Tahun Baru
Kurikulum Baru
Junaedi Abdul Munif ; Direktur Wahid Center Universitas Wahid Hasyim
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2013
DUNIA pendidikan mendapat kado istimewa pada
2013. Telah disusun kurikulum 2013 untuk menggantikan kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) 2006. Kendati belum dilaksanakan secara menyeluruh
di wilayah Indonesia--baru diujicobakan di beberapa kota tertentu--itu tak
ayal telah cukup membuat wacana perubahan kurikulum menjadi buah bibir di
masyarakat.
Pada intinya, konsep dan tujuan kurikulum 2013
tidak berbeda banyak dengan kurikulum sebelumnya, masih menekankan integrasi
pencapaian aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik
(keterampilan). Bukankah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 dan KTSP
juga demikian?
Akan tetapi, anekdot `ganti menteri, ganti kurikulum' belum juga lenyap dari
birokrasi pendidikan di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) memang seperti mengejar target, terutama ketika institusi itu
kembali terintegrasi dengan kebudayaan.
Tanggung jawab pendidikan bukan hanya pada
transfer pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga meliputi pembudayaan
dan pemberadaban masyarakat yang diterjemahkan ke dalam pendidikan karakter.
Dengan mengacu ke hal tersebut, pendidikan semakin sarat dengan tuntutan yang
bersifat holistis. Output (hasil) pendidikan mencakup penyiapan mental dan
keteram pilan untuk dapat mengarungi lautan kehidupan.
Bagi yang optimistis dengan kurikulum 2013,
harapan muncul karena di kurikulum tersebut ada penggabungan mata pelajaran
di tingkat dasar.
Harapan itu membuncah ketika fenomena siswa di sekolah dasar yang terlalu
dipenuhi beban pelajaran tidak akan ditemui lagi. Untuk mereka yang skeptis,
kurikulum 2013 akan sama nasibnya dengan kurikulum sebelumnya, yang secara
konsep bagus tetapi rapuh di tataran praksisnya. Itu disebabkan kurikulum
yang berubah, dengan penekanan pada aspek afektif dan psikomotorik, tidak
diimbangi kemampuan guru yang dapat mengaplikasikan kurikulum dengan baik.
Guru menjadi `kambing hitam' dari permasalahan pendidikan yang kian runyam.
Perubahan Elementer
Perubahan paling elementer pada kurikulum 2013
ialah pelajaran yang sebelumnya berjumlah 10 akan dikurangi menjadi 6 di SD.
IPA akan dimasukkan ke pelajaran matematika, bahasa Indonesia, dll. Pelajaran
IPS akan dimasukkan ke pelajaran PPKn, bahasa Indonesia, dll. Masalah muncul
karena mindset kita dipengaruhi paradigma `ilmu yang terfaksionalisasi' bahwa
IPA merupakan bagian dari ilmu eksak dan IPS bagian dari ilmu
sosial-humaniora. Lalu meluas saat penjurusan di SMA, pandangan sarkastis
muncul dengan menganggap anak jurusan IPA lebih pintar dari pada anak IPS
yang dicap d jurusan r anakanak buangan.
Pada poin keenam dalam draf bahan uji
kurikulum 2013, terdapat kalimat yang jika dipahami secara saksama, muncul
ambiguitas. Pertama, menempatkan IPA dan IPS... bukan disiplin ilmu,
melainkan untuk membentuk sikap ilmuwan dan kepedulian dalam berinteraksi sosial
dengan alam secara bertanggung jawab. Kesannya justru yang kedua (membentuk
sikap ilmuwan) bertolak belakang dengan yang pertama (bukan disiplin ilmu).
Bagaimana bisa sesuatu yang kognitif (bukan disiplin ilmu) diarahkan untuk
mempunyai kompetensi afeksi dan psikomotorik secara bersamaan?
Padahal, untuk
sampai pada afeksi dan psikomotorik, butuh proses yang cukup panjang.
Ketika IPA dan IPS dimasukkan ke bahasa
Indonesia, misalnya, bagaimana menyampaikannya? Bisa jadi bahasa Indonesia
akan dikorbankan karena materinya berisi masalah-masalah IPA dan IPS.
Padahal, bahasa Indonesia sangat penting untuk mendidik siswa agar memiliki
keterampilan berbahasa yang baik, utamanya menulis. Jika IPA yang
dikorbankan, itu dapat membuat IPA hanya menjadi pelajaran kognitif. IPA
bukan hanya tipikal pelajaran yang bersifat kognitif. IPA diharapkan
mendorong anak didik untuk mencintai alam, memahami makhluk hidup, mengamati
organ-organ makhluk hidup bekerja, misalnya. Lalu dari mencintai IPA, anak
didik akan tertarik untuk meneliti fenomena alam.
Sementara itu, dalam elemen perubahan proses
pembelajaran, sebagai manifestasi dari perwujudan keteram pilan, anak didik
di SD, SMP, SMA, dan SMK diarahkan untuk mencipta (kreasi). Proses itu
memunculkan pertanyaan mendasar, apa yang mesti dicipta anak didik? Dalam
pelajaran ilmu eksak, menciptakan benda yang konkret bisa saja dilakukan.
Atau dalam bahasa Indonesia, siswa bisa diarahkan agar berhasil membuat karya
sastra (puisi, cerpen, novelet, esai) atau makalah sebagai elemen penilaian.
Untuk penciptaan mata pelajaran rumpun sosial dan humaniora, hal itu akan
menjadi rumit karena berkaitan dengan sesuatu yang abstrak.
Restorasi Pendidikan
Kurikulum memang mesti terus berubah seiring
dengan perkembangan zaman.
Menihilkan peran kurikulum sama saja dengan membiarkan pendidikan nasional berjalan tanpa arah. Namun, mengubah kurikulum tanpa upaya membudayakan peserta didik untuk senang belajar akan sama saja hasilnya: nihil. Membudayakan peserta didik merupakan proyek pendidikan karakter, yakni bagaimana pendidikan dapat membentuk anak yang jujur, kreatif, bertanggung jawab, percaya diri, cinta tanah air, dan memiliki sikap-sikap positif lainnya. Sikap-sikap itulah yang oleh kalangan idealis pendidikan diyakini sebagai tujuan utama pendidikan.
Harus diakui, masih banyak anak didik seperti
tidak memiliki semangat belajar. Selain rendahnya minat baca sebagai sumber
pengetahuan, siswa seperti enggan belajar karena mereka belajar sesuatu yang
tidak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu, seperti doktrin jurnalisme
berita, akan berpotensi dibaca jika pembaca memiliki kedekatan (geografis,
psikologis, dan minat) pada berita. Pun dengan pendidikan, anak lebih mungkin
tertarik jika mereka belajar apa yang dekat pada mereka.
Ada diktum yang menarik, seseorang akan senang
belajar jika suatu pelajaran disampaikan dengan menyenangkan. Menyenangkan
ialah frasa yang bersifat abstrak dan relatif. Namun, indikatornya jelas bisa
diamati, contohnya siswa memperhatikan penjelasan guru, tidak mengantuk di
kelas, dan rajin bertanya untuk lebih tahu tentang materi pelajaran. Jika
sesuatu berlangsung menyenangkan, pencapaian tujuan pendidikan akan lebih
mudah.
Mayling Oey-Gardiner (Kompas, 28/11) menulis
artikel tentang liberal arts sebagai roh pendidikan di Amerika Serikat. Liberal
arts merupakan model pendidikan dengan bekal dan fondasi luas pada berbagai
ilmu dasar diberikan secara baik. Harapannya ialah untuk membentuk lulusan
yang menguasai berbagai bidang ilmu dengan sama baiknya. Itu sebetulnya sudah
muncul ratusan tahun lalu ketika banyak filsuf sekaligus ahli ilmu pasti.
Ibnu Sina ialah dokter sekaligus filsuf. Rene Descartes dikenal sebagai
matematikawan yang juga filsuf. Penggabungan IPA dan IPS ke pelajaran lainnya
ditakutkan justru mendang kalkan siswa. Restorasi pendidikan meru pakan upaya
untuk mene mukan kem bali semangat belajar siswa dan guru se kaligus. Kuri
kulum baru diharapkan dapat men dorong siswa untuk menjadi manusia yang EBET
sempurna. Paradigma bahwa guru kini lebih dipahami sebagai profesi murni yang
tak berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan akibat kompensasi ekonomi yang
menggiurkan laik dikikis untuk mengembalikan tugas guru yang berperan
mendidik.
Implementasi
Banyak guru gagap membaca panduan kurikulum
sehingga berdampak pada metode mengajar yang masih sama. Model ceramah di
kelas masih menjadi favorit para guru karena tidak perlu repotrepot
menyiapkan bahan ajar dan alat pendukung pengajaran. Jika itu dilaksanakan di
luar kelas, guru akan lebih sulit mengendalikan perilaku anak didik yang
perhatiannya rawan terbelah oleh hal lain.
Di masa mendatang, anak didik akan menghadapi
problem hidup yang kian kompleks. Tantangan ke dalam, bagaimana manusia
Indonesia tetap memiliki karakter yang khas Indonesia sebagai bagian
pengembangan soft skill. Identitas
keindonesiaan menjadi sedemikian penting untuk ditampilkan sebagai nilai
tawar dalam rangka perjuangan hidup, baik individu maupun sebagai bangsa.
Adapun hard skill diperlukan lebih sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan.
Tantangan keluar ialah dengan menyiapkan anak
didik untuk siap menghadapi percaturan internasional. Globalisasi yang
menjadi narasi saat ini menuntut anak-anak Indonesia mampu berkiprah di dunia
internasional. Selain penguasaan bahasa yang banyak dipakai di dunia (misalnya
Inggris, Arab, dan Mandarin), penguasaan hard skill tertentu mutlak dimiliki
siswa.
Sebetulnya yang menjadi titik tekan ialah
bagaimana kita memiliki guru yang berkualitas, yang punya kecerdasan
karakter, sekaligus guru yang terampil. Dalam bahan uji publik kurikulum 2013
ini, hal itu telah diantisipasi dengan pelatihan guru dan tenaga
kependidikan. Alat yang dipakai untuk mengukur itu lagilagi masih memakai
ukuran administratif, yang masih berjarak dengan kompetensi mengajar dan
mendidik.
Maka, pelatihan (training) guru harus dimaksimalkan untuk mengarahkan guru agar
dapat menangkap maksud kurikulum baru dan selanjutnya merumuskan tindakan apa
yang tepat diberikan kepada siswa. Itu akan menjadi kunci sementara agar
kurikulum 2013 dapat berjalan efektif dengan meminimalkan kegagalan. Pun
dalam waktu jangka panjang, perbaikan kualitas pendidikan tidak bisa
ditanggung kemendikbud saja. Ada tanggung jawab berjejaring yang melibatkan
semua pihak, baik pemerintah, stakeholder, ataupun masyarakat sipil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar