Selasa, 22 Januari 2013

Pindah Ibu Kota


Pindah Ibu Kota
Rakhmat Hidayat ;  Pengajar Sosiologi Perkotaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD di Universite Lumiere Lyon 2, Prancis
REPUBLIKA, 22 Januari 2013


Pascabanjir besar yang melanda Jakarta, sebagai sebuah gagasan, rencana pemindahan ibu kota perlu diapresiasi. Wacana tersebut merupakan bagian dari diskursus pembangunan kota. Poin yang perlu dipertajam dari rencana ini adalah pemilihan kawasan baru sebagai ibu kota negara atau hanya sebatas pusat pemerintahan. 
Gagasan ini kembali mengingatkan kita tentang polemik rencana pemindahan ibu kota Indonesia yang mandek karena berbagai pertimbangan di level nasional. 
Tidak ada yang salah dengan gagasan tersebut. Penduduk Jakarta yang kini mencapai belasan juta jiwa menjadikan rencana tersebut semakin rasional.
Ledakan penduduk Indonesia secara masif terjadi di Jakarta. Secara lebih spesifik, terjadi dinamika yang sangat pesat dengan Kota Jakarta. Akselerasi Jakarta mampu mengundang pendatang dari berbagai daerah untuk studi, industri, perdagangan, bisnis, hingga berwirausaha. 
Ledakan penduduk di Jakarta menjadikan beban kota semakin berat.
Di sisi lain, Jakarta menghadapi tan tangan dengan akses lahan yang mendukung kehidupan warganya dengan aman dan nyaman. Ini menjadi ancaman bagi kapasitas kota serta kehidupan warganya untuk bisa lebih manusiawi dan humanis. Merespons gagasan pemindahan ibu kota, tentu harus dilakukan kajian secara komprehensif. 
Harus dilakukan kajian yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan terutama melibatkan para ahli dari berbagai bidang, dari mulai ahli planologi, ekonom, ahli lingkungan, hingga ahli ilmu sosial yang mampu memberikan perspektif interdisiplin tentang proyek ini.
Dengan cara ini, pemindahan ibu kota memiliki basis akademik yang mendukung sebagai landasan keputusan politik. Bukan perkara mudah dan instan mengeksekusi gagasan ini. Memindahkan ibu kota tidak hanya dipahami sebagai gejala fi sik dalam penataan infrastruktur.
Hal yang lebih strategis adalah adanya kesadaran berupa visi pembangunan kawasan yang harus dirancang dalam pembangunan sosial ekonomi. Rencana ini harus berbasiskan pada visi pembangunan kawasan. Artinya, harus dibangun kesadaran pentingnya akselerasi pengembangan kawasan. 
Pendekatan Komprehensif
Pemindahan ibu kota merupakan sebuah pendekatan komprehensif yang memberikan implikasi besar pada dimensi sosial ekonomi masyarakat di kawasan baru. Paling tidak ada dua perspektif utama yang harus dibangun dalam proyek pemindahan ibu kota. 
Pertama, persebaran dan pengembangan pusat pembangunan di berbagai kawasan. Akses masyarakat dalam pembangunan harus dioptimalkan. Pembangunan yang berpusat pada satu wilayah sudah tidak relevan lagi dalam konteks pembangunan sosial. Dominasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi-politik yang selama ini berkembang tidak bisa lepas dari strategi ekonomi politik orde baru yang mengedepankan sentralisasi.
Rezim mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan di satu kawasan tertentu sementara mengabaikan pengembangan kawasan di luar pusat pertumbuhan tersebut. Akibatnya, terjadi disparitas pembangunan sosial ekonomi di luar pusat-pusat pertumbuhan, terutama Pulau Jawa. 
Ketika orde baru, kita sering mendengar Indonesia adalah Pulau Jawa.
Kita juga mendengar Indonesia selalu identik dengan "Jakarta sentris". Tidak heran jika pascaorde baru muncul berbagai kekecewaan dalam bentuk gerakan separatisme yang diusung berbagai kelompok karena kekecewaan terhadap Jakarta akibat pembangunan yang tidak adil. 
Kita harus belajar pada pengalaman orde baru dalam mendesain strategi pembangunan ekonomi politik. Pembangunan yang bertumpu pada satu pusat kekuasaan bisa menjadi bom sosial di kemudian hari tanpa memperhatikan pengembangan kawasan lainnya. 
Apalagi pascaorde baru, Indonesia mempraktikkan otonomi daerah. Pengembangan kawasan melalui pemindahan ibu kota tentu saja berbeda dengan pemekaran kota/kabupaten/provinsi yang hanya berorientasi politik jangka pendek. 
Kedua, perspektif yang harus dibangun adalah adanya filosofi membangun berbagai pusat pertumbuhan yang memungkinkan terjadi akselerasi pembangunan sosial ekonomi di tingkat akar rumput. Saat ini berkembang secara masif era pemberdayaan sebagai konsekuensi logis dari model pembangunan berpusat kepada rakyat (people cenceterd development). Semakin banyak pusat pertumbuhan ekonomi yang dibangun akan modal pembangunan yang lebih berkeadilan sosial.
Kita tak lagi bergantung pada dominasi pusat pertumbuhan yang memarjinalkan peran kawasan lain. Pembangunan kawasan baru sebagai ibu kota memiliki prospek positif bagi dinamika lokal masyarakat setempat. Akan terjadi migrasi secara masif di kawasan baru. 
Ekonomi lokal akan berkembang lebih dinamis yang menggerakkan kehidupan masyarakat di sekitar daerah baru. Muncul berbagai hunian, kompleks perumahan untuk para karyawan/pegawai di sekitar kawasan tersebut.
Berkelanjutan
Dua perspektif itu sebenarnya memberikan ruang bagi eksekusi wacana pemindahan ibu kota untuk menjadi pusat pertumbuhan strategis di kawasan sekitarnya. Kawasan ini akan menjadi magnet sosial ekonomi bagi penduduk di sekitar wilayah sekitarnya. 
Rencana pemindahan ibu kota akan lebih rasional jika bertumpu pada visi pengembangan kawasan dengan dukungan terobosan politik dari pengambil kebijakan. Meski menjadi otoritas politik, sejatinya proyek ini tidak didasarkan pada kepentingan politik jangka pendek dari berbagai kalangan, khususnya politisi. 
Penggunaan pendekatan politik an sich tanpa diperkuat visi pengembangan kawasan justru akan kontraproduktif dengan strategi pembangunan sosial. Ini akan menjadi kepentingan sesaat tanpa berpikir visioner. Kita memerlukan visi pembangunan berkelanjutan (sustainable) sebagai prasyarat filosofis pembangunan kawasan.
Menjadi keniscayaan jika prasyarat keberlanjutan mendasari proyek ini karena dengan cara ini, kita akan berpikir proyeksi pembangunan nasional 10 tahun atau 20 tahun mendatang. Cara berpikir ini mendukung bagaimana membangun kawasan lebih baik pada masa mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar