Dalam
psikologi sosial, ada sebuah eksperimen tentang proses kelompok yang sangat
terkenal. Eksperimen yang dilaksanakan oleh Muzafir Sheriff dan istrinya
pada tahun 1961, di Oklahoma, AS tersebut diawali dengan memilih 22 peserta
yang disaring secara acak dari sejumlah remaja yang sehat jiwa raganya,
tidak pernah terlibat kriminal, berasal dari keluarga menengah dan tidak
pernah bermasalah dengan keluarganya.
Mereka dipisah
dalam dua kelompok, masing-masing 11 orang dan secara terpisah pula mereka
dibawa ke Robers Cave State Park (karena itu eksperimennya terkenal sebagai
Robers Cave experiment), yaitu suatu tempat rekreasi dan perkemahan. Selama
minggu pertama, kedua kelompok itu tidak saling bertemu, dan tidak saling
mengetahui keberadaan kelompok yang lain. Kegiatankegiatan mereka
sehari-hari berpetualang, berenang dan lainnya seperti kegiatan pramuka.
Para pembimbing
kelompok, yang juga anggota tim eksperimen mengamati bagaimana kelompok ini
membentuk identitas dirinya. Mereka diminta membuat nama untuk kelompoknya.
Yang satu menamakan diri mereka kelompok “Elang” dan yang lain “Ratle”
(ular yang paling berbisa di Amerika). Anggota yang paling menonjol
berfungsi sebagai pemimpin dan mereka pun menciptakan lagu-lagu dan yel-yel
kebanggaan kelompok masing-masing.
Pada minggu
kedua, mereka mulai dipertemukan satu sama lain. Pertama kali mereka
bertemu di ruang makan. Sudah terlihat bahwa mereka duduk menggerombol
sesuai dengan kelompok masing-masing. Acara berikutnya adalah
perlombaan-perlombaan antara kedua kelompok. Rasa tidak senang antaranggota
kedua kelompok pun makin terbuka: saling mengejek, menciptakan yel-yel baru
untuk menghina lawan dsb.
Setelah
penghitungan skor akhir hasil-hasil lomba ternyata kelompok Elang menang.
Justru kelompok Elang inilah yang makin agresif menyerang kelompok “Ratle”,
sehingga hampir terjadi perkelahian fisik dan akhirnya para pembimbing
(peneliti) memutuskan untuk menyudahi eksperimen dan mengembalikan
rekonsiliasi antara mereka.
Para peneliti
kemudian membawa kedua kelompok itu ke bak air tempat persediaan air minum
mereka yang sudah bocor karena dilubangi tangantangan jahil. Mau tidak mau,
semua anggota kelompok Elang maupun Ratle dan para pembimbing harus turun
tangan bareng untuk memperbaiki kebocoran. Rekonsiliasi pun mulai terjadi,
karena tanpa bak air minum, mereka bisa mati kehausan dalam beberapa hari
tersisa di Robers Cave.
Tidak cukup
dengan itu, setelah urusan bak air selesai, para pembimbing mengatur acara
nonton bareng. Peserta dipersilakan bersepakat untuk memilih filmnya,
ternyata kesepakatan cepat terjadi, dan mereka pun pergi nonton bareng
seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa antara mereka.
Kamis pagi, 7
Maret 2013, puluhan anggota Batalion Armed 15/105 TNI Tarik Martapura
membakar Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Tidak penting
alasannya, tetapi kejadian seperti ini sudah berkali-kali sebelumnya,
dengan alasan yang bermacam-macam (umumnya berawal dari masalah
perorangan), bahkan sejak orde lama.
Semasa saya
aktif demo di tahun 1966, RPKAD, Divisi Siliwangi dan Kostrad (yang
pro-Soeharto dan mahasiswa) konflik melawan Brimob, KKO, TNI AU, dan
Cakrabirawa (yang pro- Soekarno). Latar belakangnya: politik. Tentu saja
hari ini hampir tidak ada lagi pengaruh politik pada hubungan TNI-Polri.
Kedua institusi sudah menyatakan diri bebas politik. Tetapi mengapa konflik
antara kedua institusi pengawal bangsa itu masih terus berlangsung?
Banyak pakar
yang mengajukan berbagai teori. Ada teori TNI iri pada Polri, karena
anggaran Polri lebih besar, ada teori Polri iri pada TNI karena remunerasi
TNI lebih besar, ada teori tentang Polri seharusnya di bawah Kementerian
Dalam negeri. Tetapi teori-teori itu pepesan kosong semua. Contoh yang
gampang, di AS sekalipun Polri tidak berada di bawah Kementerian Dalam
Negeri. Tetapi mengapa TNI versus Polri masih tawuran terus?
Kalau kita
terapkan eksperimen Robers Cave ke konflik TNI versus Polri, kita akan bisa
lebih mengerti mengapa konflik itu terus berlangsung. Pembakaran Kantor
Polres OKU bukan masalah perorangan. Penyerang berseragam, sejumlah tiga
peleton, menggunakan truk angkutan personel, dan dipimpin oleh seorang
mayor. Ini sudah bisa dikatakan mewakili institusi.
Di sisi lain
tidak bijak juga selalu menutup-nutupi seakan-akan tidak pernah ada
konflik. Memang bukan konflik antarinstitusi, tetapi antarkelompok yang
membawa identitas institusi. Sejak reformasi, Polri dipisahkan dari TNI,
pendidikan taruna (calon perwira) kedua institusi itu di akademinya
masing-masing dilaksanakan terpisah.
Berbeda dengan
zaman Orde Baru, para taruna dari ketiga angkatan TNI dan Polri
berkali-kali belajar dan berlatih gabungan. Maka mereka saling kenal.
Tetapi para tamtama dan bintara, yang langsung adu jotos di lapangan, sejak
dulu memang sama sekali tidak pernah dididik bersama. Maka mereka pun
(korps TNI dan korps Polri) mengembangkan identitas diri dan kepemimpinan
masing-masing, persis seperti kelompok Elang dan Ratle dalam eksperimen
Robers Cave.
Tiba pada
giliran mereka harus bertugas di lapangan, terjadilah persaingan antara
kedua kelompok. Kebetulan di jaman Orde Baru, TNI selalu mendapat skor yang
lebih tinggi (politik Dwifungsi dari Soeharto), maka tentu saja di kalangan
Polri Ratle timbul reaksi. Di zaman Soeharto, setiap memberi kuliah di
PTIK, saya sudah sering mendengar istilah-istilah ejekan dari mahasiswa
terhadap TNI AD seperti ”saudara tua” atau “laler ijo”.
Dalam
psikologi, gejala ini dinamakan “Dehumanisasi” (tidak dianggap sebagai
manusia), yang merupakan indikator api dalam sekam yang sangat berbahaya
karena bisa meledak sewaktu-waktu. Maka sia-sialah kalau sebagai jalan
keluarnya anggota TNI dan Polri hanya disuruh main olahraga atau nari-nari
bareng. Itu hanya perdamaian dan senyum semu. Perasaan gondoknya belum
hilang.
Untuk
menghilangkannya, perlu diikuti tekniknya Sherif, yaitu meng-hadapkan kedua
kelompok ke dalam suatu masalah yang harus diselesaikan berdua, Misalnya
bertugas bersama mengatasi teror, bareng-bareng mengatasi kerusuhan atau
bersama mengawal perbatasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar