PADA galibnya orang merayakan malam pergantian
tahun dengan penuh keramaian, dari pesta kembang api, menyulut petasan,
memakai baju baru, makan di restoran mewah, berkeliling kota naik kendaraan
dan sebagainya. Umat Hindu merayakan Tahun Baru Saka dengan cara yang
berbeda, sarat dengan aktivitas spiritual.
Kita perlu mengumpamakan lagi mengarungi
lautan kehidupan naik rakit, dan setelah 365 hari berlayar, marilah
berhenti sejenak. Tambatkan rakit, serta cari tempat teduh dan rindang.
Itulah Hari Raya Nyepi. Kita menoleh ke belakang, menghitung jarak yang
sudah kita tempuh, rintangan apa saja yang dihadapi, bagaimana cara
mengatasi, dan mengevaluasi apakah sudah benar cara kita mengayuh rakit?
Di antara ruas waktu itu, kita mawas diri,
berkomtemplasi, berefleksi. Kita butuh suasana yang heneng, hening, dan
senyap, suasana indah untuk menuju suasana sunya. Benar kata Pascal,
matematikawan dunia yang mengatakan, sebagian besar manusia tak bisa
memecahkan masalah karena ia belum tahu atau tak bisa duduk tenang, masih
grusa-grusu, dan penuh emosi.
Nyepi memberikan fasilitas kepada umat
Hindu untuk duduk ''tenang'' dalam hening. Kita harus menyiapkan secara
jasmani dan rohani, mental dan spiritual. Berbeda dari air sungai yang
terus mengalir sesuai kehendak alam; manusia harus mengarahkan, mengatur,
dan mengendalikan perjalanan kehidupan supaya tidak terjerumus dalam jurang
kenistaan.
Saat Nyepi, umat Hindu melaksanakan catur
brata selama 24 jam, sejak matahari terbit dari ufuk timur hingga
kembali terbit dari ufuk timur pada keesokan hari. Catur brata ditandai
dengan amati geni yang secara lahiriah berarti tidak menyalakan api, dan
secara spiritual berarti mengendalikan hawa nafsu.
Kemudian amati karya, yang secara lahiriah
tidak melaksanakan aktivitas fisik, kerja, atau gerak mekanik yang
menyebabkan kekotoran alam. Secara spiritual, ritual itu berarti umat
melaksanakan upaya mawas diri mengingat tidak melakukan kegiatan fisik
berarti tidak ''mengganggu'' alam.
Lalu amati lelungan yang secara harfiah
tidak bepergian. Di sini umat diminta introspeksi supaya lebih bermanfaat
pada tahun mendatang. Terakhir adalah amati lelanguan yang secara harfiah
tidak bersenang-senang, beraktivitas yang bersifat hiburan, semisal
menonton televisi, mendengarkan musik, mabuk, atau main judi.
Ke manakah manusia Hindu pada Hari Raya
Nyepi? Merenung, introspeksi untuk meningkatkan kualitas hidup supaya lebih
bermanfaat. Hakikat Nyepi adalah demi kerahayuan buana alit dan buana
agung, dan yang paling mendasar adalah menjaga keselarasan, keharmonisan,
dan keseimbangan.
Umat Hindu perlu melaksanakan tapa, brata,
yoga, dan semadi. Dengan demikian pada Hari Raya Nyepi mereka dapat
memasuki alam sunyata, alam yang sempurna heneng, hening, dan senyap nan
indah. Sunya adalah tujuan ideal dan tertinggi karena pada tataran itu
manusia bersatu dengan sangkan paran-Nya.
Demi
Alam
Selepas Nyepi, umat emasuki Hari Ngembak
Geni. Dengan hati yang penuh damai dan tulus ikhlas, serta jiwa tenteram,
mereka kembali mengisi lembaran baru kehidupan, dengan jiwa yang lebih
bersih dan lebih jernih. Kita bisa menafsirkan perayaan Nyepi berangkat
dari kegelapan (amati geni) dan berakhir dengan terang (nyala api/ Ngembak
Geni)
Nyepi mempunyai kesadaran religius tentang
lingkungan, dan bukan hanya untuk umat Hindu melainkan juga untuk jagat
raya. Pada Desember 2007 di Nusa Dua Bali diadakan konferensi PBB tentang
perubahan iklim. Kegiatan itu dihadiri 9.575 peserta dari 185 negara, serta
aktivis dari 331 LSM lokal dan internasional. Tema yang diangkat dalam
konferensi tersebut masih relevan dengan kondisi saat ini berkait perubahan
iklim dan pemanasan global.
Tak berlebihan bila mengemuka gagasan untuk
mengangkat pesan yang dikaitkan dengan kearifan lokal: ''Nyepi for the
Earth'', ''Nyepi (Hening) untuk Bumi'', dan ''The Silent Day for the
Earth'', yakni menghadapi perubahan iklim dengan mengangkat kearifan lokal
untuk berlomba-lomba berkontribusi mengurangi emisi gas buang dan efek
rumah kaca.
''Nyepi (Hening) untuk Bumi'' adalah
kearifan lokal yang bisa berkontribusi pada pengurangan emisi gas buang dan
meminimalisasi efek rumah kaca. Sudah banyak penelitian mengaitkan dengan
hal itu. Sehari saja umat Hindu di Bali tidak menggunakan motor, bisa
mengurangi pembakaran 4.032.000 liter BBM, dan berarti mengurangi emisi gas
buang serta menekan efek rumah kaca. Itu baru motor, kita belum menghitung
kontribusi dari pabrik atau industri.
Terlebih agama Hindu mengajarkan untuk
mengurangi keserakahan terhadap alam. Sebaliknya, kita harus menganggap
alam sebagai mitra sejajar, bukan objek yang harus dieksploitasi. Nyepi
mengilhami beberapa kota besar dunia untuk melahirkan spirit baru
mendasarkan pada kearifan lokal, semisal penerapan car free day, termasuk
oleh beberapa kota di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar