Keputusan mempercepat pembangunan giant
sea wall Jakarta menjadi 2014 sangat mengejutkan. Keputusan bersama
Menko Perekonomian, Menteri Perhubungan, Menteri PU, dan gubernur tiga
wilayah (Jakarta, Jawa Barat, Banten) perlu dikaji ulang.
Giant sea wall adalah
sebuah tanggul laut raksasa yang membentengi Teluk Jakarta. Proyek dengan
panjang 30 kilometer dan bernilai di atas Rp 200 triliun tersebut dirancang
untuk mengatasi banjir akibat kenaikan permukaan air laut, membersihkan air
sungai sebelum ke laut, dan reklamasi pantai.
Namun, sebagai seorang ahli teknik kelautan, penulis tidak sependapat
dengan keputusan itu. Tanggul laut raksasa adalah proyek salah kaprah
karena akan lebih banyak merugikan.
Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa karena tidak ada banjir
dari laut. Kalaupun terjadi rob,
itu lebih disebabkan penurunan muka tanah, bukan perubahan muka air laut.
Sebaliknya, tanggul laut raksasa akan memperparah banjir di Jakarta,
Bekasi, dan Tangerang. Kehadiran tanggul laut akan memperpanjang alur
sungai sehingga memperlambat aliran air. Belum lagi peningkatan laju
sedimentasi karena menurunnya kecepatan aliran air. Dengan demikian, selain
banjir juga terjadi percepatan pendangkalan sungai yang perlu biaya
pengerukan rutin besar.
Dampak lain adalah penutupan dua pelabuhan perikanan Nusantara.
Ribuan nelayan harus dipindahkan. Pembangkit Listrik Muara Karang juga
harus ditutup karena aliran air pendingin tidak lagi tersedia. Kalaupun
dipertahankan, biaya operasinya sangat besar karena memerlukan pompa yang
berjalan terus.
Tanggul laut raksasa yang direncanakan dalam sistem tertutup membuat
air tidak mengalir. Karena itu, kualitas lingkungan Laut Jakarta akan
rusak.
Awal Mula
Muka air laut dipengaruhi pasang surut, tsunami, badai, dan pemanasan
global. Fluktuasi muka air laut di Jakarta lebih banyak dipengaruhi pasang
surut.
Jakarta berada pada perairan dangkal dan terlindung dari tsunami.
Ancaman tsunami untuk Teluk Jakarta berasal dari Selat Sunda (Gunung
Krakatau). Sebelum merambat ke Laut Jawa, tsunami harus melalui Selat Sunda
yang sempit dan dangkal sehingga sebagian energi hilang. Gelombang tsunami
yang merambat di Teluk Jakarta juga sangat kecil karena berada dalam daerah
terlindung.
Posisi Teluk Jakarta sangat jauh dari pusat badai di Laut China
Selatan. Perubahan muka air laut akibat badai akan lebih besar dampaknya di
Malaysia dan Kalimantan dibanding di Jakarta.
Pemanasan global tidak hanya mengancam Jakarta, tetapi juga kota-kota
lain di dunia. Kelihatan sekali pejabat DKI memperlakukan Jakarta sebagai
kota cengeng yang tidak terurus dan diperbodoh konsultan asing.
Jadi, Jakarta tidak memerlukan tanggul laut raksasa.
Usulan Belanda
Tanggul laut raksasa adalah proyek peninggalan Gubernur DKI Jakarta
Fauzi Bowo, diusulkan konsultan Belanda. Mereka menyebutnya Sea Dike Plan Tahap III, dibangun
tahun 2020-2030. Sesuai permintaan Gubernur DKI Jakarta yang baru, Joko
Widodo, Menko Perekonomian setuju mempercepat ide ini langsung pada tahap
III tanpa melalui tahap I dan II.
Peta tata letak menunjukkan, tanggul laut raksasa Jakarta tidak sama
dengan Palm Island Project di
Dubai yang jadi acuan Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama. Tanggul
laut raksasa dirancang dalam sistem tertutup sehingga tidak terjadi putaran
aliran air yang akan memperburuk kualitas perairan Jakarta.
Juga tidak tampak akses keluar untuk Pelabuhan Perikanan Nusantara
sehingga fasilitas yang sangat penting ini harus ditutup. Karena itu,
keputusan untuk mempercepat proyek tanggul laut raksasa perlu dikaji ulang.
Selain akan berdampak pada sulitnya Pembangkit Listrik Muara Karang
mendapatkan air pendingin, ditutupnya Teluk Jakarta juga menyulitkan jalur
pipa untuk pasokan gas dan minyak. Karena itu, sekali lagi, rencana ini
harus dikaji saksama. Pipa yang ada belum tentu mampu menahan beban
tanggul, apalagi mengantisipasi risiko penurunan tanah di tanggul itu.
Aliran Sungai
Mari kita lanjutkan uraian dengan melihat skema aliran air sungai ke
laut setelah tanggul laut raksasa dibangun. Dari tata letak yang disajikan
dalam laporan Jakarta Coastal Defense
Strategy, tampak bahwa untuk mempertahankan muka air di dalam tanggul
diperlukan pompa yang harus bekerja tanpa henti.
Bila pompa rusak, Jakarta akan tenggelam. Ini bila kita menggunakan
skenario terburuk laju penurunan 10 cm per tahun. Diperkirakan, penurunan
muka tanah sepanjang 2010-2030 adalah sekitar 2 meter.
Tinggi Sea Dike 3 ternyata tak sesuai. Kenyataannya, Sea Dike 3 akan
dibangun pada kedalaman lebih dari 8 meter, tak hanya 3 meter seperti yang
disampaikan konsultan Belanda. Karena itu, Pemerintah Indonesia harus
hati-hati mengkaji ide ini.
Jika ukuran Sea Dike 3 disesuaikan dengan kedalaman air di jalur
tanggul laut raksasa tampaklah ukuran tanggul laut raksasa sangat besar
bila dibandingkan dengan hanya membuat tanggul di sepanjang pantai yang,
menurut saya, merupakan solusi lebih masuk akal dan murah. Tentu saja
ketinggian tanggul disesuaikan laju penurunan tanah.
Dari segi biaya, pembuatan tanggul jauh lebih murah. River dike versi penulis hanya lebih
tinggi 1 meter dibandingkan river
dike versi konsultan Belanda. River
dike yang lebih tinggi juga berarti menampung air tawar lebih banyak.
Pembaca bisa melihat dengan jelas, sistem yang saya usulkan tak
memerlukan pompa untuk mengalirkan air sungai ke laut karena memanfaatkan
gravitasi.
Tanggul sepanjang pantai tidak memerlukan pompa untuk mengalirkan air
sungai ke laut. Murah dan tidak perlu menutup fasilitas yang sudah ada.
Sekali lagi bisa disimpulkan, Jakarta tidak memerlukan tanggul laut
raksasa. Jakarta cukup membuat tanggul sepanjang pantai pada daerah yang
mengalami penurunan tanah dan mempertinggi tanggul sungai. Jakarta harus
segera melarang reklamasi pantai karena akan memperparah banjir di
kawasannya.●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar