Kamis, 07 Maret 2013

Guru, Sang Pencerah Kegelapan?


Guru, Sang Pencerah Kegelapan?
Arifah Suryaningsih  ;  Guru SMK N 2 Sewon DIY, Peserta Program Studi
Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM
SUARA KARYA, 07 Maret 2013

  
Secara etimologi, kata "guru" dalam bahasa Sanskerta berasal dari dua suku kata, yaitu 'gu' yang berarti darkness (kegelapan) dan 'ru' yang berarti light (cahaya). Dapat dimaknai bahwa guru adalah orang yang menunjukkan "cahaya" untuk menghalau "kegelapan".

Ketika menyebut nama guru yang tergambar dalam pikiran kita adalah sosok berilmu yang ramah, sopan santun, sederhana dan berwibawa. Identitas itu melekat karena tidak terlepas dari sejarah kelahirannya di masa lalu. Bahwa seorang guru berasal dari orang berilmu tinggi ataupun tokoh agama yang disegani, kyai, pendeta, biksu, ataupun resi.

Kini, filosofi pemaknaan 'guru' memang masih semulia tempo dulu. Namun, pada tataran kehidupan nyata, masih ada saja guru yang tidak luput dari cibiran karena ternyata hanya mengenakan baju kebesaran guru, sementara moralnya tidak semulia filosofinya.

Beberapa peristiwa tragis mengenai kasus pelecehan seksual terhadap anak, termasuk yang dilakukan oleh oknum guru terhadap siswanya terus saja menghiasi media. Mengawali tahun 2013, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas PA) menerima 80 laporan kasus kekerasan seksual pada anak, di antaranya dilakukan oleh oknum guru.

Memang, hampir setiap kekerasan seksual pada anak terjadi dalam pola relasi kekuasaan. Artinya, wewenang yang dimiliki dimanfaatkan untuk 'menguasai' orang lain. (Romany Sihite) Langkah Kemen PP dan PA bekerja sama dengan Kemensos dan BPS untuk menyelesaikan survei tentang kekerasan yang dialami anak tahun 2013 (SK, 23/01'13) patut diapresiasi. Ini penting untuk lebih memudahkan penanganan kasus dan sebagai pencegahan secara lebih ketat.

Seperti masyarakat kebanyakan, siswa beranggapan bahwa guru adalah sosok orang dewasa yang mampu memberikan perlindungan terhadap dirinya. Guru pun diyakini sebagai sosok yang harus dihormati, dipercayai dan mempunyai ketulusan budi.

Maka, ketika seorang siswa mengalami pelecehan seksual dari gurunya, biasanya ia cenderung bersikap diam dan tertutup. Seperti kebanyakan anak, dia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang bocah dengan kekuatan yang tidak seberapa. Sehingga, tidak akan mudah baginya meyakinkan orang-orang dewasa di sekitarnya kalau gurunya telah memperlakukannya secara tidak senonoh.

Layak jika kasus semacam ini menjadi lama terungkap, karena pelaku (oknum guru) akan selalu bersembunyi di balik jubah kehormatan profesi maupun kepercayaan besar masyarakat sekitar.
Guru menyandang empat macam profesionalitas yang harus selalu dijunjung tinggi, yaitu profesional, sosial, kepribadian dan pedagogik. Diatur dalam Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 khususnya pada kompetensi kepribadian yang harus dimiliki seorang guru, di antaranya adalah bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial serta kebudayaan nasional yang beragam. Lebih lanjut dikuatkan lagi bahwa guru harus menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia dan menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat.

Dhus, seorang guru yang tega melakukan pelecehan seksual terhadap siswanya, masih layakkah disebut sebagai seorang guru? Dia bukan saja melanggar Permendiknas, tetapi juga melanggar janji setia kepada Tuhannya. Dia yang seharusnya bisa menjadi teladan bagi masyarakat, lingkungan, keluarga dan anak didiknya, justru melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Oknum guru semacam ini tidak pantas lagi kita sebut sebagai seorang guru.

Pengetahuan, kebijaksanaan, kemampuan memberikan pencerahan, kewibawaan dan kewenangan seorang guru adalah alasan mengapa seorang guru harus dihormati. Maka, melakukan sebuah tindak asusila, apalagi terhadap muridnya sendiri sama saja mencoret semua alasan tersebut. Sudah selayaknya hukuman yang setimpal harus diterimakan kepadanya.

Ancaman hukuman 15 tahun penjara yang disebutkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 pun layak direvisi karena hukuman yang lebih berat harus ditimpakan kepada para pelaku. Bahkan, jika pelakunya adalah seorang pendidik, maka seharusnya dia perlu dimakzulkan. Predikatnya sebagai guru harus dicopot, selamanya.

Kasus guru mesum ini akan sangat dahsyat dampaknya bagi korban yang notabene adalah generasi penerus bangsa. Bukan tidak mungkin, korban seharusnya bisa menjadi seorang dokter, ilmuwan, seniman, atau profesi lain. Namun, karena masa depannya dihancurkan oleh oknum gurunya sendiri, pupuslah semua yang dicita-citakan. Mereka juga tertekan secara psikologis sehingga cenderung menarik diri dari pergaulan. Ini tentu akan menyulitkannya untuk berkembang di kemudian hari.
Bagaimanapun guru yang berbuat mesum secara jelas telah melakukan pelanggaran etika, mengingkari sumpah jabatan guru dan juga UU.

Bukan semata bergantung kepada gurulah, perbaikan moral anak di negeri ini akan terjadi. Namun, jika guru yang identik dengan kaum terdidik dan menjadi teladan sudah tidak bisa kita percaya, kepada siapa lagi kita bisa berharap?

Kasus ini oknum guru melakukan pelecehan seksual terhadap anak didiknya memang tidak bisa digeneralisir, karena tidak semua guru berperilaku seperti itu. Namun, kita harus berpikir ulang dan mengasah otak untuk melahirkan guru yang berkualitas dan taat pada etika dan ajaran agama.

Tanggung jawab besar tidak hanya tertumpu kepada LPTK sebagai lembaga pendidikan pre-service penghasil guru. Selepasnya dari sana tentu saja guru harus tetap digembleng di lembaga pendidikan in service. Sekolah adalah lembaga sosial yang paling konservatif menurut banyak pakar karena di dalamnya memiliki aspek-aspek kehidupan masyarakat yang lengkap. Di sinilah "kawah candradimuka" sesungguhnya bagi seorang "guru" ketika dia harus terus belajar membawa "cahaya". Karena, guru adalah sang pencerah, bagi dirinya dan juga siswanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar