Januari lalu, Geert Wilders,
politikus Belanda yang terkenal di seluruh dunia karena kampanye anti-Islam
yang agresif dilakukannya, meluncurkan situs provokatif:
http://www.mosknee.nl/.
Melalui situs itu, partai politik
Wilders, Partij voor de Vrijheid atau PVV (Partai Kebebasan), menyatakan
siap menampung laporan masyarakat jika ada rencana pembangunan masjid di
Belanda demi menghambat laju islamisasi. Seperti termaktub dalam kalimat pertama
pada situs itu, ”Belanda bukan negara Islam dan tidak akan pernah terjadi
(negara Islam)”, PVV ingin membantu warga Belanda mencegah pembangunan
masjid dengan regulasi politik yang legal: mengajukan protes keras kepada
dewan perwakilan rakyat kota madya, menghimpun pendapat umum, dan
mengadukannya kepada pengadilan.
Intinya, masyarakat Belanda perlu
terus diberi tahu dan disadarkan akan ancaman islamisasi. Ironisnya, usaha
politis PVV, yang suka mengklaim sebagai pembela kebebasan, justru
bertentangan dengan klausul kebebasan beragama yang diakui di Belanda
sebagai hak asasi manusia, yang antara lain meliputi hak mendirikan tempat
ibadah.
Bentukan Baru
Adanya jaminan hukum atas
kebebasan sipil itu boleh jadi membuat sebagian orang meragukan gagasan
Wilders yang akan menghambat pembangunan rumah ibadah kaum Muslim di
Belanda itu berhasil. Meski begitu, sekali lagi Geert Wilders dan partai
politiknya berhasil mendapat publisitas besar.
Seperti biasa, Geert Wilders
pandai menggunakan bahasa Belanda untuk tujuan itu. Kata mosknee merupakan
neologisme, kata bentukan baru, terbentuk dari kata moskee ”masjid” dan nee ”tidak”. Pelesetan kata dapat
berfungsi sebagai senjata yang ampuh dalam sebuah perdebatan politik.
Sebenarnya kata mosknee tidak terlalu impresif dan belum tentu dapat
bertahan lama dalam wacana publik. Namun, pengalaman menunjukkan, kelihaian
Wilders membuat pelesetan kata sering kali berefek luas.
Pada 2009, dalam sesi pandangan
umum di parlemen Belanda, Wilders tiba-tiba memperkenalkan istilah
kopvoddentax atau kopvoddentaks
yang kemudian jadi pembicaraan publik. Dia berargumentasi bahwa selama ini
pajak telah dikenakan terhadap banyak hal: BBM, tempat parkir, anjing, atau
tiket pesawat. Karena itu, kata Wilders, mengapa tidak kita kenakan pajak
terhadap para pemakai jilbab. Misalnya 1.000 euro setahun dengan alasan
pokok ada pencemaran karena, menurut Wilders, pemakai jilbab mencemarkan
lingkungan.
Pajak jilbab yang ia usulkan
bernama kopvoddentax, yaitu pajak
(taks atau tax) terhadap cabikan (vod) atas kepala (kop). Istilah itu juga
merupakan neologisme: kopvod yang
merupakan terjemahan kasar dari hoofddoek. Usul Wilders tak mendapat
dukungan partai politik mana pun di parlemen, tetapi kejutan yang
dihasilkannya membuahkan sukses di kalangan para pemilih.
Di hampir seluruh Eropa citra
Islam memang tengah diuji dan tokoh politik anti-Islam seperti Wilders
cukup populer karena dianggap ”jujur” dan selalu berterus terang mengenai
ancaman islamisasi. Meskipun Wilders yang memopulerkan kata kopvod, sejatinya dia bukan pencipta
kata itu.
Menurut Ewoud Sanders, wartawan
dan sejarawan bahasa, kata itu digunakan sejak 2001 dan sering dipakai
dalam percaturan politik berhaluan kanan dan ultrakanan, terutama di dunia
maya.
Seperti diketahui, dunia maya
adalah tempat yang empuk bagi mereka yang secara anonim suka berkomentar
dalam bahasa yang kasar, penuh caci maki, dan rasis. Dalam beberapa situs
yang populer di Belanda, para propagan- dis anti-Islam sangat kreatif dalam
membuat kosakata baru. Misalnya kata haatbaard ”jenggot benci” memberi
gambaran tentang seorang Muslim fanatik dengan jenggot panjang.
Nominasi
Belum lama ini juga terdapat
pelesetan kata yang masuk dalam nominasi untuk dipilih redaksi kamus
Belanda Van Dale sebagai kata tahun ini, woord van het jaar, yaitu booslim
yang digabungkan dari kata boos ”marah” dan moslim ”Muslim”.
Kata booslim tergolong bahasa gaul
yang dipakai di internet dan didefinisikan oleh para ahli bahasa Belanda
sebagai ”orang Muslim fundamentalis yang bereaksi agresif di tempat
umum jika norma dan nilai yang dijunjungnya dihina”.
Penting juga diketahui bahwa Islam
bukan satu-satunya agama yang menjadi sasaran kritik atau hinaan para
komentator anonim di situs-situs populer di Belanda. Semua agama yang
mereka anggap ketinggalan zaman dan biang keladi atas berbagai penderitaan
umat manusia menjadi sasaran cacian mereka.
Istilah yang baru saja dikenal
publik Belanda seperti reli(e)gekkie ”orang beragama sinting” atau gristengekkie ”orang Kristen
sinting” membuktikan bahwa agama terus menjadi bahan olokan dan tak lagi
dianggap sebagai pandangan dan sikap hidup yang pantas dihormati. Pada
2012, Badan Pusat Statistik di sana melaporkan bahwa jumlah penduduk dewasa
yang masih beragama di Belanda sekitar 55 persen dan yang beragama Islam 4
persen.
Gambaran di atas menunjukkan,
orang-orang yang marah dan frustrasi dengan bebas melampiaskan kebenciannya
di dunia maya terhadap perilaku kaum beragama, terutama Islam dan Kristen,
yang mereka anggap bertentangan dengan nilai-nilai Eropa yang humanis,
rasional, progresif. Islam mereka identikkan dengan tindak kekerasan dan
Kristen dengan pelecehan seks.
Ranah lain yang juga terus menuai
komentar sinis dalam situs populer di Belanda ialah Uni Eropa, yang mereka
sebut secara sinis sebagai diktator Brussel. Pemerintah Belanda mereka cap
sebagai ”pengkhianat rakyat kecil”, masyarakat multikultur dipelesetkan
menjadi multikul, gabungan dari multi dan kul atau flauwekul,
yaitu omong kosong, dan kriminalitas yang terus meningkat, menurut mereka,
harus diganjar dengan sanksi sangat keras, bahkan jika perlu menghidupkan
lagi hukuman mati bagi para kriminal kelas kakap. Inilah suara-suara
populis di internet yang cetar membahana.
Bukan Sikap Umum
Komentar yang sinis dan kasar di
atas, terutama terhadap agama, tentu saja bukan sikap umum masyarakat
Belanda, apalagi sikap resmi pemerintahnya. Tidak sama sekali. Karena itu,
beberapa pihak dari partai politik dan pemerintah bereaksi cukup keras atas
fenomena itu. Januari lalu, misalnya, Hans Spekman, ketua Partai Buruh,
menunjukkan kekesalannya karena mendapat komentar yang penuh dengan
kesinisan dan kebencian yang ia terima di akun Facebooknya.
Ia menyatakan, internet semakin
menjadi tempat sampah. Karena itu, harus ada ketegasan sebab segala sesuatu
ada batasnya. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Perdana Menteri Mark Rutte
memproklamasikan istilah ofensif keberadaban (beschavingsoffensief) di internet. Menurut dia, mengkritik
boleh, tapi tetap harus disampaikan santun dan beradab. Terdapat beda jelas
antara mengkritik dan menghina.
Rutte mengaku tidak memiliki
langkah konkret dan efektif mencegah rentetan caci maki di internet, tetapi
ia percaya seruan moral tetap akan berguna. Penulis sendiri sebenarnya
ragu-ragu akan keefektifan seruan moral itu. Alasannya sederhana saja:
bukankah orang Belanda selalu bangga dengan karakter nasional mereka yang
menjunjung tinggi keterusterangan dan blak-blakan?
Dalam sosiokultur Belanda sendiri
keterusterangan itu justru dianggap sebagai bukti kejujuran yang selama ini
telah diapresiasi dengan positif. Bahkan, semakin kasar justru dianggap
semakin autentik.
Dalam satu perspektif yang
positif, berbagai kritik justru lecutan buat para pemeluk agama-agama
tersebut bahwa semua tudingan itu tidak benar. Islam, Kristen, dan juga
agama lainnya, sejatinya dapat kompatibel dengan kemajuan peradaban umat
manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar