Selasa, 15 Januari 2013

Stabilitas Harga Kedelai


Stabilitas Harga Kedelai
Khudori ;  Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
REPUBLIKA, 14 Januari 2013



Tahun ini Perum Bulog akan membeli 400 ribu ton kedelai, 100 ribu di antaranya disimpan sebagai stok nasional. Pembelian dan stok ini sebagai bagian dari instrumen stabilisasi harga kedelai yang diserahkan kepada Bulog. Pertanyaannya, akankah cara ini efektif? 

Instrumen pembelian dan stok seperti ini sudah puluhan tahun diterapkan pada beras. Selama itu pula Bulog setidaknya mampu menstabilkan harga beras. Instabilitas harga bisa dikelola baik. Pertanyaannya, tepatkah cara itu diterapkan pada kedelai?
Kedelai bukanlah beras. Pertama, beras merupakan konsumsi langsung rumah tangga, sedangkan kedelai adalah bahan baku industri tempe dan tahu. 

Kedua, faktor ketidakstabilan harga beras lebih banyak di dalam negeri, sedangkan kedelai di luar negeri. Ini terkait kapasitas produksi domestik. Produksi beras Indonesia cukup baik, bahkan sejak 2008 bisa kembali berswasembada. Impor beras memang masih terjadi. Tahun 2011, misalnya, impor beras mencapai 2,7 juta ton. Namun, impor itu bukan karena produksi beras domestik tidak memadai, tapi karena komplikasi kebijakan dan rente ekonomi. 

Sebaliknya, kapasitas produksi kedelai domestik terus merosot. Pada era 1990-an kita berswasembada kedelai. Puncak produksi kedelai terjadi pada 1992 dengan tingkat produksi 1,8 juta ton, naik tiga kali lipat dibandingkan tahun 1973 saat dimulai Program Bimas/Inmas Kedelai. Sejak itu, terjadi fenomena dekedelaisasi: proses menjauh dari kedelai. 

Periode 1992-2011, produksi menurun 3,05 persen per tahun dan luas panen menurun 4,05 persen per tahun. Bahkan, dalam 19 tahun terakhir luas panen menurun tinggal 37 persen: dari 1.665.706 hektare (1992) tinggal 620.928 hektare (2011). Tahun 2012, kebutuhan kedelai 2,2 juta ton. Sebaliknya, menurut Angka Ramalan I BPS, produksi kedelai hanya 779.741 ton. Kini, produksi kedelai domestik hanya mampu menopang 30 persen dari kebutuhan. 

Ketiga, produksi beras hanya terkonsentrasi di Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Nusa Tenggara Barat. Sedangkan, konsumsinya merata di seluruh Indonesia. Dalam jumlah kecil, produksi kedelai terkonsentrasi di sejumlah daerah. Produksi kedelai tak signifikan memengaruhi harga di tingkat petani. Pengaruh dominan justru berasal dari harga internasional.

Perbedaan lainnya, pada beras terdapat pola panen yang ajeg: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi) dan musim paceklik (Oktober-Januari). Akibat pola panen itu, pada beras terdapat surplus musiman. Jika pemerintah (lewat Bulog) tak melakukan pembelian di pasar, harga akan jatuh. Pada kedelai, tidak demikian. 

Keempat, pasar beras relatif sempurna karena volume yang diperdagangkan relatif besar. Pemain per dagangan beras juga banyak, dari skala kecil, menengah, hingga besar. Ketergantungan Indonesia pada impor beras juga rendah, yakni 1-1,5 juta ton/tahun atau kurang 0,5 persen. Dengan kondisi seperti itu, penguasaan beras oleh Bulog sebesar 10 persen efektif menstabilkan harga di pasar. 

Sebaliknya, pasar kedelai tidak sempurna. Kedelai hanya dikuasai segelintir pihak. Ketergantungan Indonesia pada kedelai impor juga cukup tinggi: sekitar 70 persen dari kebutuhan domestik. Dengan kondisi itu, penguasaan kedelai oleh Bulog hanya 400 ribu ton tak cukup efektif jadi instrumen intervensi pasar.
Apalagi, stok kedelai Bulog yang 100 ribu ton hanya cukup memasok kebutuhan pasar 15 hari. 

Uraian ini menunjuk satu hal: untuk menjaga harga kedelai dalam negeri tidak cukup hanya memakai instrumen pembelian, stok, dan harga. Apa bila impor kedelai tak dibatasi, tidak dikendalikan, dan sepenuhnya diserahkan kepada pasar seperti saat ini, instrumen-instrumen tersebut tak akan efektif. 

Bahkan, impor kedelai yang tak terkendali berpotensi mentorpedo kebijakan-kebijakan lain. Jika impor kedelai tidak dikendalikan, hampir pasti sebagian besar kedelai, terutama impor, dijual ke pemerintah. Ini terjadi bila ada perbedaan harga yang cukup besar antara harga pembelian pemerintah dan harga pasar. Apakah pemerintah siap menampungnya? Di mana tempat penampungannya? 

Kedelai hasil pembelian pemerintah akan dijual ke siapa? Siapa yang menanggung beban jika penjualan merugi karena harga pasar kedelai lebih murah? Sebagai operator, tentu Bulog tidak mau mengemban amanah ini.

Karena itu, instrumen harga pembelian dan harga penjualan harus dilengkapi beleid lain, yaitu menata ulang pasar impor. Koreksi pasar bisa dilakukan dengan menata ulang perusahaan yang diberi izin impor. Agar powerful, kuota impor bisa sepenuhnya diberikan kepada Bulog. 

Namun, langkah ini dipastikan akan menimbulkan resistensi, baik dari importir maupun negara-negara pengekspor yang menggantungkan outlet pasarnya di Indonesia. Saat ini impor kedelai hanya berada di tangan segelintir pelaku. Bahkan, dua perusahaan--PT Gerbang Cahaya Utama (menguasai pangsa impor 47 persen) dan PT Cargill Indonesia (27,6 persen)--menguasai pangsa impor hampir 75 persen. Dengan penguasaan pasar (impor) sebesar itu, importir ini berpeluang besar me-remote harga.

Sebagai jalan tengah, 50 persen kuota impor diberikan kepada Bulog, sisanya dilelang ke swasta. Dengan kuota ini, jumlah kedelai yang dikelola Bulog lebih dari cukup. Sebab, di saat yang sama, Bulog harus menyerap kedelai produksi dalam negeri dengan harga pembelian. Dengan penguasaan kedelai yang memadai oleh Bulog, akan menutup peluang swasta memain-mainkan harga. 

Instrumen kuota impor harus dibarengi dengan stok atau cadangan kedelai pemerintah. Cadangan kedelai pemerintah ini bisa digerakan setiap saat oleh Bulog apabila mekanisme pasar mengalami kegagalan (market failure). Tentu Bulog tidak bisa melakukan operasi pasar seperti beras. Untuk mengatasi kegagalan pasar, Bulog bisa memberdayakan dan memanfaatkan jaringan Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia (Kopti) sebagai tangan kanan.

Dengan pelbagai instrumen ini, stabilisasi harga kedelai akan optimal. Pada saat yang sama, harga pembelian kedelai bakal menstimulasi petani domestik untuk berproduksi dan meningkatkan produktivitas. Jika semua berjalan dengan baik, bukan mustahil kita kembali swasembada kedelai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar