Rabu, 02 Januari 2013

Tahun Start Kode Etik Guru


Tahun Start Kode Etik Guru
Ki Supriyoko ; Guru besar, Wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang 
JAWA POS,  02 Januari 2013



SEJARAH pendidikan nasional kita akan mencatat tahun 2013 ini sebagai tahun kode etik guru. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi guru terbesar di Indonesia bertekad menjalankan kode etik profesi mulai 2013 ini. Mengikat diri dalam kode etik merupakan salah satu ciri profesionalitas.

Harus diakui, PGRI bukan satu-satunya organisasi guru di Indonesia. Di luar PGRI, masih terdapat belasan bahkan puluhan organisasi guru. Sebut saja, Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Serikat Guru Seluruh Indonesia (SGSI), dan Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI).

Meski terdapat banyak organisasi guru, belum ada satu pun yang sudah menjalankan kode etik profesi. Jadi, kalau PGRI memulai menjalankan kode etik profesi pada 2013 ini, nama mereka pasti akan tercatat dalam sejarah pendidikan nasional kita.

Kewajiban Undang-Undang 

Apakah dijalankannya kode etik profesi oleh PGRI itu mendapat dukungan pemerintah? Setahu saya, PGRI tidak pernah ''merengek-rengek'' minta dukungan pemerintah. Sebab, menjalankan kode etik bagi anggota menjadi hak PGRI itu sendiri. Namun, saya percaya, sebagai organisasi yang santun, PGRI tentu sudah berkoordinasi dengan pemerintah dalam menjalankan kode etik bagi anggotanya.

Di luar itu, menjalankan kode etik sejalan dengan ketentuan perundangan, yaitu UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam pasal 43 ayat (1) dinyatakan, untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan serta martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik (profesi). Dalam ayat (2) dinyatakan, kode etik berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan.

Kode Etik Guru Indonesia yang dibentuk PGRI terdiri atas 6 bagian dan 11 pasal (www.pgri.or.id/kode-etik/organisasi/kode-etik/kode-etik-guru-indonesia). Kode etik itu secara keseluruhan mengatur hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan guru untuk menjaga keprofesionalan dalam menjalankan tugas profesinya.

Di dalam Kode Etik Guru Indonesia, diatur jelas bagaimana seharusnya hubungan yang harus dilakukan guru dengan tujuh unsur yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan profesi mereka. Adapun tujuh hubungan yang dimaksud itu adalah hubungan guru dengan (1) peserta didik, (2) orang tua atau wali murid, (3) masyarakat, (4) sekolah dan rekan sejawat, (5) profesi, (6) organisasi profesinya, dan (7) pemerintah.

Asumsinya, bila setiap guru bisa menjaga hubungan dengan tujuh unsur tersebut secara profesional, keprofesionalan guru bisa dipertahankan, bahkan dikembangkan. 

Ambil contoh hubungan dengan peserta didik pada pasal 6 ayat (1) butir d yang menyebutkan, guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.

Seandainya guru menjalankan ketentuan tersebut, hasilnya akan optimal. Yakni, guru mencari informasi mengenai kemampuan dasar masing-masing peserta didik untuk menerima pembelajaran, siapa saja yang kemampuannya rendah, kemampuannya sedang, dan kemampuannya tinggi. Selanjutnya, memberikan pelayanan pembelajaran yang proporsional menurut kemampuan dasar siswa.

Kualitas Pendidikan 

Bahwa dijalankannya Kode Etik Guru Indonesia untuk menjaga keprofesionalan guru kiranya tidak terbantahkan. Hal itu sama dengan dijalankannya Kode Etik Advokat Indonesia untuk menjaga keprofesionalan pengacara, Kode Etik Kedokteran Indonesia untuk menjaga keprofesionalan dokter, dan sebagainya.

Jumlah guru di Indonesia sekarang mencapai 2,9 juta orang. Kalau mereka mau menjalankan kode etik, keprofesionalan guru akan terjaga yang ujung-ujungnya mampu meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Sama halnya dengan dokter yang keprofesionalannya terjaga dan bisa meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat secara nasional.

Peningkatan kualitas pendidikan sudah tentu tidak bisa terjadi secara instan. Sebab, menjalankan kode etik guru juga tidak bisa secara ''cepat saji''. Namun, perlu dimulai dari tahap sosialisasi yang juga memerlukan waktu tidak pendek. Mengingat, sebagian guru di Indonesia tinggal di daerah ''remote'' (pelosok) dengan teknologi informasi yang belum memadai.

Kualitas pendidikan bukan hanya tanggung jawab PGRI, tapi tanggung jawab kita semua. Artinya, sebenarnya keberhasilan dijalankannya kode etik guru bukan menjadi tanggung jawab PGRI saja, tapi tanggung jawab kita semua. Salah satu peran intinya ada pada guru.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar