Sabtu, 23 Maret 2013

Banyak Sisi Demokrasi


Banyak Sisi Demokrasi
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 22 Maret 2013


TIAP kali ada tayangan tentang demo besar atau keributan di mana pun yang sering menjadi ajang peristiwa macam itu, terbetik kesan masyarakat di tempat itu mudah bergerak menentang hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, apa pun alasannya. Gerakan cepat dan serampangan itu sepertinya dijadikan kebiasaan. Apakah kecenderungan tersebut berkaitan dengan karakter masyarakatnya?

Pertanyaan itu muncul ketika ada wacana kudeta terhadap pemerintahan sekarang. Sungguh celaka masyarakat bangsa ini bila dianggap memiliki karakter atau ciri preman dalam perpolitikan. Mengenai cara-cara tidak terpuji itu, dalam sejarah perpolitikan kita antara lain terjadi usaha menghalangi tokoh yang berhak naik ke panggung RI-1 atau melengserkan dan memaksa turun yang sedang berkuasa sebelum jabatannya resmi berakhir.

Kita memiliki kisah-kisah pedih tiga dari lima presiden terdahulu--Soekarno, HM Soeharto, dan KH Abdurrahman Wahid--yang penghentian mereka dari jabatan masih saja menjadi bahan kontroversial sampai sekarang. Habibie pun tidak mendapat kesempatan maju kembali menjadi presiden dan naiknya Megawati ke panggung RI-1 juga memiliki kisah tersendiri yang patut direnungkan kaum perempuan Indonesia.

Belum kapok dengan pengalaman-pengalaman tidak membanggakan itu, ada wacana pelengseran presiden sebelum pemilihan 2014. Memang kebenarannya belum dipastikan, tetapi siapa yang tidak prihatin mendengarnya? Walaupun tokoh seperti Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan menyatakan ‘siap tangkal’ untuk setiap usaha pemakzulan yang inkonstitusional, tetap saja situasinya tidak mengenakkan.

Lacurnya, walaupun baru wacana, bangkit bermacam asumsi yang mengganggu pikiran. Misalnya pemberitaan media massa telah kebablasan hingga menghebohkan keadaan. Namun ada yang meyakini sumber kekisruhan ialah pembiaran terhadap semaraknya premanisme dalam perpolitikan. Mana yang benar, biar publik yang cerdas yang menentukan.

Mencegah Gugatan

Setiap kali ada gugatan terhadap pemimpin atau mantan pemimpin, hati publik pastilah menjadi gusar. Pada umumnya, para pemimpin diharapkan menjadi tokoh hebat yang tidak kenal berbuat salah. Secara dramatis mereka dibayangkan akan mewujudkan mimpi indah. Atau paling tidak, bertindak sebagai jajaran pahlawan. Kepada merekalah cita-cita rakyat digantungkan, aspirasi rakyat ditampung dan diterjemahkan.

Malahan menurut anggapan di abad pertengahan, mereka mendapat kekuasaan yang turun dari langit, `ditakdirkan' menjadi pemimpin. Namun terbukti, bahkan sebelum mantan pun, gugatan sering diajukan. Masalahnya, usaha pencegahannya sering diabaikan.

Dalam lintasan sejarah dunia, ada saja gugatan yang dilancarkan kepada para mantan pemimpin yang dianggap bersalah. Misalnya, rakyat Filipina semula cinta luar biasa kepada Presiden Ferdinand Marcos (1965-1986) dan istrinya, Imelda. Setelah Marcos lengser, suatu kali diputuskan mengganti nama jalan-jalan di Filipina yang memakai nama Marcos dan Imelda. Begitu bencinya rakyat Filipina saat itu. Mendengar nama mereka pun rakyat tak mau.

Bagaimana prosesnya hingga ke sana? Tidak adakah yang peduli mengingatkan perilaku dan langkah-langkah Marcos sewaktu memangku jabatannya?

Kasus Korea Selatan. Pada 1993, di bawah pemerintahan Presiden Kim Young-sam, kampanye antikorupsi dilakukan, antara lain mengadili dua presiden sebelumnya, Chun Doohwan (1980-1988) dan Roh Tae-woo (1988-1993). Pada 1996 dua-duanya dinyatakan bersalah karena melakukan pengkhianatan, pemberontakan, dan korupsi. Chun dijatuhi hukuman mati yang diubah menjadi hukuman seumur hidup, sedangkan hukuman penjara untuk Roh dikurangi dari 22,5 tahun menjadi 17 tahun. Dua-duanya pada akhirnya dibebaskan Desember 1997 berkat pengampunan presiden saat itu, Kim Dae-jung. Jelas bahwa sebelumnya tidak ada sistem penangkalan terhadap pemimpin yang kebablasan.

Kasus presiden ke-37 Amerika, Richard Nixon (19691974). Nanti sejarah akan membuktikan bahwa Richard Nixon tergolong politikus ulung di zamannya. Dia berhasil merukunkan Amerika dan China, dan jasanya itu dicatat sebagai titik awal melemahnya persekongkolan komunis sedunia. Namun, Nixon sempat digugat rakyatnya dan proses pengadilannya disiarkan ke banyak negara.
Menurut ukuran kenegaraan, kesalahannya sebenarnya tidak seberapa: dia menyuruh memasang alat perekam suara di kantor pemilihan partai politik saingannya. Cacat kecil itu menodai seluruh kariernya yang besar. Lingkungan seharusnya ikut bertanggung jawab. Itulah gambaran sisi lain demokrasi.

Mengawal Para Pemain Politik

Menjelang 2014, kita tentu perlu jeli memilih para pemimpin masa depan dan perlu mengawal kendaraan yang mereka pilih, yakni partai-partai politik. Itu menjadi tugas dan kewajiban kita sebagai warga negara sebab partaipartai politik menjadi sarana penting untuk menciptakan pemerintahan demokratis.

Ada anggapan, demi kestabilan politik, perlu keseimbangan antara ketidakpedulian dan sikap yang aktif dalam kehidupan politik. Kestabilan politik dianggap demikian penting hingga sikap apatis dan nonpartisipasi politik di kalangan warga negara pada taraf tertentu bisa memberikan efek positif untuk mengimbangi sikap ekstrem.

Akan tetapi, jangan mengartikannya sebagai sikap pembiaran terhadap langkah-langkah salah. Bersikap kritis secara terukur berarti membangun. Sebaliknya, menggugat secara berlebihan bisa merugikan karena kesalahpahaman yang timbul sebagai akibatnya. Lagi-lagi pendidikan politik memang suatu keniscayaan, bahkan untuk kita yang mungkin merasa telah memahaminya. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar