Sejarah manusia tampaknya
berlangsung dalam perjalanan waktu untuk menegakkan ”diri agung” yang tak
terbatas, di tengah-tengah tarikan ”diri rendah” yang terbatas. Raka
Santeri
Dalam jejak-jejaknya yang terasa
dan teraba, diri agung menandakan kehadirannya dalam kebudayaan, peradaban,
dan kejernihan logika. Sementara diri rendah menebarkan kekerasan,
keserakahan, dan kekuasaan dalam tiang-tiang rapuh kesementaraan.
Perjuangan seperti itulah yang
terjadi pada tahun 77 Masehi ketika Raja Kaniska I di India mencampakkan
pedangnya ke tanah, lalu menggantikannya dengan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan. Kekuasaan yang luas, harta berlimpah, dan kesenangan yang mudah
ternyata tidak berarti apabila kecemasan selalu menghantui diri.
Perenungan dalam sepi, di
tengah-tengah kemenangan melawan musuh-musuh kekuasaan, mengalirkan raja
dari dinasti Kusana ini menuju kesadaran yang cerah: mengalahkan diri
sendiri!
Lebih dari 1.935 tahun kemudian,
dalam abad ini, kita masih menghadapi musuh ”diri agung” yang sama:
kegaduhan batin, kekerasan, keserakahan, dan perebutan kekuasaan.
Dengan setia kita menghamba kepada
diri rendah kita masing-masing, sambil menyusun daya upaya yang kita anggap
sebagai kecerdasan ilmu pengetahuan. Tujuannya merangkul dan menguasai,
atau menyingkirkan dan menjatuhkan, ketika saudara sendiri pun kita anggap
sebagai lawan.
Dalam beberapa kesempatan, kita
juga tidak segan-segan memainkan fakta menjadi fitnah, menegakkan setan di
samping Tuhan, sehingga nafsu bisa dikobarkan menjadi api yang
menghanguskan ratusan rumah dan menjadi pedang untuk membunuh manusia tanpa
daya.
Kenapa kita, yang dalam setiap
”klik” mampu menembus dunia maya, berenang dalam lautan informasi dan
pengetahuan, sangat sulit berubah dan memilih tetap tegak dalam kepentingan
diri kita yang rendah?
Mungkin benar orang Indonesia
termasuk jenis manusia hipokrit, berjiwa feodal, dan berwatak lemah,
seperti dikemukakan Mochtar Lubis. Tetapi mungkin juga karena kita selalu
melihat dan menganggap ”diri” hanya sebatas tubuh dengan segala
kemampuan sementaranya. Sedangkan jiwa (roh) diabaikan meskipun
sesungguhnya roh adalah ”percikan cahaya Ilahi” (Atman) yang abadi dalam
ruang kehidupan tak terbatas.
Dalam ajaran Hindu, manusia adalah
roh abadi yang tinggal di dalam tubuh yang sementara ini. Segala
kemampuannya muncul dari hasil karma di masa lalu, masa sekarang, dan
masa-masa yang akan datang.
Kama, Kroda, dan Lobha
Karena esensi utama manusia adalah
roh, sudah seharusnya tujuan hidup mendekatkan kembali roh ke sumber
asalnya, kepada Sang Pencipta (Tuhan). Kedekatan roh kepada Tuhan akan
menghasilkan karma (perbuatan) yang baik, dan karma yang baik pada
gilirannya akan mengangkat derajat manusia ke tataran yang lebih mulia,
menjadi diri yang agung.
Sebaliknya kalau kita selalu
mengutamakan tubuh, kita cenderung tak henti-hentinya mengejar keinginan
tubuh. Akhirnya kita akan terjebak pada ”tiga pintu neraka” (Bhagawat Gita
XVI-21), yaitu kama (keinginan yang tak ada akhirnya), kroda (kemarahan
yang menyalakan anarkisme, permusuhan, dan peperangan), dan lobha (sifat
tamak yang tidak mengenal kata cukup, selalu ingin lebih, lagi dan lagi,
sehingga akhirnya menjadi ”gila”).
Bukankah gila orang-orang yang
senang memamerkan kemewahan di tengah-tengah kesengsaraan rakyat yang
kelaparan? Gila juga orang yang masih tersenyum bak pahlawan ketika dihujat
dan dihukum karena korupsi. Itulah diri yang rendah. Agama Hindu menawarkan
hidup seimbang, mencari kekayaan (artha) dan kesenangan (kama) berdasarkan
kebenaran (dharma).
Kalau dharma tidak melandasi
pencarian artha dan kama, bangsa ini akan terus terseret dalam pusaran
korupsi, perebutan kekuasaan, kebencian, dan tipu daya memenuhi ruang-ruang
publik yang masih tersisa. Semua akan tersandera oleh semua, dan
ruang-ruang untuk maju terhambat sekat-sekat kesepakatan yang dibangun
untuk ”keamanan” bersama pula.
Tercerahkan
Untuk keluar dari kemelut
lingkaran setan ini, kita perlu seseorang yang tercerahkan, seseorang
yang berani ”melempar pedang”-nya; dan dengan logika jernih membangun
kembali peradaban bangsa. Orang seperti itu harus pula berani melawan
dirinya yang rendah serta menggugah diri-diri rendah lainnya bangkit
menjadi diri-diri yang agung. Ya, kita memerlukan ”Kaniska-Kaniska”
Indonesia abad ke-21 untuk membangun kembali kejayaan bangsa, seperti
pernah kita miliki pada zaman Sriwijaya dan Majapahit dahulu.
Mimpi? Semua yang besar dimulai
dari mimpi! Kata-kata bijak menyebutkan: Once you meet your higher self, whatever its form, you will get
shine, bright, open and awaken. You will feel the true joy, and happiness
is everything….
Semoga kegaduhan politik dan
keserakahan nafsu kebendaan yang merajalela sekarang ini memaksa kita bangkit
dan berubah menjadi lebih bersih, terbuka, dan kuat di masa-masa yang akan
datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar