”Berkali-kali kata itu bergetar dengan hebatnya, baik di mulut
maupun di hati: korupsi, korupsi, korupsi. Akhirnya teguhlah niatku untuk
mengerjakannya juga. Berdengung kata itu: korupsi, korupsi, korupsi....”
Begitulah Pramoedya Ananta Toer menuliskan gemuruhnya nurani seseorang
ketika untuk pertama kalinya melakukan kejahatan bernama korupsi dalam
novel yang dibuat Pram tahun 1953 berjudul Korupsi.
Mengikuti cerita balada koruptor
dalam novel Korupsi, kita seperti membaca realitas hari ini ketika
koruptor dengan segala cara menyiasati diri hingga ia malah terkesan
seperti melakukan sesuatu yang benar. Jauh hari sebelum korupsi sebiadab
hari ini, Pram sudah membeberkan drama manusia yang dihadapkan pada godaan
korupsi. Mari menikmati Korupsi, sambil melihat reality show para koruptor di negeri
ini.
Pram dengan gayanya yang lugas,
dingin, menggambarkan gejolak jiwa, hati nurani, seorang pegawai yang
terombang-ambing dalam pilihan antara berlaku jujur atau korupsi. Godaan
begitu hebat di lingkungan kerjanya. Kesempatan ada, lingkungan mendukung,
tetapi ada masih sepotong kejujuran dalam nuraninya yang selalu
mengingatkannya untuk tidak berlaku jahat.
”Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam penghidupannya
terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam hati, seperti sudah jamak
di masa kini: Korupsi,” tulis Pram.
Pram menggambarkan, korupsi bukan
hal mudah untuk dimulai oleh seseorang yang sebelumnya menjalani hidup
secara lurus, jujur. Namun, reputasi kejujuran yang bertahun-tahun tak
terusik itu akhirnya luruh juga oleh gelegak hasrat untuk melakukan
tindakan maling. ”Alangkah sakitnya
di hati harus mengucapkan selamat tinggal kepada kebiasaan yang dilakukan
tiap hari, tiap detik....”
Akan tetapi, sang calon koruptor
(yang akhirnya jadi koruptor), terus mencari pembenaran-pembenaran akan
laku koruptifnya. Dengan begitu ia merasa tenang dan nyaman dalam berpesta
korupsi:
”Orang lain berbuat begitu juga. Apa salahnya aku mulai
mencoba-coba! Mereka bisa punya mobil, malah ada yang mendirikan rumah tiga
buah dalam setahun, dan sekaligus pula. Mengapa tidak? Mereka hingga
sekarang hidup senang, dan tak satu polisi pun bisa menangkap....”
Ah, sungguh jauh penerawangan Pram
puluhan tahun silam. Bukankah apa yang ia tulis itu terjadi hari ini. Sang
calon koruptor kemudian dikisahkan oleh Pram telah memantapkan hati dan
tekad untuk korupsi. Ia telah menemukan pembenaran untuk mengesahkan
dirinya sebagai pahlawan, bukan koruptor. ”Tidak, (korupsi) itu bukan kejahatan, bukan pelanggaran—itu sudah
selayaknya.”
Ck..ck..ck...! Bukan main....
Melawan dengan Sastra
Novel Pram menginspirasi Tahar Ben
Jelloun, seorang penulis Perancis untuk menulis novel berjudul L’Homme rompu atau Korupsi tahun 1994. Jelloun sempat
bertemu Pram tahun 1990 di Jakarta setelah membaca karya Pram. Jelloun
berkisah tentang korupsi di Maroko, negeri yang pernah dijajah Perancis. Di
mana-mana perilaku korupsi adalah kejahatan yang merugikan negara dan
rakyat. Dan selalu harus diperangi!
Perang terhadap korupsi lewat
narasi-narasi sastra dan pertunjukan pernah dikibarkan oleh Butet
Kartaredjasa. Tahun 2004, bersama Whani Dharmawan dan Lephen Purwaraharja,
ia menggelar Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi. Lomba diikuti 224
naskah monolog dan tiga naskah pemenang serta 12 naskah nominasi dibukukan
dalam Antologi Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi tahun 2004. ”Ini cuma langkah kecil, tapi penting,”
ujar Butet sembari mengatakan, buku itu ”cuma” dicetak 1.000 eksemplar dan
tak pernah cetak ulang.
”Saya tidak kapok meski itu usaha swadaya,” katanya. Ia
berhasrat membuat lomba serupa, tetapi khusus buat kalangan siswa dengan
naskah realis. ”Monolog itu ringkes
bisa dipentaskan di mana dan kapan saja. Dan kepada para siswa kita
investasi akhlak, bahwa korupsi itu kejahatan yang merugikan rakyat,”
kata Butet.
Tidak itu saja. Butet bersama
penulis Agus Noor pernah mementaskan monolog berjudul Koruptor Budiman
di Jakarta dan Tanjungpinang tahun 2008. Pentas atas dukungan lembaga Partnership for Governance Reform,
itu tak berhasil dipentaskan di Medan. Lakon ini berkisah tentang koruptor
yang gagal menyerahkan diri. Tidak ada seorang polisi atau lembaga lain
yang menangkapnya. Sebagai koruptor kelas kakap ia heran, mengapa tidak
juga ditangkap.
”Hanya saja, kadang saya tetap heran dengan aparat kita. Kenapa,
sih, sungkan-sungkan menangkap koruptor kakap macam saya? Ketika saya
datang, mereka malah sembunyi...,” kata si koruptor.
Bukankah itu sindiran yang
sarkastik? Realitas yang dipahami rakyat saat ini, banyak koruptor
berseliweran, kalaupun ditangkap ”cuma” dijatuhi hukuman yang dinilai tidak
sesuai dengan berat kesalahannya.
Bersama kelompok Teater Gandrik,
Butet juga mementaskan lakon Pandol alias Panti Idola, yang
berkisah tentang panti rehabilitasi para koruptor. Bahkan pada April 2013,
Gandrik akan mementaskanGundala Gawat karya Goenawan Mohamad, yang juga
berisi perlawanan terhadap korupsi.
Saking kehabisan akal, kata Butet,
sebuah negara memanggil seluruh superhero dunia, seperti Gundala, jagoan
komik karya komikus Jogja, Hasmy, dalam Gundala Putra Petir. Juga
Superman, Batman, dan kawan- kawan untuk membantu memberangus korupsi di
negara tersebut. ”Korupsi pada kita
sudah gawat...,” kata Butet.
Menurut Butet, perlawanan terhadap
korupsi harus menyeluruh. Jika sastra turut serta melakukan serangan pada
korupsi, mungkin belum memiliki implikasi hukum. Akan tetapi, setidaknya,
ada satu generasi di mana investasi akhlak yang mulia itu sudah dimulai. ”Yang rusak biar saja hilang, generasi
baru harus punya akhlak yang lebih baik,” katanya.
”Kuwi Opo Kuwi”
Dalam rubrik Catatan Kebudayaan di majalah Horison, November 1972,
Mochtar Lubis sudah menulis tentang bagaimana korupsi sudah menjadi budaya
di negeri kita. ”Ciri utama
kebudayaan korupsi adalah bahwa nilai-nilainya ditentukan oleh uang.
Potensinya untuk merusak akhlak dan moral juga di sini,” tulis Mochtar
Lubis.
Kebudayaan korupsi, tambahnya,
amat merusak nilai-nilai manusia. Kehormatan, martabat manusia, kesetiaan
pada bangsa sekalipun dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Begitulah seniman dengan caranya
sendiri menunjukkan keberpihakannya yang tegas pada rakyat yang
antikorupsi. Jauh sebelum korupsi menggurita, rakyat di negeri ini telah
diingatkan oleh para seniman lewat sastra. Juga lewat tembang dolanan ”Kuwi
Opo Kuwi” yang populer di masyarakat Jawa sejak era 1950-an. Tembang
gubahan Ki Tjokrowarsito (1909-2007) itu diperdengarkan dalam pembukaan
pameran lukisan karya Aris Budiono Sadjad berjudul Perang Suci Melawan
Korupsi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/3) malam. Begini
bunyinya:
Kuwi opo kuwi e kembang melathi
sing tak puja-puji aja dha
korupsi
Merga yen korupsi negarane rugi
Piye to kuwi, aja ngona -
ngona, ngono
Kuwi opo kuwi e kembange menur
sing tak puja-puji pemimpin dha
jujur
Merga yen dha jujur negarane
makmur
Piye to kuwi, iya ngona - ngona
ngono kuwi
Terjemahan bebasnya kira-kira
seperti ini.
Bait I: Itu apa itu, e kembang
melati/ Yang kupuja puji, janganlah korupsi/ sebab jika korupsi negara akan
rugi/ Gimana sih, jangan begitulah.
Bait II: Itu apa itu e kembang
menur/ Yang kupuja puji pemimpin pada jujur/ Sebab jika mereka jujur negara
akan makmur/ Gimana sih, ya (seharusnya) begitu.
Tembang, dan juga karya sastra
dari Pram serta seniman lain tersebut bermuatan harapan dan doa agar ”Koruptor Budiman” itu aja ngona-ngona, ngono ....Jangan begitu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar