Kamis, 07 Maret 2013

Blue Eonomy dan Pos Daya


Blue Eonomy dan Pos Daya
Mulyono D Prawiro  ;  Dosen Pascasarjana dan Anggota Senat
Universitas Satyagama, Jakarta
SUARA KARYA, 07 Maret 2013

  
Akhir-akhir ini dunia dikejutkan dengan konsep baru dalam upaya menyejahterakan masyarakat yang dikembangkan oleh seorang enterpreneur, pendiri dan direktur Zero Emissions Research dari Belgia bernama Prof Dr Gunter Pauli. Konsep yang dikembangkan adalah blue economy, yaitu konsep dimana potensi lokal mendapat perhatian untuk dikembangkan. Diyakininya dengan melakukan 100 inovasi akan mampu menciptakan 100 juta pekerjaan baru bagi masyakarat, khususnya masyarakat miskin di pedesaan.

Suatu terobosan yang luar biasa ini, mendapat sambutan positif dari kalangan pemerintah kita. Beberapa kali pemerintah terus mengupayakan agar konsep blue economy ini dapat dikembangkan di Indonesia guna ikut berpartisisipasi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Beberapa kementerian telah berupaya menerapkan konsep ini dengan sangat berhasil dan sekali lagi tidak sedikit yang menerapkan konsep tersebut melalui proyek-proyek di tempat-tempat tertentu, sehingga belum secara signifikan mampu menolong keluarga miskin untuk bangkit dari belenggu kemiskinan secara keseluruhan.

Banyak para pemimpin dan pengambil kebijakan belum memahami bahwa proses pengentasan kemiskinan itu tidak bisa dilakukan dengan cara instruktif, seperti yang selama ini dilakukan tetapi harus ada konsep baru yang partisipatif. Blue economy ini menawarkan suatu terobosan agar partisipasi masyarakat mendapatkan tempat yang sewajarnya, bukan menghalang-halangi apa lagi melarang upaya gotong-royong dalam menciptakan suatu kreasi baru yang menguntungkan masyarakat dan kelompoknya secara mandiri. Penggunaan pendekatan partisipatif dan budaya gotong-royong serta sumber daya lokal merupakan prioritas utama dalam kegiatan pembangunan dalam kontek blue economy ini.

Pengolahan bahan-bahan lokal dengan teknologi sederhana, apabila mendapat dorongan dan pemberdayaan, maka masyarakat desa, khususnya masyarakat miskin akan mampu bangkit dan menjadi wirausaha-wirausaha baru di pedesaan. Dengan adanya usaha baru tersebut, mereka yang dulunya tidak bekerja, akan bekerja dan mampu membangun bangsanya secara mandiri dan gotong-royong.

Namun, sepertinya konsep blue oconomy ini berlawan dengan ekonomi yang menekankan pada masalah pertumbuhan, perluasan usaha dan persaingan atau kompetitif. Ini sangat berbeda, karena menawarkan konsep kebersamaan dan partisipatif, menggunakan sumber daya alam yang ada di sekitar dan mengolahnya dengan teknologi sederhana dan mampu menciptakan pekerjaan baru bagi masyarakat. Prinsip yang digunakan adalah zero waste yang artinya mengurangi biaya dan meningkatkan efisiensi terkait dengan proses produksi dan penggunaan sisa-sisa yang sebelumnya tidak dimanfaatkan, diolah kembali menjadi bahan-bahan yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan. 
Secara mudah bahwa zero waste adalah memanfaatkan seluruh bahan-bahan yang ada di lingkungan dan diolah dengan teknologi sederhana dan tidak yang tidak dimanfaatkan.

Ini sangat baik bagi kesehatan manusia dan lingkungan, karena pembiayaannya relatif murah, bahannya diolah dan didapatkan dari lingkungan sendiri. Artinya, bahan lokal dikomsumsi oleh keluarga sendiri dan dapat pula dijual ke keluarga lain yang membutuhkan. Ini mampu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tersebut. Dengan memproduksi secara bersama-sama dan memperolah bantuan dari pemerintah atau orang kaya di sekitarnya, maka upaya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi sambil membangun modal sosial atau social capital serta meningkatkan kesadaran hidup selaras dengan jalur evolusi alam.

Dengan cara mengolah bahan baku lokal dan merubahnya menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dan memiliki nilai tambah yang tinggi secara gotong-rotong, dibantu difasilitasi oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait, akan muncul wirausaha-wirausaha baru yang oleh Gunter Pauli diyakini akan mampu menciptakan jutaan lapangan kerja baru, one hundred invovation one hundred million job. Ini bentuk inovasi pemanfaatan alam sekitar secara maksimal tanpa ada yang terbuang.

Para pengambil kebijakan dapat mempergunakan konsep ini untuk pengentasan kemiskinan. Kebijakan bukan lagi sebagai instruktif atau kekuasaan, tetapi seperti dikemukakan oleh Plt Kepala BKKBN, Dr Sudibyo Alimoeso, MA, pemerintah harus menggunakan manajemen partisipatif. Ini bisa mengajak berbagai pihak, termasuk LSM bersama-sama pemerintah memberikan fasilitasi kepada masyarakat miskin, agar tujuan pembangunan millennium dapat tercapai dan kemiskinan di Indonesia bisa diturunkan.

Akhirnya, apapun konsep yang ditawarkan termasuk blue economy yang tengah digencarkan, semua akan bemuara pada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tentu hal ini sangat sejalan dengan konsep pos pemberdayaan keluarga (posdaya), yaitu membangun kebersamaan dan menghidupkan kembali kegotong-royong dengan arah yang jelas dan disesuaikan dengan upaya pencapaian target-target millenium developments goals (MDGs).

Di beberapa tempat, anggota-anggota posdaya telah mendapatkan bantuan dari pemerintah daerah dan perguruan tinggi serta lembaga keuangan berupa mesin-mesin ringan dan sederhana yang mampu memberi nilai tambah bagi sumber daya lokal. Mesin-mesin dengan teknologi sederhana itu mampu dikembangkan dan diciptakan oleh para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan diperbantukan kepada masyarakat dengan cara meminjam kredit melalui lembaga keuangan untuk mendapatkan alat atau mesin-mesin tersebut.

Dalam mengimplementasikan konsep blue economy, masyarakat desa dalam posdaya telah melakukannya dengan sangat baik. Bukan dengan teori rumit dan terlihat sulit ditangkap, tetapi dengan karya nyata di lapangan. Keduanya bisa dikawinkan sebagai modal sosial bagi pengentasan kemiskinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar