Kamis, 03 Januari 2013

Menggugat Pragmatisme


Menggugat Pragmatisme
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  02 Januari 2013

  

TAHUN Baru menjadi energi baru bagi bangsa Indonesia untuk meneguhkan kembali semangat perjuangan dalam membangun Indonesia. Energi baru harus diaplikasikan dengan strategis karena Indonesia sekarang ini masih dililit korupsi dan hedonisme yang menggurita. Hedonisme yang diperlihatkan para elite politik dan pejabat negara telah meruntuhkan moralitas politik di Indonesia karena pada saat yang sama, rakyat masih berada di jurang kesenjangan sosial. Bukan hanya itu, hedonisme juga salah satu pangkal lahirnya korupsi. Mereka yang hedonis akan begitu mudah melakukan korupsi karena dengan korupsi itulah mereka mampu memenuhi kebutuhan hedonis.
Hedonisme tak lain merupakan wujud pragmatisme yang sedang berkembang biak di negeri ini. Apa pun yang dilakukan kaum elite sekarang, mereka hanya berorientasi kepada keuntungan pribadi dan kelompok. Apa pun yang tidak memberikan keuntungan, akan ditinggalkan. Makanya, ketika menduduki sebuah jabatan, yang mereka lakukan ialah meraih keuntungan. Apa yang tidak menguntungkan tidak lagi dianggap, karena dianggap merugikan.
Pragmatisme tak lain disebabkan bangsa ini selama 32 tahun telah belajar menjadi kaya dan mencari keuntungan pribadi. Selama 32 tahun tidak hanya diajari, tetapi juga diberi keteladanan. Itu sebabnya banyak orang Indonesia begitu canggih dalam korupsi dan mengeruk kekayaan negara. Itu wajar karena belajar selama 32 tahun selamanya. Sementara era reformasi baru berjalan 14 tahun, itu pun masih banyak dibajak. Jangan heran bila naluri pragmatis sudah mendarah daging di bangsa ini.
Kenyataan hedonisme dan pragmatisme itu menjadi catatan khusus bagi dunia pendidikan di Indonesia. Banyaknya kasus korupsi ternyata dilakukan kaum terdidik yang tak lain lulusan sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi. Para koruptor kehilangan hati nurani, mereka tidak memiliki nilai integritas yang tinggi. Selama ini perguruan tinggi melupakan hal yang mungkin dianggap remeh tapi membahayakan, yaitu melupakan pembentukan integritas pada mahasiswanya untuk menjadi pribadi yang jujur dan antikorupsi. Karena itu, yang muncul sekarang ini ialah pribadi yang melupakan hati nurani.
Tanggung Jawab Pendidikan
Krisis karakter yang mendera kaum terdidik itulah yang menjadi perhatian serius dunia pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya terkait dengan integritas kaum terdidik dalam menegakkan keadilan sosial. Kaidah keadilan sosial yang dijunjung kaum terdidik mesti akan mampu menegak kan masa depan yang bermartabat dan berkeadaban. Kaum terdidik yang miskin integritas telah menjauhkan tujuan pendidikan, yakni menjadikan peserta didik `manusia yang utuh sempurna' atau `manusia purnawan' (Driyarkara, 2006: 269).
Tercapainya kesempurnaan, menurut Imam Al-Ghazali, ditunjukkan dengan terbentuknya pribadi yang bermoral atau moral character sehingga mampu menjalankan perbuatan yang utama. Pribadi yang bermoral ialah yang memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai dengan nilainilai luhur kemanusiaan. Kemampuan seperti itu ada pada hati nurani yang telah mencapai kedewasaan. Maka, segala usaha yang bertujuan untuk membina hati nurani mesti diarahkan agar mempunyai kepekaan dan penghayatan atas nilai-nilai yang luhur.
Agar pendidikan karakter mampu mencipta pribadi-pribadi yang berintegritas dalam pemberantasan korupsi, titik masuk ke sana tak lain ialah mewujudkan kurikulum yang berkarakter. Kurikulum merupakan jantung pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pendidikan budaya dan karakter bangsa (Srisumardiningsih dkk, 2010: 1).
Kurikulum memiliki makna yang sangat luas seperti yang disampaikan Suharsimi Arikunto dalam bukunya, Manajemen Kurikulum (2009). Menurut dia, kurikulum ialah semua pengalaman yang disediakan lembaga pendidikan bagi peserta didik. Dari situ sangat jelas bahwa kurikulum bukan hanya materi yang diajarkan guru/dosen pada siswa/ mahasiswa di kelas, melainkan melibatkan semua aspek dalam sekolah/perguruan tinggi, seperti aspek perilaku baik perilaku guru/dosen terhadap siswa/mahasiswa, siswa/mahasiswa terhadap guru/dosen, ataupun perilaku stakeholdernya.
Dalam membangun kurikulum yang berkarakter, tidaklah harus terus berupa mata kuliah yang independen dan tersendiri. Karena kurikulum yang berkarakter sejatinya merupakan good living values yang dapat muncul dalam berbagai mata kuliah di perguruan tinggi.
Karakter Kebangsaan
Gemuruh hedonisme harus dilawan. Karakter kebangsaan kita telah rapuh, kehilangan daya juang melawan ketidakadilan, dan takluk oleh hegemoni kapital dan kekuasaan. Itu jelas kabar buruk yang harus diluruskan dan dilawan karena karakter kebangsaan kita yang telah ditancapkan para pendiri bangsa sudah mengajarkan nilai-nilai luhur untuk membangun karakter yang berintegritas, berdaya juang tinggi, dan berguna secara efektif bagi masa depan bangsa.
Karakter kebangsaan itu harus ditata dan diteguhkan dalam kurikulum yang berkarakter baik di sekolah dan perguruan tinggi. Para pejabat, akademisi, dan publik harus membuka ruang baru dan gagasan revolusioner dalam mencipta strategi baru ihwal pendidikan karakter dan implementasi pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan di Indonesia untuk menggapai komitmen kebangsaan secara utuh dan paripurna.
Sosialisasi pendidikan yang berkarakter kebangsaan benar-benar harus dilakukan dengan baik sehingga publik dapat mengakses semua informasi penting bagi kemajuan pendidikan politik kebangsaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar