Jumat, 15 Maret 2013

Keutuhan Pimpinan KPK


Keutuhan Pimpinan KPK
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUARA KARYA, 14 Maret 2013


Semakin kuat rakyat mendukung, semakin besar pula hantaman badai menerpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini KPK lagi-lagi dihantam serangan balik. Bukan hanya dari luar yang selama ini mampu diredam, tetapi juga dari internal KPK. Salah satunya adalah bocornya dokumen surat perintah penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum, yang kemudian pembocornya diarahkan pada salah seorang pimpinan KPK. KPK pun membentuk Komite Etik yang akan melakukan penyelidikan siapa sebenarnya yang membocorkan.

Ada kesan keutuhan dan kolektif-kolegial pimpinan KPK yang selama ini begitu ampuh akan diacak-acak dengan memanfaatkan bocornya dokumen sprindik sebagai pola baru serangan balik. Indikasinya terbaca oleh adanya keinginan untuk menyudutkan atau malah ingin menyingkirkan salah satu pimpinan KPK yang dikenal selalu bergerak cepat tanpa pandang bulu. Kita berharap pengusutan dokumen sprindik yang bocor tidak diboncengi kepentingan pragmatis internal pimpinan KPK. Jika itu terjadi, para koruptor lah yang akan diuntungkan.

Secara etika, bocornya dokumen sprindik patut disesalkan. Namun, jika memang terbukti pimpinan KPK pembocornya, tentu layak dijatuhi sanksi etika. Dalam ketentuan sanksi di Komite Etik KPK, jika terbukti pimpinan KPK ada yang melanggar kode etik, akan dikeluarkan rekomendasi yang mengikat. Bentuknya berupa teguran lisan bila masuk pelanggaran ringan, teguran tertulis untuk pelanggaran sedang, dan pelanggaran berat akan diajurkan untuk mengundurkan diri. Jika ditemukan unsur pidana akan diteruskan kepada aparat penegak hukum (polisi). Komite Etik tidak punya wewenang untuk memberhentikan pimpinan KPK.

Konstruksi hukum bocornya dokumen sprindik masih bisa diperdebatkan, sebab belum diberi nomor, belum ada tanggalnya sehingga belum tergolong dokumen resmi yang bisa disebut rahasia negara, meski asli milik KPK. Belum ada kerugian materil yang ditimbulkannya, apalagi KPK betul-betul menetapkan Anas tersangka sesuai isi dokumen sprindik. Dipercaya, penetapan Anas sebagai tersangka bukan karena tekanan dan intervensi kekuasaan, apalagi sudah lebih dua tahun kasus Hambalang diselidiki KPK.

Jika betul ada skenario terselubung mendepak salah satu pimpinan KPK bersambut di Komite Etik, berarti racikan serangan baru dari luar berhasil dan sudah pasti disambut riang oleh para koruptor dan kroninya. Jika memang ada pimpinan yang membocorkan sprindik, itu hanya keinginannya "mengadu ke publik" bahwa KPK serius mengusut kasus Hambalang. Terlepas adanya pimpinan lain yang terkesan lamban mengapresiasi temuan bukti minimal dari tim penyelidik.

Keutuhan pimpinan KPK harus dijaga lantaran sepak terjangnya berhasil membuat banyak orang takut dan gelisah. Bukan hanya sekelas walikota/ bupati, gubernur, anggota DPR dan menteri, tetapi juga sampai kelas ketua umum dan presiden partai. Ketakutan itu cukup beralasan karena KPK "jilid tiga" ini tidak memandang apakah anggota DPR, menteri, atau ketua umum partai, semuanya dijadikan tersangka jika betul-betul cukup bukti yang kuat. Masyarakat pun sangat percaya bahwa kasus korupsi yang ditangani KPK akan berakhir di ruang penjara.

KPK yang lahir dari rahim reformasi bersama Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, tidak boleh dibiarkan terombang-ambing oleh ulah dan skenario gelap dari luar. Namun, KPK juga harus mampu menjaga kekompakan dan membayar lunas dukungan publik dengan membongkar semua kasus kakap. Jangan sampai terjadi di antara pimpinan KPK ada yang justru bertindak sebagai pelindung koruptor.

Negara Tanpa Rahasia

Di negeri yang penuh persaingan politik, rahasia apa yang tidak bisa bocor? Seringnya sejumlah dokumen negara yang statusnya rahasia (confidential) bocor ke ruang publik, sudah bukan persoalan besar lagi. Sebelum sprindik KPK bocor, publik juga dihebohkan dengan beredarnya Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan keluarganya di media massa. Tentu saja Presiden SBY gerah, tetapi sampai saat ini tidak terungkap jelas siapa pembocornya.

Berbagai macam spekulasi mencuat ke ruang publik, mulai dari jumlah pajak penghasilan yang harus dibayarkan Presiden SBY, sampai timbulnya kecurigaan terhadap tiga orang yang dicurigai membocorkannya. Kemudian muncul kecurigaan lain soal dugaan bocornya rencana "pencegahan keluar negeri" KPK terhadap salah satu putra petinggi PKS. Sehari sebelum pencegahan terbit, yang terlanjur ke luar negeri, padahal ia dicekal KPK terkait kasus impor daging sapi.

Seringnya upaya pencegahan ke luar negeri oleh KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian tidak efektif karena yang dicekal terlanjur kabur sebelum surat pencegahan diterbitkan. Masih ingat saat Nazaruddin kabur ke Singapura sehari sebelum surat pencekalan sampai ke Bea Cukai.

Saling tuding juga mencuat, ada yang mencurigai pencekalan itu bocor dari pihak internal KPK atau internal Kementerian Hukum dan HAM. Tetapi seperti lazimnya, kedua lembaga itu seirama membantah telah terjadi kebocoran di lingkup internal mereka.

Berbagai pertanyaan muncul, misalnya apakah pihak luar punya akses terhadap kedua lembaga itu sehingga selalu terlambat pencegahan dilakukan? Jawabnya, tidak ada rahasia yang tidak bisa bocor di negeri ini, terutama berkaitan dengan korupsi. Para koruptor itu punya mekanisme kerja sistematis dan saling membantu, bahkan berani membeli dengan harga mahal sebuah rahasia yang bisa menyudutkan posisinya.

Karena itu, jangan berharap banyak soal bocor-membocorkan rahasia itu bisa diusut tuntas. Itu, malah bisa merisaukan jika diboncengi kepentingan tertentu seperti kasus bocornya dokumen sprindik KPK. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar