Sabtu, 23 Maret 2013

Paus Baru dan Teologi Pembebasan Kaum Miskin


Paus Baru dan Teologi Pembebasan Kaum Miskin
Tom Saptaatmaja ;  Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul
KORAN TEMPO, 22 Maret 2013


Paus baru, yang memakai nama Fransiskus I, harus menginspirasi kita untuk melakukan praksis perubahan, yakni pembebasan kaum miskin, bukan malah memperkaya diri sendiri. 
Takhta Suci Vatikan akhirnya mempunyai paus baru, yang berhasil dipilih oleh 115 kardinal pada sidang konklaf pada Kamis dinihari (14 Maret) pukul 01.00 WIB. Sosok paus baru ini bernama asli Jorge Mario Bergoglio, yang lahir pada 17 Desember 1936 dan sebelumnya menjadi Uskup Agung Buenos Aires, Argentina (periode 1998-2012). Dialah paus pertama dari Amerika Latin. Sementara Santo Petrus adalah paus pertama, Bergoglio adalah paus ke-266. Bergoglio memilih nama Paus Fransiskus I. (Tempo.co, 14 Maret).
Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan para pemimpin dunia menyampaikan ucapan selamat, disusul ucapan serupa dari para pemimpin dunia. Kini ratusan ribu umat Katolik sedunia terus membanjiri Vatikan, menyambut puas baru. Ratusan ribu warga Argentina turun ke jalan, dan jutaan lainnya merasakan sukacita seperti ketika Diego Maradona menjuarai Piala Dunia 1986 di Meksiko. Maklum, baru kali ini ada paus dari negeri itu, bahkan Obama pun menyebut Paus Fransiskus I sebagai paus pertama dari Amerika.
Profil dan Minatnya
Bergoglio adalah anak pertama dari lima bersaudara. Meski telah memegang gelar master di bidang kimia dari Universitas Buenos Aires, dia justru lebih memilih masuk seminari dan mengabdikan hidupnya sebagai pastor atau pelayan umat. Dia melayani sebagai pastor pada 1973, lalu menjadi rektor seminari San Miguel hingga 1986, dan puncaknya menjadi Uskup Agung Buenos Aires sampai 2012. Dia mengundurkan diri dari jabatan tersebut karena pertimbangan usia. Bergoglio dipromosikan menjadi kardinal pada 2001, dan dalam sidang Konklaf 2004 yang memilih Ratzinger menjadi Paus Benediktus, Bergoglio meraih suara terbanyak. Barulah dalam sidang Konklaf 2013, dia terpilih sebagai paus baru.
Meski banyak hal bisa ditulis tentang paus baru, penulis tertarik mengelaborasi mengapa Bergoglio memilih nama Fransiskus dan mencari relevansinya bagi kita di Indonesia. Sebagaimana diketahui, paus berdarah Italia dan berkebangsaan Argentina itu memilih nama Fransiskus. Ada beberapa nama penting dalam sejarah gereja bernama Fransiskus. Boleh jadi, ada sebagian kalangan berspekulasi, nama Fransiskus dikaitkan dengan Fransiskus Xaverius, pendiri Ordo Jesuit yang pernah mengabarkan Injil sampai di Nusantara. 
Namun pakar soal Vatikan, John Allen, sebagaimana dikutip CNN, berpendapat bahwa nama Fransiskus ini merujuk pada salah satu tokoh yang paling dihormati di Gereja Katolik, yakni Santo Fransiskus dari Asisi, yang hidup pada abad XIII di Italia. Orang suci ini dikenal sebagai pelindung hewan dan hidup dalam kemiskinan. Menurut Allen, pilihan nama ini sangat menakjubkan. Fransiskus selama ini menjadi lambang untuk kemiskinan, kerendah-hatian, kesederhanaan, dan pembangunan kembali Gereja Katolik. 
Pilihan nama Fransiskus seakan juga memiliki kemiripan dengan hidup Sang Uskup Agung Buenos Aires (untuk periode 1998-2012), yang juga dikenal rendah hati dan sederhana. Meski bisa tinggal di kediaman Uskup Agung yang fasilitasnya tentu lebih baik, Bergoglio memilih tinggal di apartemen kecil dan tiap hari berangkat ke kantornya dengan naik angkutan umum (bus).
Khotbah-khotbahnya memang kerap menyikapi dengan kritis kebijakan pemerintah yang kerap hanya ramah kepada yang punya modal dan abai terhadap yang kecil. Di Argentina, sebagaimana di negeri kita, segelintir orang kaya bisa memiliki kekayaan sangat berlimpah, di tengah kondisi kebanyakan rakyat hidup dalam kemiskinan. Paus baru sejak lama sudah mengkaulkan hidup miskin dan memihak kaum miskin (option for the poor). Populorum Progressio atau Ajaran Sosial Gereja artikel 23 sungguh menjadi spiritualitasnya: "Barangsiapa memiliki harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya, maka kasih Allah tidak akan tinggal dalam dirinya." 
Praksis Pembebasan
Nah, menyimak hal itu, jelas paus baru ini amat dipengaruhi oleh Teologi Pembebasan. Teologi ini pertama kali lahir dalam latar belakang kaum miskin di Amerika Latin pada dekade 1960-an dan 1970-an, serta terjadi dalam lingkup Gereja Katolik. Titik aksentuasi dalam teologi pembebasan adalah praksis pembebasan. Beda teologi pembebasan dengan teologi lainnya memang terletak pada praksis (teori dan praktek) pembebasan ini. Jadi, kita diajak melakukan praktek pembebasan secara nyata dan tidak berhenti pada wacana, di tengah kesenjangan sosial yang sangat menganga.
Menurut teolog pembebasan dari San Salvador Ignacio Illacuria, teologi pembebasan memang bisa memberi solusi untuk pemecahan problem-problem kemanusiaan. Sebab, kontribusi teologi pembebasan pertama-tama bukan dalam ranah politik, melainkan dalam ranah kritik profetisnya (baca Martin Maier: "Theologie de Befreiung", dalam "Stimmen der Zeit", 1991, halaman 711-712).
Jelas teologi pembebasan ini amat relevan dengan kondisi negeri kita hari-hari ini. Maka, para pejabat gereja dan umat Katolik Indonesia diingatkan akan tanggung jawabnya untuk melakukan praksis pembebasan seiring terpilihnya paus baru kali ini. Jika di Argentina, semasa menjadi uskup agung, Bergoglio kritis terhadap pemerintah sebagaimana disebutkan di atas, di negeri ini pesan profetis semacam itu juga harus terus disuarakan.
Dengan kata lain, kita tidak boleh diam ketika di tengah kegaduhan politik yang hanya dipenuhi korupsi dan kemunafikan dari segenap elite kita yang sejahtera, nasib kaum miskin justru kian sengsara. Meski dalam kunjungan ke Jerman baru-baru ini Presiden SBY seolah berbangga akan pertumbuhan ekonomi lewat jargon "The Indonesian Way", kita jangan menutup mata atas adanya fakta mengenaskan di sekitar kita. 
Di tengah impian menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, warga miskin di negeri ini sama sekali tidak punya akses ke sektor ekonomi yang terus bertumbuh. Pertumbuhan dan keuntungan dari pertumbuhan itu hanya bisa dinikmati oleh mereka yang kuat. Di tengah meningkatnya kekayaan orang kaya, makin banyak orang miskin baru. Di tengah naiknya angka penjualan mobil atau rumah mewah serta banjir apartemen di Surabaya, masih ada kasus gizi buruk terjadi. Kesenjangan sosial masih menyesakkan. Itulah ironi ekonomi kita yang neoliberal, sehingga memungkinkan mereka yang kuat semakin berjaya, sementara yang miskin kian terimpit akibat dicabutnya berbagai subsidi untuk mereka. Mekanisme pasar bebas hanya ramah kepada yang berdaya beli, sementara warga miskin hanya bisa gigit jari. 
Paus baru, yang memakai nama Fransiskus I, harus menginspirasi kita untuk melakukan praksis perubahan, yakni pembebasan kaum miskin, bukan malah memperkaya diri sendiri. Mari menjadikan pesan teolog pembebasan Gustavo Gutierez, "Beriman kepada Tuhan berarti mempraktekkan keadilan", sebagai pegangan.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar