Sabtu, 23 Maret 2013

Siapa yang Bertanggung Jawab jika Kebijakan Gagal?


Siapa yang Bertanggung Jawab jika Kebijakan Gagal?
Benny Susetyo ;  Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute
MEDIA INDONESIA, 22 Maret 2013


PERUBAHAN kurikulum yang dibuat tergesa-gesa dan terkesan hanya proyek akan menimbulkan banyak korban. Perubahan kurikulum tanpa visi jelas mengenai pendidikan akan menyesatkan anak didik. Paradigma pendidikan tidak pernah berubah, guru sekadar menjadi pawang. Itulah yang membuat orangtua menjadi cemas, mau dibawa ke mana siswa nantinya. Logika penggabungan IPA dan IPS dalam bahasa Indonesia sulit diterima nalar sehat. Visi pendidikan tidak jelas dan terkesan terburu-buru, sekadar mengejar target semata-mata.

Logika yang digunakan bukan logika rasional, melainkan logika terbalik. Logika terbalik itulah yang menyederhanakan semua persoalan dengan menggabungkan mata pelajaran IPA dan IPS serta memaksakan materi matematika direduksi bagian nilai-nilai keanekaragaman. Akibatnya, itu menimbulkan kelucuan dalam materi pelajarannya.

Sebagai contoh, kompetensi inti dan kompetensi dasar dinilai lucu dan tidak nyambung dalam matematika kelas X SMA, yang mengharuskan guru mengajarkan pengembangan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah, gotong royong, kerja sama, cinta damai, responsif, dan proaktif kepada siswa sesuai dengan kompetensi dasar bidang aljabar dan geometri.

Bagaimana hal itu bisa diintegrasikan? Rasanya agak sulit bagi guru untuk mengaitkan karena tidak ada kaitannya. Guru menjadi korban karena mereka tidak siap dan tidak mampu mengajarkan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan materi. Realitas seperti itu akan membahayakan siswa ke depan karena ketidaksiapan guru terkait dengan penguasaan materi akan menimbulkan persoalan hilangnya harapan anak kita meraih masa depan.

Persoalan yang mendasar ialah pemerintah tidak mau paham mengenai paradigma pendidikan. Selama penguasa menjadikan pendidikan bagian subordinasi politik mereka, pendidikan tidak mampu memerdekakan anak didik. Yang dibutuhkan bukan perubahan kurikulum, melainkan perubahan paradigma pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan ala Freire--yang tertuju untuk menggugah kesadaran pelaksanaan metode pendidikan yang tidak saja membebaskan, tetapi yang terpenting kembali memanusiakan manusia; menghilangkan jejak dehumanisasi yang merasuki dunia pendidikan.

Bila pembebasan sudah tercapai, pendidikan menurut Freire ialah suatu kampanye dialogis sebagai suatu usaha pemanusiaan secara terusmenerus. Pendidikan bukan hanya menuntut ilmu, melainkan juga bertukar pikiran dan saling mendapatkan ilmu (kemanusiaan) yang merupakan hak bagi semua. Kunci dari pendidikan ialah membebaskan dan kemudian memanusiakan. Ruang publik kita hanya diisi kaum petualang yang menggunakan gelar hebat, tapi tidak isinya.

Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media. Akan tetapi, realitasnya, polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi keberdayaan. Hal itu terjadi karena kita sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta.

Akar persoalannya bisa kita lacak, setidak-tidaknya dari karakter sistem pendidikan yang diselenggarakan. Kita melihat pendidikan dalam bangsa ini hanya menjadi instrumen kekuasaan politik. Pendidikan disubordinasikan dalam kekuasaan politik dan menghasilkan manusia yang hanya pandai ikut-ikutan.

Mereka bagaikan robot yang dikendalikan remote control, yakni pemegang kekuasaan dan pemilik modal, melalui ideologi penyeragaman. Itu membuat mereka hanya mampu menunggu petunjuk dan pedoman dari atas.

Kreativitas mereka minim. Akibatnya, birokrasi menjadi lambat dalam merespons perubahan.
Ketidakmampuan itu disebabkan ketidakberdayaan mereka untuk keluar dari kultur lama; kemandirian individu direduksi menjadi ketaatan buta yang dikendalikan sistem penyeragaman. Itu membuat gerbang reformasi terseok-seok, yang disebabkan ketidakberdayaan untuk merespons perubahan yang begitu cepat.

Revolusi Paradigm Pendidikan

Selama revolusi pendidikan tidak dijalankan, jangan berharap lahir manusia Indonesia yang bermutu. Revolusi pendidikan perlu segera dijalankan dengan mengubah orientasi pendidikan dari watak elitis, yakni hanya mengejar-ngejar gelar, pangkat, dan kedudukan tanpa memperhatikan pembentukan karakter manusianya.

Dengan mengabaikan hal itu, berarti pendidikan sekadar transfer ilmu sehingga lepas dari moralitas. Realitas proses pendidikan yang membebaskan hanya bisa terwujud bila birokrasi pendidikan mengubah paradigma pendidikan bukan semata-mata sebagai alat politik kekuasaan. Pendidikan harus menentukan arah politik bangsa ini. Di sinilah pentingnya seorang pemimpin yang memiliki visi yang jelas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun yang terjadi, pemimpin kita menjadikan perubahan kurikulum sekadar proyek. Akibatnya, perubahan kurikulum 2013 dipastikan akan gagal karena secara substansi, guru tidak akan mampu menjalankan kurikulum baru.

Anggaran Rp2,49 triliun yang dikeluarkan pemerintah akan sia-sia karena tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Itu malah membuat pendidikan semakin terpuruk dan menghancurkan generasi yang akan datang. Perlu mekanisme perubahan kurikulum yang sistematis dan jelas, serta harus diatur dalam peraturan perundangan dengan tidak melanggar peraturan  perundangan yang levelnya lebih tinggi. Siapa yang akan bertanggung jawab jika kebijakan tersebut gagal? ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar