Senin, 07 Januari 2013

Tahun Baru Kurikulum Baru


Tahun Baru Kurikulum Baru
Junaedi Abdul Munif ;  Direktur Wahid Center Universitas Wahid Hasyim
MEDIA INDONESIA,  07 Januari 2013



DUNIA pendidikan mendapat kado istimewa pada 2013. Telah disusun kurikulum 2013 untuk menggantikan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006. Kendati belum dilaksanakan secara menyeluruh di wilayah Indonesia--baru diujicobakan di beberapa kota tertentu--itu tak ayal telah cukup membuat wacana perubahan kurikulum menjadi buah bibir di masyarakat.

Pada intinya, konsep dan tujuan kurikulum 2013 tidak berbeda banyak dengan kurikulum sebelumnya, masih menekankan integrasi pencapaian aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Bukankah kurikulum berbasis kompetensi (KBK) 2004 dan KTSP juga demikian?

Akan tetapi, anekdot `ganti menteri, ganti kurikulum' belum juga lenyap dari birokrasi pendidikan di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memang seperti mengejar target, terutama ketika institusi itu kembali terintegrasi dengan kebudayaan.

Tanggung jawab pendidikan bukan hanya pada transfer pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga meliputi pembudayaan dan pemberadaban masyarakat yang diterjemahkan ke dalam pendidikan karakter. Dengan mengacu ke hal tersebut, pendidikan semakin sarat dengan tuntutan yang bersifat holistis. Output (hasil) pendidikan mencakup penyiapan mental dan keteram pilan untuk dapat mengarungi lautan kehidupan.

Bagi yang optimistis dengan kurikulum 2013, harapan muncul karena di kurikulum tersebut ada penggabungan mata pelajaran di tingkat dasar.

Harapan itu membuncah ketika fenomena siswa di sekolah dasar yang terlalu dipenuhi beban pelajaran tidak akan ditemui lagi. Untuk mereka yang skeptis, kurikulum 2013 akan sama nasibnya dengan kurikulum sebelumnya, yang secara konsep bagus tetapi rapuh di tataran praksisnya. Itu disebabkan kurikulum yang berubah, dengan penekanan pada aspek afektif dan psikomotorik, tidak diimbangi kemampuan guru yang dapat mengaplikasikan kurikulum dengan baik. Guru menjadi `kambing hitam' dari permasalahan pendidikan yang kian runyam.

Perubahan Elementer

Perubahan paling elementer pada kurikulum 2013 ialah pelajaran yang sebelumnya berjumlah 10 akan dikurangi menjadi 6 di SD. IPA akan dimasukkan ke pelajaran matematika, bahasa Indonesia, dll. Pelajaran IPS akan dimasukkan ke pelajaran PPKn, bahasa Indonesia, dll. Masalah muncul karena mindset kita dipengaruhi paradigma `ilmu yang terfaksionalisasi' bahwa IPA merupakan bagian dari ilmu eksak dan IPS bagian dari ilmu sosial-humaniora. Lalu meluas saat penjurusan di SMA, pandangan sarkastis muncul dengan menganggap anak jurusan IPA lebih pintar dari pada anak IPS yang dicap d jurusan r anakanak buangan.

Pada poin keenam dalam draf bahan uji kurikulum 2013, terdapat kalimat yang jika dipahami secara saksama, muncul ambiguitas. Pertama, menempatkan IPA dan IPS... bukan disiplin ilmu, melainkan untuk membentuk sikap ilmuwan dan kepedulian dalam berinteraksi sosial dengan alam secara bertanggung jawab. Kesannya justru yang kedua (membentuk sikap ilmuwan) bertolak belakang dengan yang pertama (bukan disiplin ilmu). Bagaimana bisa sesuatu yang kognitif (bukan disiplin ilmu) diarahkan untuk mempunyai kompetensi afeksi dan psikomotorik secara bersamaan? 
Padahal, untuk sampai pada afeksi dan psikomotorik, butuh proses yang cukup panjang.

Ketika IPA dan IPS dimasukkan ke bahasa Indonesia, misalnya, bagaimana menyampaikannya? Bisa jadi bahasa Indonesia akan dikorbankan karena materinya berisi masalah-masalah IPA dan IPS. Padahal, bahasa Indonesia sangat penting untuk mendidik siswa agar memiliki keterampilan berbahasa yang baik, utamanya menulis. Jika IPA yang dikorbankan, itu dapat membuat IPA hanya menjadi pelajaran kognitif. IPA bukan hanya tipikal pelajaran yang bersifat kognitif. IPA diharapkan mendorong anak didik untuk mencintai alam, memahami makhluk hidup, mengamati organ-organ makhluk hidup bekerja, misalnya. Lalu dari mencintai IPA, anak didik akan tertarik untuk meneliti fenomena alam.

Sementara itu, dalam elemen perubahan proses pembelajaran, sebagai manifestasi dari perwujudan keteram pilan, anak didik di SD, SMP, SMA, dan SMK diarahkan untuk mencipta (kreasi). Proses itu memunculkan pertanyaan mendasar, apa yang mesti dicipta anak didik? Dalam pelajaran ilmu eksak, menciptakan benda yang konkret bisa saja dilakukan. Atau dalam bahasa Indonesia, siswa bisa diarahkan agar berhasil membuat karya sastra (puisi, cerpen, novelet, esai) atau makalah sebagai elemen penilaian. Untuk penciptaan mata pelajaran rumpun sosial dan humaniora, hal itu akan menjadi rumit karena berkaitan dengan sesuatu yang abstrak.

Restorasi Pendidikan

Kurikulum memang mesti terus berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Menihilkan peran kurikulum sama saja dengan membiarkan pendidikan nasional berjalan tanpa arah. Namun, mengubah kurikulum tanpa upaya membudayakan peserta didik untuk senang belajar akan sama saja hasilnya: nihil. Membudayakan peserta didik merupakan proyek pendidikan karakter, yakni bagaimana pendidikan dapat membentuk anak yang jujur, kreatif, bertanggung jawab, percaya diri, cinta tanah air, dan memiliki sikap-sikap positif lainnya. Sikap-sikap itulah yang oleh kalangan idealis pendidikan diyakini sebagai tujuan utama pendidikan.

Harus diakui, masih banyak anak didik seperti tidak memiliki semangat belajar. Selain rendahnya minat baca sebagai sumber pengetahuan, siswa seperti enggan belajar karena mereka belajar sesuatu yang tidak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu, seperti doktrin jurnalisme berita, akan berpotensi dibaca jika pembaca memiliki kedekatan (geografis, psikologis, dan minat) pada berita. Pun dengan pendidikan, anak lebih mungkin tertarik jika mereka belajar apa yang dekat pada mereka.

Ada diktum yang menarik, seseorang akan senang belajar jika suatu pelajaran disampaikan dengan menyenangkan. Menyenangkan ialah frasa yang bersifat abstrak dan relatif. Namun, indikatornya jelas bisa diamati, contohnya siswa memperhatikan penjelasan guru, tidak mengantuk di kelas, dan rajin bertanya untuk lebih tahu tentang materi pelajaran. Jika sesuatu berlangsung menyenangkan, pencapaian tujuan pendidikan akan lebih mudah.

Mayling Oey-Gardiner (Kompas, 28/11) menulis artikel tentang liberal arts sebagai roh pendidikan di Amerika Serikat. Liberal arts merupakan model pendidikan dengan bekal dan fondasi luas pada berbagai ilmu dasar diberikan secara baik. Harapannya ialah untuk membentuk lulusan yang menguasai berbagai bidang ilmu dengan sama baiknya. Itu sebetulnya sudah muncul ratusan tahun lalu ketika banyak filsuf sekaligus ahli ilmu pasti. Ibnu Sina ialah dokter sekaligus filsuf. Rene Descartes dikenal sebagai matematikawan yang juga filsuf. Penggabungan IPA dan IPS ke pelajaran lainnya ditakutkan justru mendang kalkan siswa. Restorasi pendidikan meru pakan upaya untuk mene mukan kem bali semangat belajar siswa dan guru se kaligus. Kuri kulum baru diharapkan dapat men dorong siswa untuk menjadi manusia yang EBET sempurna. Paradigma bahwa guru kini lebih dipahami sebagai profesi murni yang tak berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan akibat kompensasi ekonomi yang menggiurkan laik dikikis untuk mengembalikan tugas guru yang berperan mendidik.

Implementasi

Banyak guru gagap membaca panduan kurikulum sehingga berdampak pada metode mengajar yang masih sama. Model ceramah di kelas masih menjadi favorit para guru karena tidak perlu repotrepot menyiapkan bahan ajar dan alat pendukung pengajaran. Jika itu dilaksanakan di luar kelas, guru akan lebih sulit mengendalikan perilaku anak didik yang perhatiannya rawan terbelah oleh hal lain.

Di masa mendatang, anak didik akan menghadapi problem hidup yang kian kompleks. Tantangan ke dalam, bagaimana manusia Indonesia tetap memiliki karakter yang khas Indonesia sebagai bagian pengembangan soft skill. Identitas keindonesiaan menjadi sedemikian penting untuk ditampilkan sebagai nilai tawar dalam rangka perjuangan hidup, baik individu maupun sebagai bangsa. Adapun hard skill diperlukan lebih sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan.

Tantangan keluar ialah dengan menyiapkan anak didik untuk siap menghadapi percaturan internasional. Globalisasi yang menjadi narasi saat ini menuntut anak-anak Indonesia mampu berkiprah di dunia internasional. Selain penguasaan bahasa yang banyak dipakai di dunia (misalnya Inggris, Arab, dan Mandarin), penguasaan hard skill tertentu mutlak dimiliki siswa.

Sebetulnya yang menjadi titik tekan ialah bagaimana kita memiliki guru yang berkualitas, yang punya kecerdasan karakter, sekaligus guru yang terampil. Dalam bahan uji publik kurikulum 2013 ini, hal itu telah diantisipasi dengan pelatihan guru dan tenaga kependidikan. Alat yang dipakai untuk mengukur itu lagilagi masih memakai ukuran administratif, yang masih berjarak dengan kompetensi mengajar dan mendidik.

Maka, pelatihan (training) guru harus dimaksimalkan untuk mengarahkan guru agar dapat menangkap maksud kurikulum baru dan selanjutnya merumuskan tindakan apa yang tepat diberikan kepada siswa. Itu akan menjadi kunci sementara agar kurikulum 2013 dapat berjalan efektif dengan meminimalkan kegagalan. Pun dalam waktu jangka panjang, perbaikan kualitas pendidikan tidak bisa ditanggung kemendikbud saja. Ada tanggung jawab berjejaring yang melibatkan semua pihak, baik pemerintah, stakeholder, ataupun masyarakat sipil. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar