Jumat, 04 Januari 2013

Masa Depan Suriah


Masa Depan Suriah
Marwan Ja’far ; Politikus PKB,
Ketua Dewan Pembina Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (Gemasaba)
REPUBLIKA,  03 Januari 2013


Saat ini Suriah benar-benar dalam kondisi ketidakpastian. Di tengah masa depan Suriah yang penuh ketidakpastian, negara-negara Barat justru memperlihatkan sikap bahwa mereka seakan tak ingin konfl ik di negara ini segera berakhir. Mereka tampak memanfaatkan situasi di Suriah ini dengan agendanya masing-masing. 
AS beserta beberapa negara Muslim yang tergabung dalam Liga Arab, misalnya Turki, menghendaki Dewan Keamanan PBB melakukan tindakan militer terhadap pemerintah Bashar al-Assad. Di sisi lain, Rusia dan Cina yang selama ini selalu berseberangan dengan AS dalam setiap kebijakan global tetap mendukung dan berada di belakang Presiden Bashar al-Assad.
Kondisi tersebut jelas memperlihatkan bahwa sesungguhnya konflik dan pergolakan di Suriah, sebagaimana konflik di wilayah Timur Tengah selama ini, telah menjadi ajang perebutan kepentingan, baik ekonomi maupun politik negara-negara Barat. Kapan revolusi akan berakhir? Tak ada yang bisa memprediksi. Konflik Suriah tidak meletup secara tiba-tiba. Revolusi perlawanan rakyat di kawasan Suriah ini tampaknya tak mengikuti secara mentah-mentah hal serupa di Tunisia dan Mesir.
Revolusi dan perlawanan rakyat Suriah bergerak dari kota-kota di pinggiran, untuk kemudian bergerak ke pusat kota, Damaskus. Hingga saat ini, kurang lebih 45 ribu rakyat Suriah telah meninggal dunia dan ratusan ribu lainnya telah mengungsi. Konflik di Suriah itu tidak hanya untuk menggulingkan Presiden Bashar al-Assad, tetapi juga dipicu masalah sektarian.
Ada hal menarik yang patut dicermati dalam melihat kasus Suriah ini kaitannya dengan lamanya konfl ik dan revolusi yang berlangsung. Beberapa analisis bisa diajukan di sini. Pertama, selama berkuasa, Hafez al-Assad, ayah Bashar al-Assad, berusaha melindungi diri serta kekuasaannya dengan cara mengembangkan suatu jaringan politik yang sangat kuat. 
Seperti ditulis Michael Broning (2012), selama dekade-dekade pemerintahannya, keluarga Assad dengan sangat kuat meng integrasikan militer ke dalam pemerintahan. Hafez al-Assad, setelah melakukan kudeta tak berdarah tahun 1970, memperkuat kedudukannya dengan membangun jaringan Alawite yang loyal dengan menempatkan mereka pada posisi-posisi penting. Sejak itulah kolaborasi militer, elite partai, dan polisi rahasia menyatu dan sangat sulit dipisahkan.
Kedua, kekuasaan Assad sangat kokoh karena dibangun di atas empat pilar, yakni kekuasaan berada penuh di tangan klan al-Assad, mempersatukan kaum minoritas Alawite, mengontrol seluruh aparatur militer-intelijen, dan terakhir monopoli Partai Ba'ath atas sistem politik. Keempat hal itu masih diperkuat dengan satu hal lagi, yakni Undang-Undang Darurat. Undang-undang inilah yang merupakan senjata ampuh untuk meredam dan menekan kekuatan politik yang ber seberangan.
Dengan semua itu tampaknya rezim Pemerintah Suriah masih mampu menghadapi berbagai perlawanan yang muncul. Karena itu pulalah, revolusi dan perlawanan yang digelorakan rakyat Suriah berlangsung demikian lama, memakan sangat banyak korban jiwa, dan belum diketahui kapan bakal berakhir.
Di luar itu semua, konfl ik Suriah ini juga telah menyeret kekuatan politik internasional yang sedang mencoba bermain demi kepentingan masing-masing. Tampak bahwa negara-negara adikuasa tengah menjajaki apa yang bisa menguntungkan mereka ketika konflik sedang berlangsung dan nanti jika berakhir. Maka itu, tak mengherankan telah terjadi tarik ulur kepentingan dan terlihat kurang maksimalnya komitmen, kepedulian, serta keterlibatan negara- negara Barat. 
Karena itu, tepat apa yang dikatakan James L Gelvin dalam 'The Arab Uprisings, What Everyone Needs To Now' (2012), setidaknya ada lima alasan yang menunjukkan mengapa Suriah begitu imun dari pergolakan Timur Tengah, meski banyak kekuatan politik Barat banyak yang ikut bermain. Pertama, sebelum pergolakan dan konfl ik muncul, Bashar al-Assad dikenal sebagai seorang pembaru. Ia adalah seorang didikan Barat dan sebenarnya tidak dipersiapkan ayahnya untuk menggantikannya. 
Kedua, sebagai pemimpin kubu per la wanan antiimperalis, Bashar al-Assad sangat berbeda dengan Husni Mubarak, misalnya, yang dianggap sebagai `anak buah' AS. Ketiga, Suriah memiliki pengalaman menumpas gerakan antipemerintah. Keempat, Suriah adalah negara yang heterogen secara agama. Dan, kelima, Suriah sendiri memiliki keyakinan bahwa ia akan tetap stabil.
Akankah revolusi di wilayah Suriah ini dapat menggulingkan kekuasaan Bashar al-Assad? Sejarahlah yang akan membuktikan. Revolusi Suriah belum bisa diterka kemana arahnya dan kapan akan berakhir. 
Pada titik ini, arat justru semakin menambah situasi tidak menentu di Suriah karena ada agenda yang mendesakkan kepentingannya masing-masing. Semua berebut posisi untuk menjadikan Suriah sebagai `anak buah'. Akankah Suriah dijadikan `laboratorium' unjuk kekuatan masing-masing blok di tengah pusaran kekuatan global?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar