Rabu, 16 Januari 2013

Memimpin Diri Sendiri


Memimpin Diri Sendiri
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM UI
JAWA POS, 15 Januari 2013



PEPATAH lama mengajarkan kebijaksanaan: ''Sebelum memimpin orang lain, pimpinlah dirimu lebih dulu.'' Sedangkan pepatah lainnya mengatakan: ''Taklukkanlah dirimu sebelum menaklukkan orang lain.'' Dalam buku Recode Your Change DNA, saya pernah menulis, ''Kala kita bodoh, kita ingin mengendalikan orang lain. Kala kita pintar, kita justru ingin menaklukkan diri sendiri.''

Mengapa memimpin orang lain tidak mudah? Salah satu jawabannya, manusia sulit menaklukkan diri sendiri. Ya, orang-orang yang sulit menaklukkan dirinya sendiri akan sulit memengaruhi orang lain.

Di atas Galata Bridge yang menyambungkan kawasan Golden Horn di Selat Bosphorus, Turki, 31 Desember 2012, saya menemukan ratusan orang yang tengah bertarung melawan diri sendiri. Masing-masing orang berebut sepotong kavling di sisi jembatan. Ya, kavling sempit, sesempit diri masing-masing dengan celah 20-30 cm untuk memutar badan menarik kail. Masing-masing orang itu memang menggenggam sebatang kail yang dilengkapi umpan. 

Seperti bertarung melawan burung-burung laut, mereka tekun menunggu umpannya ditelan ikan-ikan kecil. Pertarungan segi tiga: menaklukkan ikan-ikan yang kelebihan makanan, memperebutkannya melawan burung-burung laut, dan satu lagi, tetangga yang melempar kail di sisi kiri dan kanan. Oh iya, ada satu lagi, dan ini yang terpenting: bertarung melawan kenikmatan-kenikmatan diri. Bagi Anda yang ingin dapat hasil cepat, tentu saja hal itu membosankan.

Hari sudah petang saat ribuan orang justru tengah berdandan menuju Taksim Square, tempat pusat keramaian pesta menyambut tahun baru. Udara semakin dingin, sekitar 3 derajat Celsius, dan angin bertiup sejuk-sejuk basah. Lampu kelap-kelip, bunyi trompet, bau aroma parfum Turki, lengkap dengan toko-toko yang tetap buka di sepanjang jalan Istiqlal menyambut ribuan orang dan turis asing. Sementara itu, di Galata Bridge, kelompok yang lain menyatakan, ''Ini saatnya menaklukkan diri.''

Di bawah jembatan, ratusan pedagang Arab yang meneruskan tradisi dagang rempah-rempah sejak abad ke-6 Masehi tetap bergeming dan melayani pembeli. Seakan lupa, malam ini adalah malam yang penting. Suara azan Magrib mengisyaratkan mereka untuk berhenti. Tapi, gairah berdagang sulit ditahan. Waktu terus bergerak saat saya mendatangi mereka. Dan satu per satu seakan tersadar, toko harus segera ditutup. Dan ribuan orang segera meninggalkan Egyptian, Bazaar.

Tidak seperti jutaan orang lainnya yang menunggu detik-detik pergantian tahun dengan kedinginan, kaum pedagang di Turki bagaikan tengah kepanasan. Tak sulit menemukan siapa jati diri mereka. Mereka adalah keturunan tentara Ottoman yang dulu mahir memainkan senjata hingga menaklukkan Romawi. Di tangan mereka kerajaan Islam berjaya, namun di tangan mereka pula modernisasi digalakkan. Mereka pedagang yang ulet sekaligus bangsa yang tak terkurung pada masa lalu.

Sulit bagi saya melupakan dua kelompok manusia yang dipisahkan jarak yang sangat sempit. Hanya sejauh 2 kilometer, dua pemandangan berbeda saya temui. Yang satu (di Taksim Square) menikmati, yang satu berjaga (di Galata Bridge). 

Seperti itulah kehidupan. Seorang pengail ikan yang bertarung menahan lapar di atas Galata Bridge berkata begini, ''Jangan terkecoh oleh dandanan orang Turki. Di sini, bahkan pengemis pun berpakaian rapi bak nyonya besar. Setiap orang hanya bisa dibedakan dari apa yang mereka lakukan, bukan oleh apa yang mereka kenakan.''

Di Galata Bridge orang bekerja. Di jalan Istiqlal orang berbelanja. Begitulah kehidupan di negeri dua benua. Di satu sisi mereka adalah Eropa, di sisi yang lain Asia. Sebagian besar orang Turki bekerja di Eropa, bertempat tinggal di Asia. Bagi orang Asia, Turki adalah Barat, sedangkan di Barat mereka dianggap Timur. Mereka yang di Barat ingin ke Timur dan yang di Timur ingin ke Barat. Bertemunya di Galata Bridge itulah.

Anak saya yang masih duduk di sebuah kolese di Selandia Baru menimpali: ''Sebenarnya sama saja dengan orang Indonesia. Apa yang dimiliki tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan siapa dia. Mobil boleh saja BMW seri 5 atau Daihatsu yang termurah. Yang satu anak menteri, yang satunya lagi anak rakyat biasa. Saat menabrak dan menghilangkan nyawa orang, keduanya sama-sama bertarung melawan batin masing-masing. Yang membedakan mereka hanyalah tanggung jawab. Yang satu turun menyelamatkan korban, yang satunya lari dari tanggung jawab, bahkan mencetak korban-korban baru karena melarikan diri.''

Tapi, bukankah orang sering terkecoh dengan label? Tengok saja komentar-komentar di bawah setiap berita, anak menteri seolah dikesankan lari dari hukum. Padahal, mereka dibentuk dari self, bukan label. Itulah yang membedakan manusia, yaitu apa yang bergejolak dalam diri masing-masing.

Di media massa, saya membaca berbagai komentar. Sudah pasti lebih banyak amarah dan pikiran-pikiran negatif. Rasa anti terhadap anak menteri pasti lebih kuat daripada anak biasa-biasa saja. Ada semacam luka batin yang menganga kuat di masyarakat kita yang dibentuk oleh ketidakadilan yang tidak bisa diberikan sistem penegakan hukum sejak zaman kemerdekaan yang semakin parah pascareformasi. 

Pada awal tahun ini, saya ingin menjajah eksekutif-eksekutif Indonesia, juga para guru dan rakyat biasa, untuk tidak sekadar menaklukkan orang lain. Kematangan kita terletak dalam cara kita menyalahkan kata-kata jahat dalam diri kita. Itulah self leadership.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar