Jumat, 15 Maret 2013

Harmonisasi Hubungan TNI-Polri


Harmonisasi Hubungan TNI-Polri
Donie K Malik ;  Peneliti di Program Magister Ilmu Politik
FISIP Universitas Indonesia
SUARA KARYA, 14 Maret 2013

  
Untuk kesekian kalinya, konflik antara TNI-Polri kembali terjadi. Kamis (7/3) pagi, ketika denyut aktivitas masyarakat baru dimulai, publik dikejutkan oleh penyerangan puluhan personil TNI dari Batalyon Artileri Medan 15, Kodam II Sriwijaya ke Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Akibat penyerangan frontal itu, sejumlah aparat polisi menjadi korban, sebagian gedung kantor Mapolres OKU ludes dibakar. Inventaris kantor, puluhan sepeda motor serta mobil pun ikut dirusak.
Konflik yang melanda dua institusi itu, membuat masyarakat layak bertanya tentang eksistensi dan profesionalitas TNI-Polri. Bila institusi TNI-Polri kerap kali terlibat bentrok, bagaimana mereka bisa meredam gejolak konflik di Tanah Air, baik itu masalah keamanan dan ketertiban masyarakat oleh kepolisian, maupun pertahanan negara oleh aparatus TNI?

Histori konflik TNI dan aparat kepolisian yang letupannya sudah ada sejak dulu hingga kini memang tak pernah menemui titik kulminasi penyelesaian. Bagai sebuah drama yang tak berujung klimaks, hubungan keduanya sering merenggang. Ego sentris di antara kedua korps sering menimbulkan friksi yang terkadang meluas menjadi sebuah ketegangan. Bahkan, menjadi banalitas seperti realitas yang kini menjadi tontonan publik.

Disharmoni Relasi

Selama ini, hubungan TNI-Polri cenderung kurang harmonis. Konflik yang terjadi di OKU hanyalah satu kisah dari rentetan konflik yang pernah terjadi di antara kedua belah pihak di berbagai daerah. Bisa dikatakan konflik yang terjadi OKU itu hanyalah puncak gunung es.

Menurut catatan yang dilansir Litbang Kompas, dalam kurun waktu 2006-2013, sudah tujuh kali terjadi konflik antara TNI-Polri. Celakanya, ternyata empat dari konflik itu terjadi di daerah yang kini menjadi lokus peristiwa, yakni di Palembang, Sumatera Selatan. Antara lain, baku tembak antara oknum polisi dan oknum aparat TNI di Muara Rawas, Agustus 2006, kantor polisi diserang oknum anggota TNI di Muara Enim (Juli 2010). Kemudian, Januari 2013 dua anggota TNI bentrok dengan petugas polisi satlantas yang mengakibatkan tertembaknya salah seorang anggota TNI. Dari kasus terakhir yang belum tuntas itu, kemudian berbuntut panjang pada tragedi Maret ini, Mapolres OKU diserang dan dibakar.

Eskalasi konflik TNI-Polri yang terjadi di Palembang mestinya tidak perlu berbuntut panjang menjadi anarkis seperti yang terjadi saat ini kalau saja pemangku kepentingan seperti kepala kepolisian daerah, panglima daerah militer, dan pemerintah daerah bisa mengidentifikasi masalah dan sedini mungkim mencari jalan keluar guna menengahi labirin persoalan dan konflik yang membelit TNI-Polri di daerah itu.

Kini, nasi sudah menjadi bubur, konflik sudah pecah dan korban sudah jatuh. Kasus ini harus dibawa ke ranah hukum. Karena, perbuatan merusak, membakar, dan menyerang adalah tindakan pidana yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum. Karena pelaku berasal dari instansi militer, kasus ini mesti diselesaikan melalui jalur pengadilan militer. Setelah proses hukum berjalan, barulah kemudian mencari jalan keluar dan solusi tepat agar ke depan bentrok yang kerap terjadi tidak terulang kembali.

Akar Konflik

Konflik yang terjadi di OKU Palembang setidaknya menunjukkan bahwa ada kegagapan profesionalitas di tubuh TNI-Polri dalam menghadapi situasi masyarakat yang dinamis, sehingga mereka tidak sanggup menangani masalah internalnya sendiri dengan baik. Setidaknya, ada beberapa penyebab mengapa budaya konflik yang kini mendera TNI-Polri terus berkepanjangan.

Pertama, masih kentalnya budaya militerisme di tubuh TNI maupun Polri. Reformasi di tubuh TNI dan Polri dalam konteks transformasi politik nasional, menghendaki hadirnya tentara yang mengedepankan rasionalitas dan bersikap manusiawi, bukan menampakkan tindakan emosional dan tidak humanis. Tindakan kekerasan dan emosional dalam pendekatan militer tidak akan menyelesaikan persoalan, namun malah akan berbuah kekerasan. Namun, di sini bukan berarti TNI-Polri tidak boleh menggunakan senjata, namun penggunaan kekerasan dengan senjata harus sesuai dengan prosedur yang baku dan bukan semaunya sendiri.

Kedua, adanya kompleksitas persoalan yang belum diimbangi oleh tingkat profesionalisme dan kedisiplinan tinggi, baik oleh TNI maupun Polri. Peliknya persoalan yang mendera di masa transisi politik dewasa ini, diakui atau tidak, cukup menguras energi kalangan aparat kepolisian. Demikian pula sesungguhnya kalangan tentara mengalami hal serupa, mengingat beberapa kasus yang berpotensi menuju disintegrasi bangsa.

Ketiga, menurunnya wibawa pimpinan TNI-Polri. TNI dan Polri bekerja dengan sistem komando. Secara normatif, anak buah harus taat perintah atasan, artinya tidak boleh menyimpang dari tugas yang diberikan. Hal itu dilakukan dengan tingkat disiplin tinggi. Jikalau mereka tidak taat aturan, itu terjadi karena mereka menganggap patronase yang ditampilkan pimpinan kurang menjadi cerminan yang baik bagi mereka.

Keempat, kurang adanya relasi dan koordinasi antar-aparat kepolisian dengan pihak TNI. Dampaknya adalah terasa adanya jurang pemisah yang lebar antara aparat kepolisian dan aparat TNI.
Kurangnya komunikasi, dialog intensif, terutama pada level bawah memunculkan hal yang fatal. Misalnya, mereka lebih mudah tersinggung dan menunjukkan arogansi masing-masing saat menjalankan tugas di lapangan. Terlebih lagi, bila di dalam diri individu mereka ada sebuah prasangka-prasangka yang tertanam kuat, yang bisa terakumulasi dan memunculkan konflik. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar