Senin, 11 Maret 2013

Bom Waktu UU Minerba


Bom Waktu UU Minerba
Muhammad Syarif Hidayatullah  ;   Peneliti Wiratama Institute
KOMPAS, 11 Maret 2013

  
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah bom waktu untuk Indonesia. UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral dan batubara dan melarang ekspor bahan mentah tahun 2014.
UU ini mengamanahkan pembangunan smelter sehingga produksi tambang dalam negeri dapat diproses sebelum diekspor. Tujuan UU Minerba sangatlah mulia: agar Indonesia bisa merasakan nilai tambah dari produk- produk tambang, mendongkrak produk domestik bruto, dan menyerap tenaga kerja.
Berbeda dengan harapan awal, pasca-penetapan UU ini eksploitasi pertambangan justru melonjak tajam. Pemilik tambang berlomba menambang sebanyak-banyaknya sebelum dilarang. Akibatnya, produksi sejumlah komoditas tambang melonjak. Contohnya produksi bauksit tahun 2009 sebanyak 783.000 mt, tahun 2011 menjadi 17.634.000 mt, atau melonjak 2.150 persen. Hal serupa terjadi pada komoditas ore nikel, di mana produksi pada 2009 hanya 5.802.000 wmt, tapi tahun 2011 sudah 15.973.000, atau meningkat 175 persen (Kementerian ESDM, 2012).
Pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah sudah di depan mata, tetapi Indonesia masih belum memiliki smelter memadai untuk mengimbangi produksi tambang. Penulis mencatat setidaknya ada tiga komoditas yang akan defisit smelter tahun 2014, yaitu tembaga, bauksit, dan nikel. Produksi bauksit nasional pada 2011 mencapai 17,6 juta ton (Kementerian ESDM, 2012). Saat ini, Indonesia belum memiliki smelter bauksit. Rencana pembangunan sejumlah smelter bauksit, hingga 2014, hanya mampu menampung 7,1 juta ton. Gap antara produksi tambang dan kapasitas smelter 10,5 juta ton, dengan asumsi semua pembangunan smelter lancar.
Komoditas nikel mengalami hal serupa. Pertambangan nikel Indonesia menghasilkan 15,9 juta ton nikel tahun 2011. Smelter nikel eksisting Indonesia memiliki kapasitas 9,03 juta ton. Hingga 2014, diperkirakan akan ada tambahan sejumlah smelter baru, dengan kapasitas total 4,15 juta ton. Gap antara produksi tambang dan smelter pada tahun 2014 mencapai 2,72 juta ton.
Untuk komoditas tembaga, produksi tembaga nasional tahun 2011 mencapai 20,2 juta ton, sedangkan smelter tembaga yang eksisting hanya mampu menampung 1 juta ton (Kementerian ESDM, 2012). Adapun rencana pembangunan sejumlah smelter tembaga hingga 2014 hanya menambah kapasitas smelter menjadi 1,2 juta ton. Setidaknya akan ada 18 juta ton tembaga yang tidak dapat diolah.
Dampak UU Minerba
Implikasi dari minimnya smelter adalah banyak bahan mentah tambang yang tidak dapat dijual, yang pada akhirnya membuat pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menutup usahanya. Hal ini akan berdampak pada tiga hal. Pertama, berkurangnya penerimaan negara. Kedua, pengurangan tenaga kerja di sektor tambang, dan ketiga, semakin tergerusnya neraca perdagangan.
Pertama, pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan dapat berupa penerimaan pajak (PPh), penerimaan bukan pajak (royalti tambang), dan deadrent (sewa lahan). Penerimaan royalti sektor minerba mencapai Rp 13 triliun per tahun, sedangkan pajak dari sektor tambang dan galian Rp 55 triliun (Kementerian Keuangan, 2012). Penerimaan ini berpotensi anjlok jika produksi tambang minerba menurun.
Kedua, berkurangnya produksi tambang akan berimplikasi terhadap pengurangan tenaga kerja. Saat ini pekerja sektor pertambangan dan galian mencapai 1,6 juta pekerja (BPS, 2012). Angka tersebut meningkat dibandingkan Januari 2009 yang hanya 1,1 juta, atau ada peningkatan 40 persen. Kenaikan ini disinyalir akibat peningkatan produksi tambang secara drastis, yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan adanya larangan ekspor bahan mentah, para pekerja harus bersiap kehilangan pekerjaan. Pengurangan tenaga kerja juga akan terjadi pada perusahaan pendukung kegiatan tambang, seperti perkapalan dan alat berat.
Ketiga, sektor pertambangan nonmigas (termasuk minerba) menyumbang 16,28 persen ekspor nasional (BI, 2012). Apabila ekspor bahan mentah menurun akibat larangan ekspor, neraca perdagangan akan kian defisit. Hal ini akan berdampak terhadap kian lemahnya nilai tukar rupiah, yang mendongkrak biaya impor. Tingginya biaya impor akan berpengaruh terhadap sejumlah produk yang masih mengandalkan komponen impor.
UU Minerba sudah ditetapkan sejak 2009, tetapi hingga kini program penghiliran seperti jalan di tempat. Pemerintah belum berhasil menciptakan iklim usaha yang membuat investor tertarik membangun industri smelter di Indonesia. Menurut penulis, pangkal permasalahan ini adalah birokrasi dan regulasi yang tidak mendukung proses penghiliran, ketidakjelasan tata ruang, dan infrastruktur yang belum memadai.
Pertama, birokrasi dan regulasi di Indonesia sering menghambat proses penghiliran. Perizinan yang rumit, pembebasan lahan, hingga tumpang tindih peraturan menjadi penghalang utama. Contohnya, aturan divestasi tambang menyebabkan pemilik tambang enggan membangun smelter. Aturan divestasi tambang memaksa pemilik tambang mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah (pemda, BUMN, BUMD) dalam waktu 10 tahun. Apabila tambang terintegrasi dengan smelter tentunya investor rugi besar apabila smelter yang bernilai investasi besar turut didivestasikan.
Kedua, tata ruang. Investasi sering terkendala ketidakjelasan tata ruang. Masih ada tumpang tindih antara peta kehutanan, peta pertambangan, dan rencana tata ruang wilayah. Tumpang tindih ini, misalnya dengan kawasan lain, menjadi penyebab ketidakpastian. Ketiga, ketersediaan infrastruktur. Smelter membutuhkan infrastruktur penunjang seperti listrik untuk menjalankan pabrik, jalan untuk mengangkut bahan mentah dan hasil olahan, dan pelabuhan untuk mendistribusikan hasil produksi smelter. Kebutuhan infrastruktur tersebut gagal disediakan pemerintah. Masih banyak jalan rusak, pelabuhan yang tidak efisien, dan sulitnya mendapatkan akses listrik.
Infrastruktur listrik di daerah yang memiliki potensi tambang sering memiliki rasio elektrifikasi rendah, seperti Sumatera Selatan sebesar 72,71 persen, Kalimantan Tengah 67 persen, Kalimantan Selatan 75 persen, dan Papua 29,25 persen. Smelter biasanya akan dibangun dekat dengan sumber tambang agar dapat menekan biaya transportasi. Dengan tingkat elektrifikasi rendah, investor akan berpikir dua kali sebelum membangun industri smelter.
Strategi jalan keluar
Pemerintah dan DPR hanya mempunyai dua opsi jalan keluar. Pertama, melakukan penundaan dari pelaksanaan pelarangan ekspor bahan mentah, yang berarti merevisi undang-undang. Kedua, menjalankan pelarangan ekspor dan menanggung segala biaya yang diakibatkannya.
Opsi pertama merupakan jalan aman yang minim konflik, tetapi menunjukkan ketidaktegasan pemerintah. Jika opsi ini dijalankan tentu harus dimulai dari pembahasan revisi UU Minerba. Lalu, pemerintah harus memberlakukan bea keluar dan pajak yang besar bagi perusahaan yang melakukan ekspor bahan mentah sehingga menjadi disinsentif pengusaha tambang.
Dengan adanya disinsentif tersebut diharapkan pengusaha tambang dapat mengerem tingkat produksinya hingga setidaknya mendekati level pada tahun 2009, dan mulai berinvestasi di bidang industri hilir. Selain itu, jika opsi ini dilakukan, pemerintah harus mengambil berbagai kebijakan yang mendukung munculnya industri hilir. Dengan demikian, meski ada penundaan, industri smelter tetap dibangun.
Kebijakan yang diambil dapat berupa pembangunan smelter yang berbasis wilayah. Pemerintah menetapkan zona atau kawasan yang akan menjadi sentra industri hilir di beberapa lokasi dan membangun infrastruktur penunjang. Lalu, pemerintah melalui BKPM dapat menawarkan sentra-sentra tersebut kepada investor. Apabila opsi kedua diambil, Indonesia akan menghadapi guncangan ekonomi cukup besar. Oleh sebab itu, pemerintah diharapkan menyiapkan bantalan pengaman agar dampaknya dapat diminimalkan. Bantalan tersebut dapat berupa jaminan sosial dan pelatihan bagi karyawan yang terkena PHK.
Pilihan yang akan diambil sangat bergantung pada kepemimpinan dan integritas DPR dan pemerintah. Penghiliran merupakan proyek besar bangsa Indonesia, yang sayangnya masih dikerjakan setengah hati.
Pemerintah masih setengah hati dalam menyediakan regulasi dan infrastruktur yang menunjang investor dalam membangun smelter. Sektor swasta masih setengah hati mengambil risiko dan sedikit berkorban untuk membangun smelter. Proyek sebesar ini sudah selayaknya dilaksanakan dengan sepenuh hati sehingga seluruh masyarakat Indonesia dapat merasakan dampak positif dari penghiliran ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar