Pemerintah dan parlemen kembali
memasukkan RUU Keamanan Nasional pada Program Legislasi Nasional 2013.
Pemerintah terkesan memaksakan agar RUU Keamanan Nasional dapat disahkan
sebelum Pemilu 2014.
Selain itu, pemerintah juga baru
saja membentuk Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2013 tentang
penanganan gangguan keamanan dalam negeri dan nota kesepahaman (MOU) antara
Polri dan TNI tentang perbantuan TNI kepada Polri dalam rangka memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat. Esensi kebijakan keamanan nasional itu
ditujukan untuk mengatasi gangguan keamanan dalam negeri. Langkah
pemerintah ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, yakni apakah hadirnya
produk kebijakan keamanan tersebut adalah bentuk antisipasi pemerintah
dalam menyikapi situasi politik yang memanas menjelang Pemilu 2014? Ataukah
peraturan perundangan di bidang keamanan yang ada saat ini tidak cukup
mengantisipasi gangguan keamanan yang terjadi?
Kritik RUU Kamnas
Masuknya kembali RUU Kamnas pada
Prolegnas 2013 tentu sangat disayangkan publik. Desakan masyarakat agar RUU
Kamnas dibahas pasca-Pemilu 2014 untuk menghindari politisasi RUU Kamnas
demi kepentingan Pemilu 2014 tak dihiraukan. Draf terakhir RUU Kamnas masih
mengandung banyak pasal bermasalah, baik secara redaksional maupun
substansial. Penjelasan tentang spektrum, jenis, dan bentuk ancaman
keamanan nasional dalam RUU ini masih terlalu luas, bersifat karet, dan
multitafsir. Bentuk ancaman tak bersenjata dalam Pasal 17 masih memasukkan
pemogokan massal, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa,
diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi sebagai bentuk ancaman
keamanan nasional. Bahkan, presiden masih dapat menentukan ancaman keamanan
nasional yang sifatnya potensial dan aktual.
Atas nama ancaman terhadap keamanan
nasional yang luas itu, negara dapat saja mengidentifikasi
kelompok-kelompok yang kritis terhadap kekuasaan sebagai bagian dari
ancaman keamanan nasional. Dalam kerangka aturan seperti ini, RUU Kamnas
mengandung nuansa sekuritisasi. Sekuritisasi berupaya mendefinisikan ulang
pilihan-pilihan solusi yang dapat diterapkan dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan pada opsi-opsi yang cepat dan koersif, sering kali berbentuk
pengerahan militer, dan mendelegitimasi solusi-solusi jangka panjang dan
negosiasi.
Dalam aspek urgensinya, kehadiran
RUU Kamnas patut dipertanyakan mengingat pengaturan tentang keamanan
nasional di Indonesia sebenarnya telah diatur dan dibentuk melalui sejumlah
aturan bidang pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, tak heran jika sebagian
substansi pasal-pasal dalam RUU Kamnas bersifat mengulang UU yang sudah
dibentuk.
Beberapa aturan di sektor keamanan
nasional, mencakup keamanan negara dan keamanan publik, diatur melalui UU
No 2/2002 tentang Polri, UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 34/
2004 tentang TNI, UU No 17/2011 tentang Intelijen Negara, UU No 15/2003
tentang pemberantasan terorisme, dan UU lainnya. Adapun dalam isu keamanan
manusia, secara tersirat telah diakomodasi melalui UU No 24/2007 tentang
penanggulangan bencana, UU No 39/1999 tentang HAM, dan UU lainnya.
Fragmentasi pengaturan keamanan
nasional dalam sejumlah UU itu di satu sisi bertujuan untuk menghindari
terjadinya sekuritisasi. Di sisi lain, sulit sekali membentuk UU bidang
keamanan nasional yang tunggal dan bersifat sapu jagat yang cakupannya
mengatur semua aspek dan masalah keamanan nasional.
Kritik Inpres dan MOU TNI-Polri
Masalah utama Inpres No 2/2013 dan
MOU TNI-Polri adalah masalah legalitas yang lemah dan keliru tentang
pengaturan perbantuan TNI. Secara legal, pengaturan tentang perbantuan TNI
seharusnya diatur dalam bentuk UU, atau paling tidak diatur dalam peraturan
pemerintah. Pasal 41 Ayat (1) UU Polri No 2/2002 menyebutkan, dalam rangka
melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara RI dapat meminta bantuan TNI
yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Adapun Pasal 7 Ayat
(2) poin 10 UU TNI menegaskan, tugas TNI dalam kerangka operasi militer
selain perang dalam membantu Kepolisian Negara RI dalam rangka tugas
keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam UU.
Sayangnya, hingga kini pemerintah
dan parlemen justru belum membentuk UU tentang perbantuan TNI. Anehnya,
pemerintah justru mengatur tentang perbantuan itu melalui inpres dan MOU
TNI-Polri. Pengaturan tentang fungsi perbantuan TNI dalam inpres dan MOU
tak mengatur secara rigid dan tegas rambu-rambu dan prinsip-prinsip dasar
pengaturan perbantuan TNI dalam kehidupan negara yang demokratis. Justru
yang terjadi MOU TNI-Polri hanya menjadikan dasar pertimbangan perbantuan
TNI pada kemampuan dan permintaan Polri serta kriteria ancaman (Pasal 4
MOU).
Padahal, dalam sistem negara
demokrasi, keinginan untuk perbantuan TNI harusnya didasarkan atas
penilaian eskalasi ancaman dari otoritas politik dan harus didasarkan atas
keputusan politik negara sebagaimana ditegaskan dalam UU TNI sendiri. Pasal
7 Ayat (3) UU TNI menyebutkan, dalam menjalankan tugas operasi militer
selain perang, yang salah satunya adalah membantu kepolisian, harus
didasarkan atas kebijakan dan keputusan politik negara. Yang dimaksud
dengan kebijakan dan keputusan politik negara adalah kebijakan politik
pemerintah bersama-sama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan
kerja antara pemerintah dan DPR, seperti rapat konsultasi dan rapat kerja
sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 5 UU TNI).
Inpres dan MOU TNI-Polri akan
menjadi cek kosong bagi aktor-aktor keamanan dalam menghadapi gangguan
keamanan yang terjadi. Bahayanya adalah dalam MOU TNI-Polri, militer
kembali diberikan ruang untuk menghadapi aksi unjuk rasa dan mogok kerja
(Pasal 5 point a) meski tetap harus menunggu permintaan dari Polri. Hal ini
tentu akan menjadi ancaman serius bagi dinamika gerakan masyarakat sipil,
baik itu elemen mahasiswa, buruh, maupun petani, yang melakukan aksi unjuk
rasa untuk menuntut hak-haknya sebagaimana pernah dialami pada masa kelam
Orde Baru.
Pembentukan inpres dan MOU tentu
tidak akan bisa mengatasi konflik yang ada. Justru kehadiran inpres dan MOU
akan memperkeruh dinamika konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia.
Selama ini pendekatan keamanan yang dilakukan dalam mengatasi beberapa
konflik justru berujung pada terjadinya lingkaran kekerasan dan pelanggaran
HAM.
Sejumlah konflik di daerah sangat
kompleks sebab dan akar persoalannya. Faktor penyebab konflik sangat
beragam di masing-masing daerah sehingga penerbitan inpres bukanlah solusi
tepat dalam mengatasi konflik. Bahkan, pemerintah acapkali menjadi bagian
(faktor) dari masalahnya. Dalam kasus kekerasan berdimensi agama, selama
ini masalahnya justru di pemerintah sendiri yang sering kali membuat
kebijakan yang tidak adil dan bahkan diskriminatif terhadap kelompok
minoritas. Dalam konflik agraria, akar persoalannya adalah karena
pemerintah tak menjalankan Tap MPR No IX/2001 tentang reforma agraria sehingga
ketimpangan dan ketidakadilan agraria terus berlanjut. Karena itu, adalah
lebih tepat jika pemerintah menyelesaikan akar persoalan sejumlah konflik
itu (hulu) dan bukan menggunakan cara-cara represi untuk mengatasinya
(hilir).
Dengan demikian, menjadi tepat dan
bijak jika pemerintah mengevaluasi ulang kebijakan keamanan nasional yang
sudah dibentuk (inpres dan MOU) dan tidak melanjutkan pembahasan RUU
Kamnas. Jika hal itu tidak dilakukan, benar adanya bahwa kehadiran produk
kebijakan keamanan nasional itu adalah untuk mempermudah kembali masuknya
militer dalam menghadapi gangguan keamanan dalam negeri dan sarat dengan
kepentingan politik ekonomi kekuasaan dan kapital serta sarat dengan
kepentingan politik elektoral 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar