TIAP kali ada tayangan tentang
demo besar atau keributan di mana pun yang sering menjadi ajang peristiwa
macam itu, terbetik kesan masyarakat di tempat itu mudah bergerak menentang
hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, apa pun alasannya. Gerakan
cepat dan serampangan itu sepertinya dijadikan kebiasaan. Apakah
kecenderungan tersebut berkaitan dengan karakter masyarakatnya?
Pertanyaan itu muncul ketika
ada wacana kudeta terhadap pemerintahan sekarang. Sungguh celaka masyarakat
bangsa ini bila dianggap memiliki karakter atau ciri preman dalam
perpolitikan. Mengenai cara-cara tidak terpuji itu, dalam sejarah
perpolitikan kita antara lain terjadi usaha menghalangi tokoh yang berhak
naik ke panggung RI-1 atau melengserkan dan memaksa turun yang sedang
berkuasa sebelum jabatannya resmi berakhir.
Kita memiliki kisah-kisah pedih tiga dari
lima presiden terdahulu--Soekarno, HM Soeharto, dan KH Abdurrahman
Wahid--yang penghentian mereka dari jabatan masih saja menjadi bahan
kontroversial sampai sekarang. Habibie pun tidak mendapat kesempatan maju
kembali menjadi presiden dan naiknya Megawati ke panggung RI-1 juga
memiliki kisah tersendiri yang patut direnungkan kaum perempuan Indonesia.
Belum kapok dengan pengalaman-pengalaman
tidak membanggakan itu, ada wacana pelengseran presiden sebelum pemilihan
2014. Memang kebenarannya belum dipastikan, tetapi siapa yang tidak
prihatin mendengarnya? Walaupun tokoh seperti Jenderal (Purn) Luhut Binsar
Panjaitan menyatakan ‘siap tangkal’ untuk setiap usaha pemakzulan yang
inkonstitusional, tetap saja situasinya tidak mengenakkan.
Lacurnya, walaupun baru wacana, bangkit
bermacam asumsi yang mengganggu pikiran. Misalnya pemberitaan media massa
telah kebablasan hingga menghebohkan keadaan. Namun ada yang meyakini
sumber kekisruhan ialah pembiaran terhadap semaraknya premanisme dalam
perpolitikan. Mana yang benar, biar publik yang cerdas yang menentukan.
Mencegah
Gugatan
Setiap kali ada gugatan terhadap pemimpin
atau mantan pemimpin, hati publik pastilah menjadi gusar. Pada umumnya,
para pemimpin diharapkan menjadi tokoh hebat yang tidak kenal berbuat
salah. Secara dramatis mereka dibayangkan akan mewujudkan mimpi indah. Atau
paling tidak, bertindak sebagai jajaran pahlawan. Kepada merekalah
cita-cita rakyat digantungkan, aspirasi rakyat ditampung dan diterjemahkan.
Malahan menurut anggapan di abad
pertengahan, mereka mendapat kekuasaan yang turun dari langit,
`ditakdirkan' menjadi pemimpin. Namun terbukti, bahkan sebelum mantan pun,
gugatan sering diajukan. Masalahnya, usaha pencegahannya sering diabaikan.
Dalam lintasan sejarah dunia, ada saja
gugatan yang dilancarkan kepada para mantan pemimpin yang dianggap
bersalah. Misalnya, rakyat Filipina semula cinta luar biasa kepada Presiden
Ferdinand Marcos (1965-1986) dan istrinya, Imelda. Setelah Marcos lengser,
suatu kali diputuskan mengganti nama jalan-jalan di Filipina yang memakai
nama Marcos dan Imelda. Begitu bencinya rakyat Filipina saat itu. Mendengar
nama mereka pun rakyat tak mau.
Bagaimana prosesnya hingga ke sana? Tidak
adakah yang peduli mengingatkan perilaku dan langkah-langkah Marcos sewaktu
memangku jabatannya?
Kasus Korea Selatan. Pada 1993, di bawah
pemerintahan Presiden Kim Young-sam, kampanye antikorupsi dilakukan, antara
lain mengadili dua presiden sebelumnya, Chun Doohwan (1980-1988) dan Roh
Tae-woo (1988-1993). Pada 1996 dua-duanya dinyatakan bersalah karena
melakukan pengkhianatan, pemberontakan, dan korupsi. Chun dijatuhi hukuman
mati yang diubah menjadi hukuman seumur hidup, sedangkan hukuman penjara
untuk Roh dikurangi dari 22,5 tahun menjadi 17 tahun. Dua-duanya pada
akhirnya dibebaskan Desember 1997 berkat pengampunan presiden saat itu, Kim
Dae-jung. Jelas bahwa sebelumnya tidak ada sistem penangkalan terhadap pemimpin
yang kebablasan.
Kasus presiden ke-37 Amerika, Richard Nixon
(19691974). Nanti sejarah akan membuktikan bahwa Richard Nixon tergolong
politikus ulung di zamannya. Dia berhasil merukunkan Amerika dan China, dan
jasanya itu dicatat sebagai titik awal melemahnya persekongkolan komunis
sedunia. Namun, Nixon sempat digugat rakyatnya dan proses pengadilannya
disiarkan ke banyak negara.
Menurut ukuran kenegaraan, kesalahannya sebenarnya tidak seberapa: dia
menyuruh memasang alat perekam suara di kantor pemilihan partai politik
saingannya. Cacat kecil itu menodai seluruh kariernya yang besar.
Lingkungan seharusnya ikut bertanggung jawab. Itulah gambaran sisi lain
demokrasi.
Mengawal
Para Pemain Politik
Menjelang 2014, kita tentu perlu jeli
memilih para pemimpin masa depan dan perlu mengawal kendaraan yang mereka
pilih, yakni partai-partai politik. Itu menjadi tugas dan kewajiban kita
sebagai warga negara sebab partaipartai politik menjadi sarana penting
untuk menciptakan pemerintahan demokratis.
Ada anggapan, demi kestabilan politik,
perlu keseimbangan antara ketidakpedulian dan sikap yang aktif dalam
kehidupan politik. Kestabilan politik dianggap demikian penting hingga
sikap apatis dan nonpartisipasi politik di kalangan warga negara pada taraf
tertentu bisa memberikan efek positif untuk mengimbangi sikap ekstrem.
Akan tetapi, jangan mengartikannya sebagai
sikap pembiaran terhadap langkah-langkah salah. Bersikap kritis secara
terukur berarti membangun. Sebaliknya, menggugat secara berlebihan bisa
merugikan karena kesalahpahaman yang timbul sebagai akibatnya. Lagi-lagi
pendidikan politik memang suatu keniscayaan, bahkan untuk kita yang mungkin
merasa telah memahaminya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar