Secara etimologi, kata
"guru" dalam bahasa Sanskerta berasal dari dua suku kata, yaitu 'gu' yang berarti darkness (kegelapan) dan 'ru' yang berarti light (cahaya). Dapat dimaknai bahwa
guru adalah orang yang menunjukkan "cahaya" untuk menghalau
"kegelapan".
Ketika menyebut nama guru yang
tergambar dalam pikiran kita adalah sosok berilmu yang ramah, sopan santun,
sederhana dan berwibawa. Identitas itu melekat karena tidak terlepas dari
sejarah kelahirannya di masa lalu. Bahwa seorang guru berasal dari orang
berilmu tinggi ataupun tokoh agama yang disegani, kyai, pendeta, biksu,
ataupun resi.
Kini, filosofi pemaknaan
'guru' memang masih semulia tempo dulu. Namun, pada tataran kehidupan
nyata, masih ada saja guru yang tidak luput dari cibiran karena ternyata
hanya mengenakan baju kebesaran guru, sementara moralnya tidak semulia
filosofinya.
Beberapa peristiwa tragis
mengenai kasus pelecehan seksual terhadap anak, termasuk yang dilakukan
oleh oknum guru terhadap siswanya terus saja menghiasi media. Mengawali
tahun 2013, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PA) menerima 80
laporan kasus kekerasan seksual pada anak, di antaranya dilakukan oleh
oknum guru.
Memang, hampir setiap
kekerasan seksual pada anak terjadi dalam pola relasi kekuasaan. Artinya,
wewenang yang dimiliki dimanfaatkan untuk 'menguasai' orang lain. (Romany
Sihite) Langkah Kemen PP dan PA bekerja sama dengan Kemensos dan BPS untuk
menyelesaikan survei tentang kekerasan yang dialami anak tahun 2013 (SK,
23/01'13) patut diapresiasi. Ini penting untuk lebih memudahkan penanganan
kasus dan sebagai pencegahan secara lebih ketat.
Seperti masyarakat kebanyakan,
siswa beranggapan bahwa guru adalah sosok orang dewasa yang mampu
memberikan perlindungan terhadap dirinya. Guru pun diyakini sebagai sosok
yang harus dihormati, dipercayai dan mempunyai ketulusan budi.
Maka, ketika seorang siswa
mengalami pelecehan seksual dari gurunya, biasanya ia cenderung bersikap
diam dan tertutup. Seperti kebanyakan anak, dia sadar bahwa dirinya
hanyalah seorang bocah dengan kekuatan yang tidak seberapa. Sehingga, tidak
akan mudah baginya meyakinkan orang-orang dewasa di sekitarnya kalau
gurunya telah memperlakukannya secara tidak senonoh.
Layak jika kasus semacam ini
menjadi lama terungkap, karena pelaku (oknum guru) akan selalu bersembunyi
di balik jubah kehormatan profesi maupun kepercayaan besar masyarakat
sekitar.
Guru menyandang empat macam
profesionalitas yang harus selalu dijunjung tinggi, yaitu profesional,
sosial, kepribadian dan pedagogik. Diatur dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun
2007 khususnya pada kompetensi kepribadian yang harus dimiliki seorang
guru, di antaranya adalah bertindak sesuai dengan norma agama, hukum,
sosial serta kebudayaan nasional yang beragam. Lebih lanjut dikuatkan lagi
bahwa guru harus menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak
mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat.
Dhus, seorang guru yang tega
melakukan pelecehan seksual terhadap siswanya, masih layakkah disebut
sebagai seorang guru? Dia bukan saja melanggar Permendiknas, tetapi juga
melanggar janji setia kepada Tuhannya. Dia yang seharusnya bisa menjadi
teladan bagi masyarakat, lingkungan, keluarga dan anak didiknya, justru
melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Oknum guru semacam ini tidak
pantas lagi kita sebut sebagai seorang guru.
Pengetahuan, kebijaksanaan,
kemampuan memberikan pencerahan, kewibawaan dan kewenangan seorang guru
adalah alasan mengapa seorang guru harus dihormati. Maka, melakukan sebuah
tindak asusila, apalagi terhadap muridnya sendiri sama saja mencoret semua
alasan tersebut. Sudah selayaknya hukuman yang setimpal harus diterimakan
kepadanya.
Ancaman hukuman 15 tahun penjara
yang disebutkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 pun layak direvisi karena
hukuman yang lebih berat harus ditimpakan kepada para pelaku. Bahkan, jika
pelakunya adalah seorang pendidik, maka seharusnya dia perlu dimakzulkan.
Predikatnya sebagai guru harus dicopot, selamanya.
Kasus guru mesum ini akan
sangat dahsyat dampaknya bagi korban yang notabene adalah generasi penerus
bangsa. Bukan tidak mungkin, korban seharusnya bisa menjadi seorang dokter,
ilmuwan, seniman, atau profesi lain. Namun, karena masa depannya
dihancurkan oleh oknum gurunya sendiri, pupuslah semua yang dicita-citakan.
Mereka juga tertekan secara psikologis sehingga cenderung menarik diri dari
pergaulan. Ini tentu akan menyulitkannya untuk berkembang di kemudian hari.
Bagaimanapun guru yang berbuat
mesum secara jelas telah melakukan pelanggaran etika, mengingkari sumpah
jabatan guru dan juga UU.
Bukan semata bergantung kepada
gurulah, perbaikan moral anak di negeri ini akan terjadi. Namun, jika guru
yang identik dengan kaum terdidik dan menjadi teladan sudah tidak bisa kita
percaya, kepada siapa lagi kita bisa berharap?
Kasus ini oknum guru melakukan
pelecehan seksual terhadap anak didiknya memang tidak bisa digeneralisir,
karena tidak semua guru berperilaku seperti itu. Namun, kita harus berpikir
ulang dan mengasah otak untuk melahirkan guru yang berkualitas dan taat pada
etika dan ajaran agama.
Tanggung jawab besar tidak
hanya tertumpu kepada LPTK sebagai lembaga pendidikan pre-service penghasil guru. Selepasnya dari sana tentu saja
guru harus tetap digembleng di lembaga pendidikan in service. Sekolah
adalah lembaga sosial yang paling konservatif menurut banyak pakar karena
di dalamnya memiliki aspek-aspek kehidupan masyarakat yang lengkap. Di
sinilah "kawah candradimuka" sesungguhnya bagi seorang
"guru" ketika dia harus terus belajar membawa "cahaya".
Karena, guru adalah sang pencerah, bagi dirinya dan juga siswanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar