Menggugat
Pragmatisme
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program
Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Januari 2013
TAHUN Baru menjadi energi baru bagi bangsa Indonesia untuk
meneguhkan kembali semangat perjuangan dalam membangun Indonesia. Energi baru
harus diaplikasikan dengan strategis karena Indonesia sekarang ini masih
dililit korupsi dan hedonisme yang menggurita. Hedonisme yang diperlihatkan para
elite politik dan pejabat negara telah meruntuhkan moralitas politik di
Indonesia karena pada saat yang sama, rakyat masih berada di jurang
kesenjangan sosial. Bukan hanya itu, hedonisme juga salah satu pangkal
lahirnya korupsi. Mereka yang hedonis akan begitu mudah melakukan korupsi
karena dengan korupsi itulah mereka mampu memenuhi kebutuhan hedonis.
Hedonisme tak lain merupakan wujud pragmatisme yang sedang
berkembang biak di negeri ini. Apa pun yang dilakukan kaum elite sekarang,
mereka hanya berorientasi kepada keuntungan pribadi dan kelompok. Apa pun
yang tidak memberikan keuntungan, akan ditinggalkan. Makanya, ketika
menduduki sebuah jabatan, yang mereka lakukan ialah meraih keuntungan. Apa
yang tidak menguntungkan tidak lagi dianggap, karena dianggap merugikan.
Pragmatisme tak lain disebabkan bangsa ini selama 32 tahun telah
belajar menjadi kaya dan mencari keuntungan pribadi. Selama 32 tahun tidak
hanya diajari, tetapi juga diberi keteladanan. Itu sebabnya banyak orang
Indonesia begitu canggih dalam korupsi dan mengeruk kekayaan negara. Itu
wajar karena belajar selama 32 tahun selamanya. Sementara era reformasi baru
berjalan 14 tahun, itu pun masih banyak dibajak. Jangan heran bila naluri
pragmatis sudah mendarah daging di bangsa ini.
Kenyataan hedonisme dan pragmatisme itu menjadi catatan khusus
bagi dunia pendidikan di Indonesia. Banyaknya kasus korupsi ternyata
dilakukan kaum terdidik yang tak lain lulusan sekolah, madrasah, dan
perguruan tinggi. Para koruptor kehilangan hati nurani, mereka tidak memiliki
nilai integritas yang tinggi. Selama ini perguruan tinggi melupakan hal yang
mungkin dianggap remeh tapi membahayakan, yaitu melupakan pembentukan
integritas pada mahasiswanya untuk menjadi pribadi yang jujur dan
antikorupsi. Karena itu, yang muncul sekarang ini ialah pribadi yang
melupakan hati nurani.
Tanggung Jawab
Pendidikan
Krisis karakter yang mendera kaum terdidik itulah yang menjadi
perhatian serius dunia pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya terkait
dengan integritas kaum terdidik dalam menegakkan keadilan sosial. Kaidah
keadilan sosial yang dijunjung kaum terdidik mesti akan mampu menegak kan
masa depan yang bermartabat dan berkeadaban. Kaum terdidik yang miskin
integritas telah menjauhkan tujuan pendidikan, yakni menjadikan peserta didik
`manusia yang utuh sempurna' atau `manusia purnawan' (Driyarkara, 2006: 269).
Tercapainya kesempurnaan, menurut Imam Al-Ghazali, ditunjukkan
dengan terbentuknya pribadi yang bermoral atau moral character sehingga mampu
menjalankan perbuatan yang utama. Pribadi yang bermoral ialah yang memiliki
kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai dengan nilainilai luhur
kemanusiaan. Kemampuan seperti itu ada pada hati nurani yang telah mencapai
kedewasaan. Maka, segala usaha yang bertujuan untuk membina hati nurani mesti
diarahkan agar mempunyai kepekaan dan penghayatan atas nilai-nilai yang
luhur.
Agar pendidikan karakter mampu mencipta pribadi-pribadi yang
berintegritas dalam pemberantasan korupsi, titik masuk ke sana tak lain ialah
mewujudkan kurikulum yang berkarakter. Kurikulum merupakan jantung pendidikan
(curriculum is the heart of education).
Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum memberikan perhatian yang lebih
besar terhadap pendidikan budaya dan karakter bangsa (Srisumardiningsih dkk,
2010: 1).
Kurikulum memiliki makna yang sangat luas seperti yang
disampaikan Suharsimi Arikunto dalam bukunya, Manajemen Kurikulum (2009). Menurut
dia, kurikulum ialah semua pengalaman yang disediakan lembaga pendidikan bagi
peserta didik. Dari situ sangat jelas bahwa kurikulum bukan hanya materi yang
diajarkan guru/dosen pada siswa/ mahasiswa di kelas, melainkan melibatkan
semua aspek dalam sekolah/perguruan tinggi, seperti aspek perilaku baik
perilaku guru/dosen terhadap siswa/mahasiswa, siswa/mahasiswa terhadap
guru/dosen, ataupun perilaku stakeholdernya.
Dalam membangun kurikulum yang berkarakter, tidaklah harus terus
berupa mata kuliah yang independen dan tersendiri. Karena kurikulum yang
berkarakter sejatinya merupakan good
living values yang dapat muncul dalam berbagai mata kuliah di perguruan
tinggi.
Karakter Kebangsaan
Gemuruh hedonisme harus dilawan. Karakter kebangsaan kita telah
rapuh, kehilangan daya juang melawan ketidakadilan, dan takluk oleh hegemoni
kapital dan kekuasaan. Itu jelas kabar buruk yang harus diluruskan dan
dilawan karena karakter kebangsaan kita yang telah ditancapkan para pendiri
bangsa sudah mengajarkan nilai-nilai luhur untuk membangun karakter yang
berintegritas, berdaya juang tinggi, dan berguna secara efektif bagi masa
depan bangsa.
Karakter kebangsaan itu harus ditata dan diteguhkan dalam
kurikulum yang berkarakter baik di sekolah dan perguruan tinggi. Para
pejabat, akademisi, dan publik harus membuka ruang baru dan gagasan
revolusioner dalam mencipta strategi baru ihwal pendidikan karakter dan
implementasi pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan di Indonesia untuk
menggapai komitmen kebangsaan secara utuh dan paripurna.
Sosialisasi pendidikan yang berkarakter kebangsaan benar-benar
harus dilakukan dengan baik sehingga publik dapat mengakses semua informasi
penting bagi kemajuan pendidikan politik kebangsaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar