Konsistensi
Proses dan Kompetensi Guru
Ahmad Baedowi ; Direktur Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2013
SEMANGAT pemerintah dalam mengubah orientasi kurikulum ke
arah pengembangan sikap siswa perlu diuji, seberapa jauh konsistensi
kebijakan tersebut akan dilakukan secara terus-menerus. Salah satu caranya
ialah dengan melihat bagaimana guru dipersiapkan melalui mekanisme
sosialisasi dan pelatihan yang cerdas dan terarah, dengan perencanaan
pengembangan profesional guru berbasis sekolah.
Itu artinya kurikulum baru yang akan diberlakukan harus
menjadi acuan para guru untuk membuktikan diri melalui serangkaian proses
belajarmengajar yang baik dan benar. Pemerintah harus terus memacu manajemen
sekolah untuk mengembangkan prinsip dasar kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP), melalui serangkaian kegiatan yang memungkinkan sekolah merumuskan
sendiri kelemahan dan kelebihan mereka (school
mapping), menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan
guru dan siswa (objectives and lesson
design), memperbaiki sistem pengelolaan pembela jaran yang berkelanjutan
dan efisien (scope and sequence),
serta membuat rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran dan
manajemen sekolah secara efektif-komprehensif (Jackson 1992).
Penting untuk diajarkan kepada setiap sekolah konsep dasar
deep curriculum alignment. Dengan
konsep itu, para guru dalam melakukan proses belajar-mengajar tidak mengejar
target untuk ujian semata, tetapi mempersiapkan sikap dan kemampuan siswa
yang jauh lebih dari itu. Salah satu keunggulan prinsip dasar deep curriculum
alignment ialah ketika evaluasi atau tes dilakukan, guru dapat memberikan
gambaran secara utuh tentang jarak (gap) antara siswa yang satu dan siswa
lainnya.
Dengan menggunakan sekolah sebagai basis unit analisis
pengembangan kompetensi
guru, itu diharapkan akan menciptakan sebuah desain
kurikulum dan desain pem belajaran yang tidak hanya menyenangkan buat siswa,
tetapi juga berguna untuk bekal kehidupan mereka kelak setelah dewasa. Semua
jenis konstruksi kurikulum yang relevan dan telah digunakan dalam sistem
pendidikan di Indonesia sebaiknya mengacu dan berorientasi ke pengembangan
sikap siswa berdasarkan konteks sosial-masyarakatnya.
Jika sikap merupakan target pertama proses pendidikan
kita, melibatkan siswa sebanyak mungkin dalam mendesain kebutuhan kurikulum
berbasis standar pengetahuan dan keingintahuan siswa ialah tuntutan yang
tidak bisa dihindari setiap guru. Susan M Drake dan Rebecca C Burns dalam Meeting Standards through Integrated
Curriculum (2004) menyebutnya sebagai students
as standards-based curriculum designers.
Salah satu sekolah yang sukses menggunakan pendekatan
kurikulum berbasis kebutuhan dan keingintahuan siswa adalah Shelburne Community School, Vermont,
Amerika Serikat. Para siswa di sekolah tersebut yang berjumlah 69 orang,
dengan tiga guru, mengembangkan pendekatan itu sebagai model pembelajaran
bersama. Guru bertindak sebagai mentor, sedangkan siswa menyusun agenda
kurikulum berdasarkan rasa keingintahuan mereka terhadap sebuah tema atau
subjek dari mata ajar yang mereka pilih. Karena membuat seba nyak mungkin
pertanyaan merupakan agenda rutin siswa dalam pendekatan tersebut, dari
pertanyaan-pertanyaan itu kemudian siswa membuat serangkan aktivitas
pembelajaran secara teratur yang melibatkan sejawat dan fasilitator (guru).
Banyak orang boleh jadi bertanya mungkinkah siswa dapat
mendesain sendiri kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan? Bagaimana cara
mereka mengatur skenario pembelajaran jika basisnya ialah
pertanyaan-pertanyaan?
Apa peran guru dalam pendekatan itu? Bagaimana kirakira respons orangtua jika ada sekolah yang mencoba melakukan praktik tersebut di sekolah mereka? Jelas sekali bahwa sekolah seperti Shelburne Community School ialah contoh bagus untuk menjawab semua pertanyaan tadi. Program itu sangat unik dan banyak memberikan pencerahan dalam rangka penciptaan pola pembelajaran terpadu antara satu mata ajar dan mata ajar lainnya.
Program tersebut bisa dimulai dengan membuat daftar
kebutuhan anak berdasarkan pertanyaan mereka terhadap bidang studi tertentu.
Misalnya ada tema tentang asal usul sesuatu (In the Beginning: A Study of Origins), tentang masyarakat (We the People: Government), nutrisi,
bisnis dan ekonomi, karier, resolusi konflik, sumber daya alam, dan sistem
kehidupan. Tema-tema itu secara terpadu merupakan rangkaian beberapa mata
ajar seperti geografi, kewarganegaraan, biologi, matematika, sosiologi,
fisika, dan kimia.
Basis filosofis dari pendekatan kurikulum berbasis
kebutuhan siswa itu berawal dari keyakinan bahwa kebanyakan siswa dapat
belajar dengan baik jika mereka dilibatkan dalam proses penentuan apa yang
ingin mereka pelajari dalam rangka menjawab per tanyaan mereka sendiri (James Beane, A Middle School Curriculum:
From Rhetoric to Reality, 1993). James Beane meyakini setiap anak pasti
memiliki banyak pertanyaan dan mereka pikir dapat memberi solusi terhadap
situasi kekinian yang berkembang di sekitar mereka. Baik guru maupun siswa
dalam proses itu harus memiliki kesamaan visi dan keyakinan bahwa setiap
pertanyaan yang benar pasti memiliki kekuatan untuk mengubah sesuatu (change comes from the questions we ask).
Pendekatan itu juga sangat
menguntungkan untuk melibatkan orangtua dalam proses belajar-mengajar secara
intens. Baik guru, siswa, maupun orangtua harus tahu apa saja agenda dan
daftar pertanyaan anak-anak mereka yang harus dijawab secara bersama setiap
minggu. Itu artinya sistem evaluasi berjalan setiap saat dan memunculkan rasa
tanggung jawab secara bersama dalam proses belajar-mengajar. Mungkinkah ada
sekolah di Indonesia yang mau dan dapat menguji coba pendekatan tersebut? Wallahua'lam bi al-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar