Senin, 07 Januari 2013

Konsistensi Proses dan Kompetensi Guru


Konsistensi Proses dan Kompetensi Guru
Ahmad Baedowi ;  Direktur Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  07 Januari 2013



SEMANGAT pemerintah dalam mengubah orientasi kurikulum ke arah pengembangan sikap siswa perlu diuji, seberapa jauh konsistensi kebijakan tersebut akan dilakukan secara terus-menerus. Salah satu caranya ialah dengan melihat bagaimana guru dipersiapkan melalui mekanisme sosialisasi dan pelatihan yang cerdas dan terarah, dengan perencanaan pengembangan profesional guru berbasis sekolah.

Itu artinya kurikulum baru yang akan diberlakukan harus menjadi acuan para guru untuk membuktikan diri melalui serangkaian proses belajarmengajar yang baik dan benar. Pemerintah harus terus memacu manajemen sekolah untuk mengembangkan prinsip dasar kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), melalui serangkaian kegiatan yang memungkinkan sekolah merumuskan sendiri kelemahan dan kelebihan mereka (school mapping), menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan guru dan siswa (objectives and lesson design), memperbaiki sistem pengelolaan pembela jaran yang berkelanjutan dan efisien (scope and sequence), serta membuat rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran dan manajemen sekolah secara efektif-komprehensif (Jackson 1992).

Penting untuk diajarkan kepada setiap sekolah konsep dasar deep curriculum alignment. Dengan konsep itu, para guru dalam melakukan proses belajar-mengajar tidak mengejar target untuk ujian semata, tetapi mempersiapkan sikap dan kemampuan siswa yang jauh lebih dari itu. Salah satu keunggulan prinsip dasar deep curriculum alignment ialah ketika evaluasi atau tes dilakukan, guru dapat memberikan gambaran secara utuh tentang jarak (gap) antara siswa yang satu dan siswa lainnya.

Dengan menggunakan sekolah sebagai basis unit analisis pengembangan kompetensi 
guru, itu diharapkan akan menciptakan sebuah desain kurikulum dan desain pem belajaran yang tidak hanya menyenangkan buat siswa, tetapi juga berguna untuk bekal kehidupan mereka kelak setelah dewasa. Semua jenis konstruksi kurikulum yang relevan dan telah digunakan dalam sistem pendidikan di Indonesia sebaiknya mengacu dan berorientasi ke pengembangan sikap siswa berdasarkan konteks sosial-masyarakatnya.

Jika sikap merupakan target pertama proses pendidikan kita, melibatkan siswa sebanyak mungkin dalam mendesain kebutuhan kurikulum berbasis standar pengetahuan dan keingintahuan siswa ialah tuntutan yang tidak bisa dihindari setiap guru. Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam Meeting Standards through Integrated Curriculum (2004) menyebutnya sebagai students as standards-based curriculum designers.

Salah satu sekolah yang sukses menggunakan pendekatan kurikulum berbasis kebutuhan dan keingintahuan siswa adalah Shelburne Community School, Vermont, Amerika Serikat. Para siswa di sekolah tersebut yang berjumlah 69 orang, dengan tiga guru, mengembangkan pendekatan itu sebagai model pembelajaran bersama. Guru bertindak sebagai mentor, sedangkan siswa menyusun agenda kurikulum berdasarkan rasa keingintahuan mereka terhadap sebuah tema atau subjek dari mata ajar yang mereka pilih. Karena membuat seba nyak mungkin pertanyaan merupakan agenda rutin siswa dalam pendekatan tersebut, dari pertanyaan-pertanyaan itu kemudian siswa membuat serangkan aktivitas pembelajaran secara teratur yang melibatkan sejawat dan fasilitator (guru).

Banyak orang boleh jadi bertanya mungkinkah siswa dapat mendesain sendiri kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan? Bagaimana cara mereka mengatur skenario pembelajaran jika basisnya ialah pertanyaan-pertanyaan?
Apa peran guru dalam pendekatan itu? Bagaimana kirakira respons orangtua jika ada sekolah yang mencoba melakukan praktik tersebut di sekolah mereka? Jelas sekali bahwa sekolah seperti Shelburne Community School ialah contoh bagus untuk menjawab semua pertanyaan tadi. Program itu sangat unik dan banyak memberikan pencerahan dalam rangka penciptaan pola pembelajaran terpadu antara satu mata ajar dan mata ajar lainnya.

Program tersebut bisa dimulai dengan membuat daftar kebutuhan anak berdasarkan pertanyaan mereka terhadap bidang studi tertentu. Misalnya ada tema tentang asal usul sesuatu (In the Beginning: A Study of Origins), tentang masyarakat (We the People: Government), nutrisi, bisnis dan ekonomi, karier, resolusi konflik, sumber daya alam, dan sistem kehidupan. Tema-tema itu secara terpadu merupakan rangkaian beberapa mata ajar seperti geografi, kewarganegaraan, biologi, matematika, sosiologi, fisika, dan kimia.

Basis filosofis dari pendekatan kurikulum berbasis kebutuhan siswa itu berawal dari keyakinan bahwa kebanyakan siswa dapat belajar dengan baik jika mereka dilibatkan dalam proses penentuan apa yang ingin mereka pelajari dalam rangka menjawab per tanyaan mereka sendiri (James Beane, A Middle School Curriculum: From Rhetoric to Reality, 1993). James Beane meyakini setiap anak pasti memiliki banyak pertanyaan dan mereka pikir dapat memberi solusi terhadap situasi kekinian yang berkembang di sekitar mereka. Baik guru maupun siswa dalam proses itu harus memiliki kesamaan visi dan keyakinan bahwa setiap pertanyaan yang benar pasti memiliki kekuatan untuk mengubah sesuatu (change comes from the questions we ask).
Pendekatan itu juga sangat menguntungkan untuk melibatkan orangtua dalam proses belajar-mengajar secara intens. Baik guru, siswa, maupun orangtua harus tahu apa saja agenda dan daftar pertanyaan anak-anak mereka yang harus dijawab secara bersama setiap minggu. Itu artinya sistem evaluasi berjalan setiap saat dan memunculkan rasa tanggung jawab secara bersama dalam proses belajar-mengajar. Mungkinkah ada sekolah di Indonesia yang mau dan dapat menguji coba pendekatan tersebut? Wallahua'lam bi al-sawab. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar