Selasa, 22 Januari 2013

Terorisme dan Korupsi


Terorisme dan Korupsi
Saharuddin Daming ;  Advokat dan Anggota Dewan Pakar Pushami
REPUBLIKA, 22 Januari 2013


Dalam mitologi Yunani Kuno, menurut Hommer, Themis sebagai sim bol dewi keadilan digambarkan dalam ke adaan mata tertutup, tangan kiri memegang neraca, dan pedang terhunus di tangan kanannya. Hal ini menyiratkan bahwa hukum sejatinya bersikap tegas untuk menebas siapa saja yang menghalangi tegaknya hukum dan keadilan tanpa pandang bulu. 
Mitologi tersebut kini mengalami pembiasan, justru oleh para hakim sebagai ahli waris sang dewi. Mereka bahkan berani membangkang titah sang dewi dengan putusan yang sangat keras dan tegas pada kasus tertentu, tetapi lemas dan tumpul pada kasus lainnya.
Tengoklah perilaku hakim ketika mengadili kasus terorisme. Mereka cenderung mengambil keputusan yang sangat tegas dan keras. Jangankan pelaku utama hingga dader intelektual, pelaku penyerta, pembantu, bahkan yang hanya berperan sebagai penerima tumpangan terduga teroris, semuanya diganjar hukuman berat meski ia sama sekali tidak tahu kalau orang yang diberi tumpangan merupakan teroris. 
Tak hanya itu, sebagian besar dader intelektual terorisme diganjar pidana mati hingga seumur hidup. Sedangkan, untuk kategori lainnya kebanyakan divonis penjara 10-20 tahun. Fakta yang sangat mencengangkan adalah perburuan tersangka teroris begitu gencar dan sangat mudah ditemukan meski bersembunyi di lubang semut sekalipun. 
Kontrasnya, meski aroma korupsi tercium di mana-mana, sulit sekali menemukan tersangkanya. Kalaupun akhirnya ditemukan, sikap tegas nyaris diabaikan. Ironisnya, meskipun mendapat hukuman ringan, mereka lazim mendapatkan remisi secara berganda. Jika ada yang divonis dengan hukuman berat maka ketegasan seperti itu meru- pakan barang langka. 
Paradoksnya lagi, meski belum dinyatakan tersangka, sebagian besar orang yang diidentikkan sebagai anggota jaringan teroris diperlakukan dengan sangat kasar dan tidak manusiawi. Mereka dipaksa untuk mengakui segala tuduhan dan jika berani berkata jujur mereka menghadapi risiko tindak kekerasan, termasuk tembak di tempat. 
Padahal, densus 88 sebagai aparat penegak hukum hanya berpegang pada data-data intelejen. Jika mereka ada yang tertangkap dan ditahan, semuanya mengalami pelanggaran HAM serius. Mulai dari arbitrary extra judicial killing, penyiksaan, dan berbagai perlakukan yang merendahkan martabat manusia hingga perusakan harta benda dan pembatasan ketat untuk berkomunikasi dengan keluarga maupun advokat.
Bandingkan dengan penanganan kasus korupsi yang meski sudah dinyatakan sebagai tersangka dengan bukti yang sangat kuat, tak satu pun yang langsung ditahan kecuali ia tertangkap tangan. Akibatnya, tersangka maupun pihak yang berkepentingan mempunyai ruang waktu yang sangat strategis untuk mereduksi dan mengeleminasi barang bukti. 
Dalam proses penahanan, tak ada koruptor yang pernah mengalami penyiksaan, apalagi penembakan sekalipun mereka menyangkal semua tuduhan dengan kebohongan besar. Mereka semua diperlakukan sangat manusiawi, bahkan ada yang menerima fasilitas eksklusif sebagaimana yang pernah dinikmati Ayin. 
Ini benar-benar aneh karena korupsi dalam segala bentuknya telah dinyatakan sebagai extraordinary crime sekaligus sebagai the common enemy, tapi law enforcement bagi para pelaku terkesan lemas dan diskriminatif. Buktinya, siapa pun yang dinyatakan sebagai tersangka jaringan teroris maka semua posisi formalnya dalam struktur negara langsung dibekukan tanpa ampun. 
Hal ini sangat berbeda dengan penanganan kasus korupsi. Jangankan sebagai tersangka, sudah divonis sekalipun status formalnya tidak serta-merta hilang. Lihat saja kasus Angelina Sondakh yang telah divonis, Kamis (10/1), ternyata masih menerima gaji sebagai anggota DPR RI. 
Hebatnya lagi karena ada sejumlah koruptor yang telah menjalani eksekusi penjara justru tetap dilantik karena terpilih sebagai pejabat publik. Ia pun kemudian melantik para pejabat bawahannya, di mana prosesi pelantikan seluruhnya berlangsung dalam penjara. 
Jika dalam kasus terorisme semua properti yang menjadi barang bukti langsung disita dan tidak pernah lagi kembali kepada pemilik sekalipun dalam putusan hakim barang tersebut tidak terkait dengan perkara, realitas ini lagi- lagi berbeda dengan kasus korupsi. 
Di sinilah praktik diskriminasi pa- ling krusial tentang law enforcement terhadap kedua extraordinary crime tersebut. Padahal, bukankah otoritas negara telah berkomitmen untuk memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya. Tapi, mengapa aparat penegak hukum khususnya hakim dalam memutus perkara justru menebas para koruptor dengan pedang yang sangat tumpul?
Mungkinkah pedang yang diwariskan dewi keadilan tersebut terlumuri aneka sepuhan, sehingga kehilangan daya tajamnya? Hal yang pasti adalah bahwa hakim dalam memutus perkara tidak ada lagi yang menggunakan penutup mata sebagaimana titah sang dewi. Akibatnya, banyak oknum hakim bermain mata dengan koruptor. Tidak heran jika unsur- unsur pemberatan hukuman dalam peraturan hukum tentang pemberantasan korupsi lebih sering dicampakkan dengan menonjolkan unsur-unsur keringanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar