Akhir-akhir ini dunia
dikejutkan dengan konsep baru dalam upaya menyejahterakan masyarakat yang
dikembangkan oleh seorang enterpreneur, pendiri dan direktur Zero Emissions Research dari Belgia
bernama Prof Dr Gunter Pauli. Konsep yang dikembangkan adalah blue economy, yaitu konsep dimana
potensi lokal mendapat perhatian untuk dikembangkan. Diyakininya dengan
melakukan 100 inovasi akan mampu menciptakan 100 juta pekerjaan baru bagi
masyakarat, khususnya masyarakat miskin di pedesaan.
Suatu terobosan yang luar
biasa ini, mendapat sambutan positif dari kalangan pemerintah kita.
Beberapa kali pemerintah terus mengupayakan agar konsep blue economy ini
dapat dikembangkan di Indonesia guna ikut berpartisisipasi dalam upaya
pengentasan kemiskinan. Beberapa kementerian telah berupaya menerapkan
konsep ini dengan sangat berhasil dan sekali lagi tidak sedikit yang
menerapkan konsep tersebut melalui proyek-proyek di tempat-tempat tertentu,
sehingga belum secara signifikan mampu menolong keluarga miskin untuk
bangkit dari belenggu kemiskinan secara keseluruhan.
Banyak para pemimpin dan
pengambil kebijakan belum memahami bahwa proses pengentasan kemiskinan itu
tidak bisa dilakukan dengan cara instruktif, seperti yang selama ini
dilakukan tetapi harus ada konsep baru yang partisipatif. Blue economy ini
menawarkan suatu terobosan agar partisipasi masyarakat mendapatkan tempat
yang sewajarnya, bukan menghalang-halangi apa lagi melarang upaya
gotong-royong dalam menciptakan suatu kreasi baru yang menguntungkan
masyarakat dan kelompoknya secara mandiri. Penggunaan pendekatan
partisipatif dan budaya gotong-royong serta sumber daya lokal merupakan
prioritas utama dalam kegiatan pembangunan dalam kontek blue economy ini.
Pengolahan bahan-bahan lokal
dengan teknologi sederhana, apabila mendapat dorongan dan pemberdayaan,
maka masyarakat desa, khususnya masyarakat miskin akan mampu bangkit dan
menjadi wirausaha-wirausaha baru di pedesaan. Dengan adanya usaha baru
tersebut, mereka yang dulunya tidak bekerja, akan bekerja dan mampu
membangun bangsanya secara mandiri dan gotong-royong.
Namun, sepertinya konsep blue
oconomy ini berlawan dengan ekonomi yang menekankan pada masalah
pertumbuhan, perluasan usaha dan persaingan atau kompetitif. Ini sangat
berbeda, karena menawarkan konsep kebersamaan dan partisipatif, menggunakan
sumber daya alam yang ada di sekitar dan mengolahnya dengan teknologi
sederhana dan mampu menciptakan pekerjaan baru bagi masyarakat. Prinsip
yang digunakan adalah zero waste yang artinya mengurangi biaya dan
meningkatkan efisiensi terkait dengan proses produksi dan penggunaan
sisa-sisa yang sebelumnya tidak dimanfaatkan, diolah kembali menjadi
bahan-bahan yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan.
Secara mudah
bahwa zero waste adalah memanfaatkan seluruh bahan-bahan yang ada di
lingkungan dan diolah dengan teknologi sederhana dan tidak yang tidak
dimanfaatkan.
Ini sangat baik bagi kesehatan
manusia dan lingkungan, karena pembiayaannya relatif murah, bahannya diolah
dan didapatkan dari lingkungan sendiri. Artinya, bahan lokal dikomsumsi
oleh keluarga sendiri dan dapat pula dijual ke keluarga lain yang
membutuhkan. Ini mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tersebut. Dengan
memproduksi secara bersama-sama dan memperolah bantuan dari pemerintah atau
orang kaya di sekitarnya, maka upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat
terpenuhi sambil membangun modal sosial atau social capital serta
meningkatkan kesadaran hidup selaras dengan jalur evolusi alam.
Dengan cara mengolah bahan
baku lokal dan merubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dan
memiliki nilai tambah yang tinggi secara gotong-rotong, dibantu
difasilitasi oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait, akan muncul
wirausaha-wirausaha baru yang oleh Gunter Pauli diyakini akan mampu
menciptakan jutaan lapangan kerja baru, one hundred invovation one hundred
million job. Ini bentuk inovasi pemanfaatan alam sekitar secara maksimal
tanpa ada yang terbuang.
Para pengambil kebijakan dapat
mempergunakan konsep ini untuk pengentasan kemiskinan. Kebijakan bukan lagi
sebagai instruktif atau kekuasaan, tetapi seperti dikemukakan oleh Plt
Kepala BKKBN, Dr Sudibyo Alimoeso, MA, pemerintah harus menggunakan
manajemen partisipatif. Ini bisa mengajak berbagai pihak, termasuk LSM
bersama-sama pemerintah memberikan fasilitasi kepada masyarakat miskin,
agar tujuan pembangunan millennium dapat tercapai dan kemiskinan di
Indonesia bisa diturunkan.
Akhirnya, apapun konsep yang
ditawarkan termasuk blue economy yang tengah digencarkan, semua akan
bemuara pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tentu hal ini
sangat sejalan dengan konsep pos pemberdayaan keluarga (posdaya), yaitu
membangun kebersamaan dan menghidupkan kembali kegotong-royong dengan arah
yang jelas dan disesuaikan dengan upaya pencapaian target-target millenium
developments goals (MDGs).
Di beberapa tempat,
anggota-anggota posdaya telah mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah
dan perguruan tinggi serta lembaga keuangan berupa mesin-mesin ringan dan
sederhana yang mampu memberi nilai tambah bagi sumber daya lokal.
Mesin-mesin dengan teknologi sederhana itu mampu dikembangkan dan
diciptakan oleh para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan
diperbantukan kepada masyarakat dengan cara meminjam kredit melalui lembaga
keuangan untuk mendapatkan alat atau mesin-mesin tersebut.
Dalam mengimplementasikan
konsep blue economy, masyarakat
desa dalam posdaya telah melakukannya dengan sangat baik. Bukan dengan
teori rumit dan terlihat sulit ditangkap, tetapi dengan karya nyata di
lapangan. Keduanya bisa dikawinkan sebagai modal sosial bagi pengentasan
kemiskinan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar