Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengatakan, pengurangan tingkat kesenjangan ekonomi rakyat Indonesia harus
menjadi prioritas pemerintahan ke depan.
Saat membuka sidang kabinet
paripurna, SBY menekankan bahwa pengurangan kemiskinan dan kesenjangan
dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah dan kepemimpinan daerah yang
tepat (Kompas, 22/1). Data yang ada menunjukkan, ketika pertumbuhan ekonomi
meningkat di Indonesia, ternyata ketimpangan pendapatan yang diukur dengan
indeks Gini juga meningkat, tetapi kemiskinan cenderung menurun. Dengan
kata lain, makin tinggi pertumbuhan, memang jumlah dan tingkat kemiskinan
cenderung menurun, tetapi ketimpangan antara si kaya dan si miskin
cenderung kian lebar saat pertumbuhan semakin meningkat di Indonesia selama
periode 2002-2011.
Masalah ketimpangan ini—dalam
praktik—sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering terjadi
di berbagai daerah di Indonesia. Sumber daya alam yang melimpah seharusnya
memberikan kesejahteraan masyarakat jika regulasi berpihak kepada rakyat.
Namun, yang terjadi sebaliknya, kesenjangan terjadi di mana-mana. Misalnya,
di daerah yang miskin dan APBD-nya rendah, para pejabat dan kepala dinas
mengendarai mobil mewah dan tinggal di perumahan mewah. Tak ketinggalan,
para kontraktor sebagai mitra kerja pemda juga ikut menampilkan gaya hidup
mewah di tengah kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Belum lagi perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi alam secara
besar-besaran di daerah, masyarakat di sekitarnya hanya bisa menjadi
penonton sehingga mendorong munculnya kecemburuan sosial, kesenjangan, dan
berujung pada tindak kekerasan.
Dimensi Ketimpangan
Dalam studi empiris ada dua jenis
ketimpangan yang menjadi pusat perhatian. Pertama, ketimpangan distribusi
pendapatan antargolongan pendapatan yang diukur dengan indeks Gini dan
berapa kue nasional yang dinikmati 40 persen golongan pendapatan terendah. Ketimpangan
yang meningkat diukur dengan ketimpangan distribusi pendapatan yang makin
lebar sebagaimana tercermin dari rasio Gini yang meningkat dari 0,33 (2002)
ke 0,41 (2011) (lihat Mudrajad Kuncoro, Kuatkah Fondasi Ekonomi Kita?;
Kompas, 15 Juni 2012).
Ironisnya, penurunan kue nasional
yang dinikmati kelompok 40 persen penduduk termiskin justru diikuti
kenaikan kue nasional yang dinikmati 20 persen kelompok terkaya dari 42,2
persen (2002) menjadi 48,42 persen (2011). Sementara kelompok 40 persen
penduduk menengah mengalami penurunan kue nasional dari 36,9 persen (2002)
menjadi 34,7 persen (2011). Ternyata ada indikasi kuat terjadi trickle-up effect, efek muncrat ke
atas, dalam proses pembangunan kita.
Kedua, ketimpangan antardaerah
penting untuk diteliti karena gravitasi aktivitas ekonomi Indonesia masih
cenderung terkonsentrasi secara geografis ke kawasan barat Indonesia (KBI)
selama lebih dari lima dasawarsa terakhir. Betapa tidak, data BPS hingga
triwulan IV 2012 menunjukkan, struktur perekonomian Indonesia secara
spasial masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan
kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 57,5 persen,
diikuti Pulau Sumatera sekitar 23,9 persen. Kawasan timur Indonesia (KTI)
hanya kebagian sisanya, sekitar 18,6 persen. Dengan kata lain, ketimpangan
antarwilayah dan pulau terus terjadi.
Ketimpangan antardaerah di
Indonesia dapat diukur dengan indeks entropi Thiel. Tren indeks entropi
Indonesia selama 2001-2007 memperlihatkan bentuk kurva ”U”. Periode sebelum
tahun 2003 memiliki pola menurun. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan
penyebaran pangsa PDRB provinsi di Indonesia. Dengan kata lain, sampai 2003
terdapat bukti bahwa konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun, pola
sebaliknya terjadi pada 2004-2007, konsentrasi spasial cenderung naik.
Namun, pada 2008-2010 tren indeks entropi total kembali menurun.
Indeks entropi menawarkan beberapa
kelebihan dibandingkan dengan indeks konsentrasi spasial lain. Keunggulan
utama indeks ini adalah pada suatu titik waktu, indeks ini menyediakan
ukuran derajat konsentrasi (ataupun dispersi) distribusi spasial pada
sejumlah daerah dan subdaerah (baca: pulau dan provinsi atau provinsi dan
kabupaten/kota) dalam suatu negara. Faktor penyebab tren indeks entropi
total 2001-2007 berbentuk kurva ”U” adalah meningkatnya indeks entropi
antarpulau, tetapi dibarengi menurunnya entropi dalam pulau selama periode
2001-2010 (lihat Mudrajad Kuncoro, Economic Geography of Indonesia: Can
MP3EI Reduce Inter-Regional Inequality?, South East Asian Journal of
Contemporary Business, Economics and Law, vol.2, 2013).
Hal ini mencerminkan adanya tren
meningkatnya konsentrasi spasial di beberapa pulau terutama di pulau-pulau
KBI, khususnya Jawa dan Sumatera. Sementara tren indeks entropi dalam satu
pulau cenderung menurun. Hal yang menarik, ternyata terjadi penurunan
indeks entropi dalam satu pulau secara substansial selama 2001-2010.
Artinya, derajat perbedaan antarprovinsi pada setiap pulau, dilihat dari
pangsa PDRB setiap provinsi, cenderung turun selama periode itu.
Faktor Kelembagaan
Teori Gunnar Myrdal menekankan
proses divergen yang menyebabkan ketimpangan makin melebar. Fenomena ini
dijelaskan Myrdal sebagai akibat dari proses penyebab akumulatif (cumulative causation/CC). Myrdal
(1957) menyebut adanya dampak kurang menguntungkan untuk menjelaskan
fenomena meningkatnya ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang.
Ia berpendapat, backwash effect lebih besar daripada dampak penyebaran.
Dampak penyebaran adalah dampak dari ekspansi di pusat kegiatan ekonomi ke
daerah yang relatif tertinggal melalui kenaikan permintaan produk pertanian
(misalnya bahan pangan), bahan baku, serta barang konsumsi yang dihasilkan
industri kecil. Inilah yang minim terjadi di Indonesia karena: (1) produk
pertanian dan industri masih banyak yang diimpor dari luar; (2) lemahnya
keterkaitan antara usaha besar dan kecil.
Teori Myrdal tentang CC tak
menyangkal adanya kemungkinan proses konvergen akibat dampak penyebaran. Penyebabnya
adalah faktor-faktor ”non-ekonomi” atau kelembagaan. Karena itu, analisis
proses pembangunan yang hanya menekankan faktor ekonomi menjadi kurang
relevan karena faktor kelembagaan, historis, sosial, dan kultural juga
berperan. Meski kinerja ekonomi pascakrisis cenderung membaik, indikator ketimpangan
dan kemiskinan menunjukkan bukti adanya eksklusi sosial-ekonomi bagi
kebanyakan manusia Indonesia.
Inilah ”pekerjaan rumah” tidak
hanya Presiden SBY dan Kabinet Indonesia Bersatu II, tetapi juga siapa pun
calon presiden RI 2014. Faktor kelembagaan, historis, sosial, dan kultural
inilah agaknya yang perlu dibenahi secara lebih serius. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar