Pro Kontra
Perda Syariah
Wasisto Raharjo J ; Analis Politik
Lokal dan Otonomi Daerah UGM
|
SINAR
HARAPAN, 03 Januari 2013
Gejala neo-revivalisme dan fundamentalisme Islam marak terjadi sepanjang
2012. Indikasinya bisa kita simak dari semakin banyaknya dominasi penggunaan
simbol-simbol Islam di segala bidang kehidupan, seperti halnya aksi kekerasan
terhadap agama lain mengatasnamakan Islam, munculnya berbagai macam masjid
dibangun sedemikian megah, diwajibkannya jilbab, munculnya gerakan harakah di
kalangan anak muda, menjamurnya perguruan tinggi Islam, pendirian bank
syariah, hingga penamaan jalan yang dilekatkan pada penggunaan nama yang
berbau Islam (Ridwan, 2012).
Namun, dari sekian fenomena sosiologis akan revivalisme Islam
dalam masyarakat, dewasa ini kebangkitan Islam sudah mulai mengarah ke arah
formalisasi Islam. Formalisasi tersebut ditunjukkan dengan semakin
bermunculannya peraturan daerah (perda) bernuansa syariah yang terjadi di
berbagai daerah Indonesia.
Secara substansial, otonomi daerah sebagai konsensus politik
antara pusat dan daerah memberikan peluang sebesar-besarnya dan
seluas-luasnya bagi daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Namun, menjadi
masalah jika kerangka kekuasaan yang diberikan daerah dilakukan dalam nalar
mayoritarian di mana pihak yang mayor akan menang, sementara pihak minor
hanya menerima keinginan si pemenang.
Hadirnya implementasi perda syariah dalam otonomi daerah di
Indonesia ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, perda syariah merupakan
penjabaran logika mayoritarian representasi umat Islam sebagai yang terbesar
di Indonesia dengan persentase 85 persen memandang hadirnya perda syariah
merupakan bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Namun, menjadi
masalah apabila kaum nonmuslim sebagai minoritas “dipaksa” mengikuti aturan
tersebut yang tentu saja mencederai semangat kebinekaan, toleransi, dan
pluralitas.
Sangatlah menarik apabila menyimak perdebatan seputar
implementasi perda syariah dalam lingkup pejabat nasional. Wamenag Nazaruddin
Umar menilai bahwa perda bermuatan syariah berupa wujud nyata dalam
meningkatkan keikutsertaan daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan
beragama, membantu program kerja pemerintah, juga skalanya hanya berlaku untuk
daerah tertentu. Perda bermuatan syariah tersebut dapat dibenarkan demi
hukum.
Sebaliknya, Mendagri Gamawan Fauzi menilai perda syariah secara
jelas bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah di mana agama merupakan satu
dari enam urusan pokok yang dikuasai pusat.
Daerah yang memberlakukan perda syariah tersebut sudah menyalahi
aturan yang berlaku. Anggota DPR Eva Kusuma Sundari juga menilai bahwa perda
syariah bermuatan diskriminatif dan melanggar HAM (Kompas, 6/6/2012).
Tidak Ada Dasar Hukum
Ditinjau dari sudut pandang yuridis formal dan positivistik,
keberadaan perda syariah dalam otonomi daerah secara konseptual tidak ada
dasar hukumnya. Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat) menganut teori
berjenjang (stufen theory) dari Hans Kelsen di mana dasar berlakunya dan
legalitas suatu norma terletak pada norma yang ada di atasnya.
Prinsip terkenal dari penerapan teori ini adalah berlakunya asas
hukum lex supperiori derogat lex
inferiori (hukum yang ada di bawah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang
di atasnya). Jika bertentangan, perda dapat dibatalkan demi hukum.
Dalam konteks keindonesiaan, hal ini ditemukan dalam ketentuan
Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan di mana perda berada di posisi paling bawah
dalam urutan legalitas setelah UUD 1945, UU/perppu, PP, perpres, dan perda;
sehingga sudah jelas substansi perda harus menginduk kepada peraturan di
atasnya, sekalipun perda itu merupakan bentuk otonomi daerah.
Argumentasi yang kerap muncul manakala perda syariah dimunculkan
adalah mengakomodasi representasi umat Islam sebagai pemeluk agama terbesar
dan demografisnya di mana mayoritas penduduknya adalah Islam. Pemahaman yang
ada dari substansi perda adalah ekspresi dari pandangan Islam literal yang
memaknai sumber fikih Islam yakni Alquran dan hadis sebatas makna harfiahnya
atau textbooked oriented.
Hal inilah yang kemudian membuat penerapan perda syariah menjadi
kaku, konservatif, dan terkesan “memaksa” bagi setiap warga menaatinya, tak
terkecuali umat minoritas juga wajib mendengar dan mematuhi umat Islam
sebagai aktor mayoritarian. Tercatat sejak 2001 hingga 2012 kini, sudah ada
57 perda syariah lebih yang diundangkan di daerah seperti Bulukamba,
Tasikmalaya, Solok, Cianjur, dan Aceh.
Perda syariah yang bernuansa kaku, konservatif, dan terkesan
“memaksa” malah menimbulkan budaya intimidatif yang justru dalam Islam sangat
melarang adanya sikap sedemikian tersebut. Jikalau perda syariah masih
dipandang perlu sebagai bentuk ekspresi politik identitas maupun otonomi
daerah, substansi syariahnya perlu diminimalkan karena hal itu menimbulkan
kesan eksklusif dan ekstremis.
Cukup dengan melakukan pribumisasi syariah Islam dengan membuka
ruang negosiasi kultural sendiri sudah bisa mereda kesan perda syariah
sebagai perda konservatif.
Artinya bahwa ajaran Islam merupakan agama inklusif sehingga
dalam menegakkan aturan hukum sendiri sekiranya perlu menimbangkan toleransi
terhadap sesama dan jangan terjebak pada sikap egoisme sempit tanpa melihat sesama.
Jika itu dilakukan maka perda tidak akan inkonstitusional dan bisa diterapkan
pada masyarakat meluas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar