaimana
penegasan dalam konstitusi. Konstitusi kerap kali ditafsirkan secara
sembarangan dan mengarah pada kepentingan politik kekuasaan semata.
Ini membuat kesejahteraan sulit tercipta karena badan publik yang membuat
kebijakan kerap kali bermain mata dengan pasar, dan sering berkolaborasi
dengan komunitas bisnis hitam.
Para pebisnis
hitam memasuki dunia politik untuk melindungi diri. Politik menjadi arena
perdagangan semata. Permainan mereka inilah yang merugikan masyarakat. Alam
Indonesia kering disedot oleh para mafia ini.
Di tingkat akar
rumput diciptakan potensi konflik dan kekerasan, adu domba. Sering kali ini
sebenarnya sekadar upaya mengalihkan masalah lebih besar, yakni rusaknya
keadaan publik yang ditandai dengan kolusi elite politik yang memproduksi
undang dengan kekuatan pasar hitam. Inilah yang membuat wajah keadaban
publik menjadi muram karena tidak mampu menata pemerintahan yang efisien
dan efektif untuk memberikan pelayanan publik sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya.
Badan publik
selalu dipenuhi dengan “titipan politik”. Mereka sering kali direpotkan
manuver partai politik yang meminta jatah setoran untuk kepentingan partai
dan pribadi. Karena itu, optimalisasi badan publik hanya bisa dilakukan
bila kekuasaan politik berhenti melakukan praktik pemerasan terhadap badan
publik negara. Bangsa dan negara memerlukan pencerahan yang bersumber dari
akal budi agar selamat dari bahaya perselingkuhan politik dengan kapitalis.
Kalau pencerahan terhadap akal dan budi tidak dilakukan, akan semakin sulit
bagi bangsa ini untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar disegani dan
diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Krisis
Salah urus dalam pengelolaan
bangsa dan negara telah menimbulkan krisis berkepanjangan yang membuat
masyarakat menjadi gila, stres, dan hilang harapan. Solusinya perlu seorang
pemimpin visioner dan berkarakter, pemberani hingga bisa menentukan arah
Indonesia ke depan.
Pemimpin adalah
leader, bukan diler. Dimensi terakhir adalah individualized consideration, yang
mau mendengar keluhan bawahan, bersikap layaknya manusia dan apa adanya.
Dalam arti yang luas, pemimpin tidak membangun benteng pemisah dengan
rakyatnya.
Sekarang
saatnya kita melakukan refleksi: sudahkah para pemimpin kita menerapkan
gaya kepemimpinan transformasional? Jujur kita akui, Indonesia saat ini
masih miskin pemimpin transformasional yang inspiratif dan autentik. Elite
pemimpin kita tersandera kepemimpinan transaksional. Mereka lebih
mengedepankan konstituen ketimbang konstitusi, memprioritaskan kepentingan
jangka pendek dan politik barter untuk mengamankan posisi masing-masing.
Saatnya kita memperbaiki jalur kaderisasi politik kita, menyiapkan
supply-side politik yang bertumpu pada asas meritokrasi dan kompetensi.
Persoalan
sekarang ini kita kehilangan pemimpin memiliki kemampuan sebagai leader
yang mampu membawa bangsa ini memiliki mimpi untuk masa depan tidak
terjebak masalah internal partai politik. Kita merindukan pemimpin yang
mampu memiliki mimpi besar dengan mengatasi persoalan yang kecil agar
bangsa ini mampu mengembalikan kembali visi keindonesiaan.
Tujuan kita
merdeka menciptakan masyarakat cerdas dan kewajiban negara melindungi warga
serta mampu berperan untuk menjaga perdamaian dan masyarakat sejahtera.
Inilah mimpi yang harus diwujudkan oleh setiap pemimpin negeri ini. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar