Sabtu, 02 Maret 2013

Mengurangi Ketimpangan


Mengurangi Ketimpangan
Mudrajad Kuncoro ;  Guru Besar dan Manajer Kantor Publikasi FEB UGM
KOMPAS, 02 Maret 2013


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, pengurangan tingkat kesenjangan ekonomi rakyat Indonesia harus menjadi prioritas pemerintahan ke depan.
Saat membuka sidang kabinet paripurna, SBY menekankan bahwa pengurangan kemiskinan dan kesenjangan dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah dan kepemimpinan daerah yang tepat (Kompas, 22/1). Data yang ada menunjukkan, ketika pertumbuhan ekonomi meningkat di Indonesia, ternyata ketimpangan pendapatan yang diukur dengan indeks Gini juga meningkat, tetapi kemiskinan cenderung menurun. Dengan kata lain, makin tinggi pertumbuhan, memang jumlah dan tingkat kemiskinan cenderung menurun, tetapi ketimpangan antara si kaya dan si miskin cenderung kian lebar saat pertumbuhan semakin meningkat di Indonesia selama periode 2002-2011.
Masalah ketimpangan ini—dalam praktik—sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sumber daya alam yang melimpah seharusnya memberikan kesejahteraan masyarakat jika regulasi berpihak kepada rakyat. Namun, yang terjadi sebaliknya, kesenjangan terjadi di mana-mana. Misalnya, di daerah yang miskin dan APBD-nya rendah, para pejabat dan kepala dinas mengendarai mobil mewah dan tinggal di perumahan mewah. Tak ketinggalan, para kontraktor sebagai mitra kerja pemda juga ikut menampilkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum lagi perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi alam secara besar-besaran di daerah, masyarakat di sekitarnya hanya bisa menjadi penonton sehingga mendorong munculnya kecemburuan sosial, kesenjangan, dan berujung pada tindak kekerasan.
Dimensi Ketimpangan
Dalam studi empiris ada dua jenis ketimpangan yang menjadi pusat perhatian. Pertama, ketimpangan distribusi pendapatan antargolongan pendapatan yang diukur dengan indeks Gini dan berapa kue nasional yang dinikmati 40 persen golongan pendapatan terendah. Ketimpangan yang meningkat diukur dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang makin lebar sebagaimana tercermin dari rasio Gini yang meningkat dari 0,33 (2002) ke 0,41 (2011) (lihat Mudrajad Kuncoro, Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita?; Kompas, 15 Juni 2012).
Ironisnya, penurunan kue nasional yang dinikmati kelompok 40 persen penduduk termiskin justru diikuti kenaikan kue nasional yang dinikmati 20 persen kelompok terkaya dari 42,2 persen (2002) menjadi 48,42 persen (2011). Sementara kelompok 40 persen penduduk menengah mengalami penurunan kue nasional dari 36,9 persen (2002) menjadi 34,7 persen (2011). Ternyata ada indikasi kuat terjadi trickle-up effect, efek muncrat ke atas, dalam proses pembangunan kita.
Kedua, ketimpangan antardaerah penting untuk diteliti karena gravitasi aktivitas ekonomi Indonesia masih cenderung terkonsentrasi secara geografis ke kawasan barat Indonesia (KBI) selama lebih dari lima dasawarsa terakhir. Betapa tidak, data BPS hingga triwulan IV 2012 menunjukkan, struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 57,5 persen, diikuti Pulau Sumatera sekitar 23,9 persen. Kawasan timur Indonesia (KTI) hanya kebagian sisanya, sekitar 18,6 persen. Dengan kata lain, ketimpangan antarwilayah dan pulau terus terjadi.
Ketimpangan antardaerah di Indonesia dapat diukur dengan indeks entropi Thiel. Tren indeks entropi Indonesia selama 2001-2007 memperlihatkan bentuk kurva ”U”. Periode sebelum tahun 2003 memiliki pola menurun. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan penyebaran pangsa PDRB provinsi di Indonesia. Dengan kata lain, sampai 2003 terdapat bukti bahwa konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun, pola sebaliknya terjadi pada 2004-2007, konsentrasi spasial cenderung naik. Namun, pada 2008-2010 tren indeks entropi total kembali menurun.
Indeks entropi menawarkan beberapa kelebihan dibandingkan dengan indeks konsentrasi spasial lain. Keunggulan utama indeks ini adalah pada suatu titik waktu, indeks ini menyediakan ukuran derajat konsentrasi (ataupun dispersi) distribusi spasial pada sejumlah daerah dan subdaerah (baca: pulau dan provinsi atau provinsi dan kabupaten/kota) dalam suatu negara. Faktor penyebab tren indeks entropi total 2001-2007 berbentuk kurva ”U” adalah meningkatnya indeks entropi antarpulau, tetapi dibarengi menurunnya entropi dalam pulau selama periode 2001-2010 (lihat Mudrajad Kuncoro, Economic Geography of Indonesia: Can MP3EI Reduce Inter-Regional Inequality?, South East Asian Journal of Contemporary Business, Economics and Law, vol.2, 2013).
Hal ini mencerminkan adanya tren meningkatnya konsentrasi spasial di beberapa pulau terutama di pulau-pulau KBI, khususnya Jawa dan Sumatera. Sementara tren indeks entropi dalam satu pulau cenderung menurun. Hal yang menarik, ternyata terjadi penurunan indeks entropi dalam satu pulau secara substansial selama 2001-2010. Artinya, derajat perbedaan antarprovinsi pada setiap pulau, dilihat dari pangsa PDRB setiap provinsi, cenderung turun selama periode itu.
Faktor Kelembagaan
Teori Gunnar Myrdal menekankan proses divergen yang menyebabkan ketimpangan makin melebar. Fenomena ini dijelaskan Myrdal sebagai akibat dari proses penyebab akumulatif (cumulative causation/CC). Myrdal (1957) menyebut adanya dampak kurang menguntungkan untuk menjelaskan fenomena meningkatnya ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang. Ia berpendapat, backwash effect lebih besar daripada dampak penyebaran. Dampak penyebaran adalah dampak dari ekspansi di pusat kegiatan ekonomi ke daerah yang relatif tertinggal melalui kenaikan permintaan produk pertanian (misalnya bahan pangan), bahan baku, serta barang konsumsi yang dihasilkan industri kecil. Inilah yang minim terjadi di Indonesia karena: (1) produk pertanian dan industri masih banyak yang diimpor dari luar; (2) lemahnya keterkaitan antara usaha besar dan kecil.
Teori Myrdal tentang CC tak menyangkal adanya kemungkinan proses konvergen akibat dampak penyebaran. Penyebabnya adalah faktor-faktor ”non-ekonomi” atau kelembagaan. Karena itu, analisis proses pembangunan yang hanya menekankan faktor ekonomi menjadi kurang relevan karena faktor kelembagaan, historis, sosial, dan kultural juga berperan. Meski kinerja ekonomi pascakrisis cenderung membaik, indikator ketimpangan dan kemiskinan menunjukkan bukti adanya eksklusi sosial-ekonomi bagi kebanyakan manusia Indonesia.
Inilah ”pekerjaan rumah” tidak hanya Presiden SBY dan Kabinet Indonesia Bersatu II, tetapi juga siapa pun calon presiden RI 2014. Faktor kelembagaan, historis, sosial, dan kultural inilah agaknya yang perlu dibenahi secara lebih serius. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar