Membersihkan
Sampah Negara Hukum
Sudjito ; Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum
UGM
|
SINDO,
02 Januari 2013
Saya wajib
memberi apresiasi kepada istri dan anak yang memanfaatkan libur panjang untuk
bersih-bersih rumah. Sampah dan tumpukan kertas berdebu dibuang.
Ruang perpustakaan menjadi rapi,enak dan nyaman untuk bekerja di rumah. Menjadi prinsip dan kesepakatan keluarga, tak perlu banyak aturan di rumah. Bergantung pada hukum Ilahiah dan hukum alam, kami berinteraksi, hidup produktif, dan menyelesaikan masalah tanpa masalah. Malam minggu, ada undangan hajatan.Jarak tempuh sekitar 8 km, biasanya butuh waktu sekitar 15 menit menjadi sekitar satu jam. Kini Yogya sudah kurang ”berhati nyaman”,macet dan semrawut tak terelakan. Yogya hampir sama dengan Jakarta soal kemacetan. Motor dan mobil merupakan ”sampah lalu lintas”. Untuk membersihkannya perlu kebijakan cepat dan tepat agar kemacetan tidak semakin parah sehingga martabat Kota Yogya terjaga. Sehari setelah Natal, driver saya bergembira-ria. Jalanan lengang. Tak ada kemacetan. Dari rumah sampai kantor cuma sepuluh menit. Maklum, separuh penduduk Yogya (mahasiswa dan pelajar) libur. Terbayangkan, alangkah nyaman bila suasana lengang dapat dipertahankan.Saya sadar, impian itu dapat menjadi kenyataan hanya bila ada pembatasan jumlah kendaraan agar seimbang dengan ruas jalan yang tersedia. Dalam obrolan santai,driver saya bercerita pengalamannya ikut menjaga konser grup band terkemuka Slank di Stadion Kridosono. Diceritakan,mayoritas fans Slank adalah anak muda dari berbagai kota. Mereka datang tanpa bekal cukup. Tidur di emperan toko.Makan pun minta-minta. Wajah lesu dan terkesan ”angker” menjadikan warung-warung memilih tutup karena khawatir diserbu tanpa bayar. Jangan salahkan mereka. Realitas ini mengundang keprihatinan sosial, masihkah mereka memiliki masa depan? Alih-alih menjadi pahlawan bangsa, tidak menjadi ”sampah masyarakat”, beban dan parasit kehidupan sudah baik. Adalah kewajiban kita untuk peduli kepada fakirmiskin, anak telantar, gelandangan, agar mereka hidup layak. Sampai di kantor, pekerjaan rutin dimulai dengan menyimak hal-hal yang wajib diselesaikan segera. Supaya tidak ketinggalan informasi, warta elektronik pun saya simak melalui internet. Ada hal-hal menarik. Kasus-kasus hukum, bencana banjir, kegaduhan politik sampai prestasi olah raga di berbagai negara. Secara kuantitas terkesan kehidupan ini lebih banyak ”hitam-kelam” daripada ”cerah-meriah”. Adakah gejala ini tanda kemunduran peradaban manusia karena banyaknya ”sampah kehidupan”? Setiap kali pergantian tahun, ada nasihat agar kita memiliki semangat baru untuk memperbaiki kehidupan. Diingatkan pula agar dalam merayakan pergantian tahun bukan sekadar menggelar pesta kembang api atau pesta terompet sampai pagi hari, tetapi selayaknya diisi dengan introspeksi, karya nyata, dan prestasi. Sebagai bangsa beradab dan religius, waktu merupakan refleksi kehidupan dunia yang wajib dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Kita yakin kebenaran kata-kata hikmah: adalah orang yang merugi jika hari ini sama dengan hari kemarin dan hari esok lebih buruk daripada hari ini dan kamu akan termasuk kaum yang beruntung jika hari ini lebih baik daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Terkandung makna bahwa pergantian tahun bukan sekadar perputaran jarum jam atau pergantian angkaangka di kalender,tetapi ada pertanggungjawaban tentang karya dan prestasi yang telah diraih dan planning kehidupan ke depan. Kehidupan akan berubah menjadi lebih baik apabila setiap jiwa bangsa mendermakan kekuatan (batin dan lahir) bagi kemaslahatan kehidupan. Karya nyata bisa dimulai dari persoalan sederhana di rumah, di jalan, di masyarakat ataupun di dalam kehidupan bernegara. Kenyamanan rumah tangga, tertib berlalu-lintas, membuang sampah pada tempatnya, meningkatkan kepedulian sosial merupakan fondasi terwujudnya kehidupan lebih baik. Istri,anak,dan saya sepakat: pekerjaan itu dimulai sekarang, tidak perlu menunggu pergantian tahun. Diproyeksikan ke dalam negara hukum, tersirat perlunya negara ini dibersihkan dari ”sampah-sampah” kehidupan; kemudian diikuti perapian sistem hukum (baik substansi, struktur maupun budaya) agar perjalanan bangsa menjadi lancar dan kehidupan menjadi nyaman. Dalam perspektif ilmu hukum, yang tercakup dalam pengertian ”sampah negara hukum” antara lain sebagai berikut. Pertama, perundang-undangan yang cacat filosofis dan cacat ideologis. Beban Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator ke depan semakin berat menghadapi lajunya inflasi ”sampah perundang-undangan”. Untuk membersihkan implikasi negatif (penyakit) yang bersumber dari sampah perundang-undangan perlu pemberlakuan sistem legislasi baru yang progresif. Pancasila perlu dimantapkan kedudukannya sebagai paradigma ilmu dan hukum Indonesia. Kedua, lembaga negara independen yang berbau neoliberal. Disertasi Zainal A Mochtar (2012) mengungkapkan bahwa di negeri ini banyak lembaga independen yang lahir melalui proses reformasi, tetapi cenderung meminimalkan peran representasi warga negara menuju ke arah penentuan kebijakan oleh pasar melalui lembaga donor internasional. Untuk menjaga kedaulatan hukum sekaligus meminimalisasi implikasi negatifnya, “sampah-sampah hukum” itu perlu dipangkas dari struktur kenegaraan. Ketiga, pejabat negara dan politikus yang terlibat korupsi, mafia narkoba, dan perbuatan asusila. Perilaku pejabat dan politikus merupakan tumpuan utama dalam menjalankan dan menegakkan hukum. Perang terhadap kemungkaran merupakan wajib ‘ain dan menjadi efektif bila dilakukan berjamaah. Menindak tegas tanpa pandang bulu bagi pelakunya, diikuti pembudayaan kebajikan (ma’rufat) merupakan strategi mujarab untuk membersihkan lembaga negara dari anasir korup dan asusila. Tak akan ada malaikat turun ke bumi membersihkan “sampah-sampah negara hukum” kecuali bangsa itu sendiri berupaya membersihkannya. Selamat Tahun Baru 2013. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar