Masa Depan
Suriah
Marwan Ja’far ; Politikus PKB,
Ketua Dewan Pembina Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa
(Gemasaba)
|
REPUBLIKA,
03 Januari 2013
Saat ini Suriah benar-benar
dalam kondisi ketidakpastian. Di tengah masa depan Suriah yang penuh
ketidakpastian, negara-negara Barat justru memperlihatkan sikap bahwa mereka
seakan tak ingin konfl ik di negara ini segera berakhir. Mereka tampak memanfaatkan
situasi di Suriah ini dengan agendanya masing-masing.
AS beserta beberapa
negara Muslim yang tergabung dalam Liga Arab, misalnya Turki, menghendaki
Dewan Keamanan PBB melakukan tindakan militer terhadap pemerintah Bashar al-Assad.
Di sisi lain, Rusia dan Cina yang selama ini selalu berseberangan dengan AS
dalam setiap kebijakan global tetap mendukung dan berada di belakang Presiden
Bashar al-Assad.
Kondisi tersebut jelas
memperlihatkan bahwa sesungguhnya konflik dan pergolakan di Suriah,
sebagaimana konflik di wilayah Timur Tengah selama ini, telah menjadi ajang
perebutan kepentingan, baik ekonomi maupun politik negara-negara Barat. Kapan
revolusi akan berakhir? Tak ada yang bisa memprediksi. Konflik Suriah tidak
meletup secara tiba-tiba. Revolusi perlawanan rakyat di kawasan Suriah ini
tampaknya tak mengikuti secara mentah-mentah hal serupa di Tunisia dan Mesir.
Revolusi dan
perlawanan rakyat Suriah bergerak dari kota-kota di pinggiran, untuk kemudian
bergerak ke pusat kota, Damaskus. Hingga saat ini, kurang lebih 45 ribu
rakyat Suriah telah meninggal dunia dan ratusan ribu lainnya telah mengungsi.
Konflik di Suriah itu tidak hanya untuk menggulingkan Presiden Bashar
al-Assad, tetapi juga dipicu masalah sektarian.
Ada hal menarik yang
patut dicermati dalam melihat kasus Suriah ini kaitannya dengan lamanya konfl
ik dan revolusi yang berlangsung. Beberapa analisis bisa diajukan di sini.
Pertama, selama berkuasa, Hafez al-Assad, ayah Bashar al-Assad, berusaha
melindungi diri serta kekuasaannya dengan cara mengembangkan suatu jaringan
politik yang sangat kuat.
Seperti ditulis
Michael Broning (2012), selama dekade-dekade pemerintahannya, keluarga Assad
dengan sangat kuat meng integrasikan militer ke dalam pemerintahan. Hafez
al-Assad, setelah melakukan kudeta tak berdarah tahun 1970, memperkuat
kedudukannya dengan membangun jaringan Alawite yang loyal dengan menempatkan
mereka pada posisi-posisi penting. Sejak itulah kolaborasi militer, elite
partai, dan polisi rahasia menyatu dan sangat sulit dipisahkan.
Kedua, kekuasaan Assad
sangat kokoh karena dibangun di atas empat pilar, yakni kekuasaan berada
penuh di tangan klan al-Assad, mempersatukan kaum minoritas Alawite,
mengontrol seluruh aparatur militer-intelijen, dan terakhir monopoli Partai
Ba'ath atas sistem politik. Keempat hal itu masih diperkuat dengan satu hal
lagi, yakni Undang-Undang Darurat. Undang-undang inilah yang merupakan
senjata ampuh untuk meredam dan menekan kekuatan politik yang ber seberangan.
Dengan semua itu
tampaknya rezim Pemerintah Suriah masih mampu menghadapi berbagai perlawanan
yang muncul. Karena itu pulalah, revolusi dan perlawanan yang digelorakan
rakyat Suriah berlangsung demikian lama, memakan sangat banyak korban jiwa,
dan belum diketahui kapan bakal berakhir.
Di luar itu semua,
konfl ik Suriah ini juga telah menyeret kekuatan politik internasional yang
sedang mencoba bermain demi kepentingan masing-masing. Tampak bahwa
negara-negara adikuasa tengah menjajaki apa yang bisa menguntungkan mereka
ketika konflik sedang berlangsung dan nanti jika berakhir. Maka itu, tak
mengherankan telah terjadi tarik ulur kepentingan dan terlihat kurang
maksimalnya komitmen, kepedulian, serta keterlibatan negara- negara
Barat.
Karena itu, tepat apa
yang dikatakan James L Gelvin dalam 'The
Arab Uprisings, What Everyone Needs To Now' (2012), setidaknya ada lima
alasan yang menunjukkan mengapa Suriah begitu imun dari pergolakan Timur
Tengah, meski banyak kekuatan politik Barat banyak yang ikut bermain.
Pertama, sebelum pergolakan dan konfl ik muncul, Bashar al-Assad dikenal
sebagai seorang pembaru. Ia adalah seorang didikan Barat dan sebenarnya tidak
dipersiapkan ayahnya untuk menggantikannya.
Kedua, sebagai
pemimpin kubu per la wanan antiimperalis, Bashar al-Assad sangat berbeda
dengan Husni Mubarak, misalnya, yang dianggap sebagai `anak buah' AS. Ketiga,
Suriah memiliki pengalaman menumpas gerakan antipemerintah. Keempat, Suriah
adalah negara yang heterogen secara agama. Dan, kelima, Suriah sendiri
memiliki keyakinan bahwa ia akan tetap stabil.
Akankah revolusi di wilayah Suriah ini dapat menggulingkan kekuasaan Bashar al-Assad? Sejarahlah yang akan membuktikan. Revolusi Suriah belum bisa diterka kemana arahnya dan kapan akan berakhir.
Pada titik ini, arat
justru semakin menambah situasi tidak menentu di Suriah karena ada agenda
yang mendesakkan kepentingannya masing-masing. Semua berebut posisi untuk
menjadikan Suriah sebagai `anak buah'. Akankah Suriah dijadikan `laboratorium'
unjuk kekuatan masing-masing blok di tengah pusaran kekuatan global? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar