Selasa, 19 Maret 2013

Alternatif “Giant Sea Wall”


Alternatif “Giant Sea Wall”
Muslim Muin  ;  Ketua Kelompok Teknik Kelautan Institut Teknologi Bandung
KOMPAS, 19 Maret 2013
  

Keputusan mempercepat pembangunan giant sea wall Jakarta menjadi 2014 sangat mengejutkan. Keputusan bersama Menko Perekonomian, Menteri Perhubungan, Menteri PU, dan gubernur tiga wilayah (Jakarta, Jawa Barat, Banten) perlu dikaji ulang.

Giant sea wall adalah sebuah tanggul laut raksasa yang membentengi Teluk Jakarta. Proyek dengan panjang 30 kilometer dan bernilai di atas Rp 200 triliun tersebut dirancang untuk mengatasi banjir akibat kenaikan permukaan air laut, membersihkan air sungai sebelum ke laut, dan reklamasi pantai.
Namun, sebagai seorang ahli teknik kelautan, penulis tidak sependapat dengan keputusan itu. Tanggul laut raksasa adalah proyek salah kaprah karena akan lebih banyak merugikan.

Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa karena tidak ada banjir dari laut. Kalaupun terjadi rob, itu lebih disebabkan penurunan muka tanah, bukan perubahan muka air laut.

Sebaliknya, tanggul laut raksasa akan memperparah banjir di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Kehadiran tanggul laut akan memperpanjang alur sungai sehingga memperlambat aliran air. Belum lagi peningkatan laju sedimentasi karena menurunnya kecepatan aliran air. Dengan demikian, selain banjir juga terjadi percepatan pendangkalan sungai yang perlu biaya pengerukan rutin besar.

Dampak lain adalah penutupan dua pelabuhan perikanan Nusantara. Ribuan nelayan harus dipindahkan. Pembangkit Listrik Muara Karang juga harus ditutup karena aliran air pendingin tidak lagi tersedia. Kalaupun dipertahankan, biaya operasinya sangat besar karena memerlukan pompa yang berjalan terus.

Tanggul laut raksasa yang direncanakan dalam sistem tertutup membuat air tidak mengalir. Karena itu, kualitas lingkungan Laut Jakarta akan rusak.

Awal Mula

Muka air laut dipengaruhi pasang surut, tsunami, badai, dan pemanasan global. Fluktuasi muka air laut di Jakarta lebih banyak dipengaruhi pasang surut.

Jakarta berada pada perairan dangkal dan terlindung dari tsunami. Ancaman tsunami untuk Teluk Jakarta berasal dari Selat Sunda (Gunung Krakatau). Sebelum merambat ke Laut Jawa, tsunami harus melalui Selat Sunda yang sempit dan dangkal sehingga sebagian energi hilang. Gelombang tsunami yang merambat di Teluk Jakarta juga sangat kecil karena berada dalam daerah terlindung.

Posisi Teluk Jakarta sangat jauh dari pusat badai di Laut China Selatan. Perubahan muka air laut akibat badai akan lebih besar dampaknya di Malaysia dan Kalimantan dibanding di Jakarta.
Pemanasan global tidak hanya mengancam Jakarta, tetapi juga kota-kota lain di dunia. Kelihatan sekali pejabat DKI memperlakukan Jakarta sebagai kota cengeng yang tidak terurus dan diperbodoh konsultan asing.

Jadi, Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa.

Usulan Belanda

Tanggul laut raksasa adalah proyek peninggalan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, diusulkan konsultan Belanda. Mereka menyebutnya Sea Dike Plan Tahap III, dibangun tahun 2020-2030. Sesuai permintaan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Joko Widodo, Menko Perekonomian setuju mempercepat ide ini langsung pada tahap III tanpa melalui tahap I dan II.

Peta tata letak menunjukkan, tanggul laut raksasa Jakarta tidak sama dengan Palm Island Project di Dubai yang jadi acuan Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Tanggul laut raksasa dirancang dalam sistem tertutup sehingga tidak terjadi putaran aliran air yang akan memperburuk kualitas perairan Jakarta.

Juga tidak tampak akses keluar untuk Pelabuhan Perikanan Nusantara sehingga fasilitas yang sangat penting ini harus ditutup. Karena itu, keputusan untuk mempercepat proyek tanggul laut raksasa perlu dikaji ulang.

Selain akan berdampak pada sulitnya Pembangkit Listrik Muara Karang mendapatkan air pendingin, ditutupnya Teluk Jakarta juga menyulitkan jalur pipa untuk pasokan gas dan minyak. Karena itu, sekali lagi, rencana ini harus dikaji saksama. Pipa yang ada belum tentu mampu menahan beban tanggul, apalagi mengantisipasi risiko penurunan tanah di tanggul itu.

Aliran Sungai

Mari kita lanjutkan uraian dengan melihat skema aliran air sungai ke laut setelah tanggul laut raksasa dibangun. Dari tata letak yang disajikan dalam laporan Jakarta Coastal Defense Strategy, tampak bahwa untuk mempertahankan muka air di dalam tanggul diperlukan pompa yang harus bekerja tanpa henti.

Bila pompa rusak, Jakarta akan tenggelam. Ini bila kita menggunakan skenario terburuk laju penurunan 10 cm per tahun. Diperkirakan, penurunan muka tanah sepanjang 2010-2030 adalah sekitar 2 meter.
Tinggi Sea Dike 3 ternyata tak sesuai. Kenyataannya, Sea Dike 3 akan dibangun pada kedalaman lebih dari 8 meter, tak hanya 3 meter seperti yang disampaikan konsultan Belanda. Karena itu, Pemerintah Indonesia harus hati-hati mengkaji ide ini.

Jika ukuran Sea Dike 3 disesuaikan dengan kedalaman air di jalur tanggul laut raksasa tampaklah ukuran tanggul laut raksasa sangat besar bila dibandingkan dengan hanya membuat tanggul di sepanjang pantai yang, menurut saya, merupakan solusi lebih masuk akal dan murah. Tentu saja ketinggian tanggul disesuaikan laju penurunan tanah.

Dari segi biaya, pembuatan tanggul jauh lebih murah. River dike versi penulis hanya lebih tinggi 1 meter dibandingkan river dike versi konsultan Belanda. River dike yang lebih tinggi juga berarti menampung air tawar lebih banyak.

Pembaca bisa melihat dengan jelas, sistem yang saya usulkan tak memerlukan pompa untuk mengalirkan air sungai ke laut karena memanfaatkan gravitasi.
Tanggul sepanjang pantai tidak memerlukan pompa untuk mengalirkan air sungai ke laut. Murah dan tidak perlu menutup fasilitas yang sudah ada.

Sekali lagi bisa disimpulkan, Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa. Jakarta cukup membuat tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan tanah dan mempertinggi tanggul sungai. Jakarta harus segera melarang reklamasi pantai karena akan memperparah banjir di kawasannya.● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar