Kekuasaan
Itu Memabukkan
Moh Mahfud MD ;
Guru Besar Hukum Konstitusi
|
|
KORAN
SINDO, 16 Maret 2013
Kekuasaan itu enak sekaligus memabukkan dan
membuat ketagihan adalah fakta. Bayangkan, orang yang berkuasa bisa
menikmati berbagai fasilitas dan kemudahan.
Semua
keperluannya bisa dipenuhi, ditemani pengawal dan ajudan, dijemput sambil
dielu-elukan dengan meriah, serta dihormati secara berjongkok kalau
berkunjung ke suatu tempat. Maka itu, banyak orang yang mabuk dan kecanduan
kekuasaan. Untuk mendapat atau mempertahankan kekuasaan, orang-orang yang
mabuk kekuasaan kerapkali bertingkah aneh-aneh tanpa risih.
Misalnya, ada
yang berusaha menjilat orang berpengaruh agar diendorse, ada yang membayar
“tukang survei” agar namanya dimasukkan dalam surveisurvei popularitas dan
elektabilitas, bahkan ada yang membeli “tukang survei” agar namanya
diletakkan pada urutan nomor kesatu sebagai orang yang paling populer atau
paling elektabel. Orang yang lagi mabuk kekuasaan itu––kalau namanya masuk
di peringkat atas sebuah hasil survei––akan memujimuji lembaga survei yang
merilisnya sambil mengatakan bahwa survei itu objektif dan benar.
Tetapi, jika
namanya tak masuk dalam hasil survei sebagai orang yang layak memimpin, dia
cemberut dan menuduh lembaga survei itu dibeli orang. Cara lainnya
mengklaim mempunyai hasil-hasil survei internal yang meyakinkan hasilnya
jauh berbeda dengan hasil survei yang dilakukan oleh orang lain. Di
tengah-tengah masyarakat pun ada penyurvei-penyurvei yang tak jelas
keahlian dan akuntabilitas serta metodologinya, tepatnya penyurvei dadakan.
Mereka bisa merilis hasil survei yang memang dipesan. Ada orang yang
menurut hasil berbagai lembaga survei tak bunyi, tetapi tibatiba menjadi
orang yang paling populer dan paling elektabel di sebuah lembaga survei
yang tiba-tiba muncul.
Ya, karena
kekuasaan itu memabukkan, di dalam masyarakat ada tukang pesan hasil survei
dan ada juga penyurvei bayaran yang memang menjual hasil survei sesuai
pesanan. Selain istilah “mabuk” kekuasaan, ada juga istilah “kecanduan”
kekuasaan. Kecanduan kekuasaan biasanya dilekatkan kepada orang yang sudah
pernah menduduki kekuasaan, tetapi takut kehilangan kekuasaan atau ingin
mendapatkannya lagi. Ada banyak contoh yang bisa saya sebutkan dalam kaitan
dengan kecanduan kekuasaan berdasarkan pengalaman saya menangani kasuskasus
di Mahkamah Konstitusi (MK).
Di dalam kasus
sengketa pemilu kepala daerah misalnya, banyak sekali kepala daerah yang
ingin mencalonkan diri lagi (incumbent)dan melakukan berbagai kecurangan
agar bisa menang sehingga setelah diperkarakan ke MK, hasil pilkadanya dinyatakan
batal atau dinyatakan mengandung tindak pidana yang perlu dilanjutkan ke
proses hukum pidana.
Ada yang
menggunakan uang negara (APBD) dengan berbagai cara manipulatif untuk
memperkuat dukungan dalam pencalonannya, ada juga yang melakukan tindakan
sewenang-wenang dengan cara melakukan mutasi dan demosi secara
besar-besaran terhadap PNS (pegawai negeri sipil) di pemda karena dianggap
tidak mendukungincumbent. Bahkan ada yang meminta MK membatalkan isi
undangundang yang membatasi jabatan kepala daerah hanya dua kali masa
jabatan dalam jabatan yang sama.
Setelah
permohonan uji materi yang seperti itu ditolak MK, kemudian ada yang
meminta MK untuk membuat tafsir agar dua masa jabatan itu hanya berlaku
untuk satu daerah. Sedangkan jika mencalonkan diri di daerah lain,
diperbolehkan menjabat untuk periode yang ketiga dan seterusnya meski dalam
jabatan yang sama. Tentu saja MK menolak semua permohonan pengujian itu
karena bunyi undang-undang tentang itu sudah jelas maksudnya dan sama
sekali tidak bertentangan dengan hak-hak konstitusional warga negara.
Tetapi, ada yang ternyata tidak cukup berhenti di situ.
Setelah
berkali-kali gagal menguji dasar hukum untuk mencalonkan diri pada periode
ketiga, ada juga yang kemudian mencalonkan anggota keluarganya atau memilih
turun menjadi calon wakil kepala daerah. Begitu memabukkan dan membuat
kecanduan kekuasaan itu sehingga seringkali orang lupa diri, tidak takut
atau malu untuk melakukan ihwal yang tidak pantas dan baik secara etik
maupun secara hukum. Tentu saja tidak ada larangan untuk meraih kekuasaan.
Di antara kita
pun banyak yang melakukan upaya meraih posisi tertentu dalam jaringan
kekuasaan. Itu sah saja. Yang penting caranya dilakukan secara
proporsional, tidak kalap, tidak menipu, dan tidak mengorbankan orang lain.
Dulu kita berperang matimatian agar menjadi bangsa dan negara merdeka
supaya setiap warga negara bisa berjuang untuk menikmati kekuasaan sebagai
hak politik sebagai manusia. Begitu pula kita melakukan reformasi pada 1998
karena antara lain ingin memberi keleluasaan kepada setiap warga negara
untuk merebut kekuasaan melalui kontestasi politik yang fair.
Jabatan atau
kekuasaan itu boleh saja diperebutkan asal dilakukan secara terhormat,
tidak dengan kecurangan atau dengan cara yang merendahkan martabat diri
sendiri maupun orang lain. Itulah maksud kita membangun demokrasi dan
nomokrasi di negara merdeka ini.
Harus diingat,
jika jabatan diperoleh secara tidak benar, pemiliknya akan selalu tersiksa
dan gelisah. Siapa pun yang memperoleh dan mengelola kekuasaan secara kotor
sejak masuk sampai keluar dari kekuasaan itu dia akan selalu tersiksa dan
gelisah. Saat akan meninggalkan jabatan pun bisa ketakutan. ●
|
|
Kawan Anas yg satu ini juga ingin kekuasaan. Pret!
BalasHapus