Selasa, 22 Januari 2013

Kesurupan


Kesurupan
Sindhunata ;  Pemimpin Redaksi Majalah Basis Yogyakarta; Kurator Bentara Budaya
KOMPAS, 22 Januari 2013



Kota Yogyakarta diguyur hujan lebat di siang hari, Selasa (15/1) lalu. Bersamaan suara hujan deras terdengar musik jatilan ditabuh keras.
Lebatnya hujan bukanlah penghalang bagi penonton untuk berdatangan memenuhi Pasar Yakopan di halaman Bentara Budaya Yogyakarta. Tak berapa lama kemudian, para penari putri dari kelompok jatilan Panji Banyu Seto, Mlati, Sleman, memasuki kalangan. Tak seperti biasanya, penari kuda kepang atau jatilan yang berdandan cantik itu ternyata datang dengan memegangi topeng Angelina Sondakh di mukanya. Mereka menari dengan jenaka, menggerak-gerakkan topeng mantan Putri Indonesia yang terlibat korupsi dan baru saja dijatuhi hukuman oleh majelis hakim pengadilan tipikor. Siang itu Angie seakan menjelma di Pasar Yakopan, berjoget ria, melepas kelegaannya. Joget ria jatilan Angie ini serasa menambah geram dan jengkel publik yang tak habis mengerti bagaimana mungkin pengadilan Angie yang dramatis dan penuh emosi berakhir antiklimaks, majelis hakim tipikor akhirnya menjatuhkan hukuman jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa?
Angie boleh lega, tetapi rakyat sungguh pedih hatinya karena tertusuk dan terlecehkan rasa keadilannya. Inilah rasa yang ditimbulkan para penari yang sedang ndadi, atau kesurupan Angie, siang hari itu. Pentas jatilan itu makin heboh ketika beberapa seniman Yogyakarta masuk ke pentas memakai topeng Roy Suryo. Kebetulan siang itu Roy sedang dilantik Presiden SBY jadi Menpora. Para seniman bertopeng Roy, yang asalnya juga dari Yogya, kemudian menari-nari gembira. Musik jatilan meninggi. Para seniman itu pun berakting kesurupan. Mereka bergulung-gulung. Lalu menunggangi kuda lumping, mengambil pecut, memecuti dan saling mengadu kudanya.
Ada juga yang dengan rakus menjejalkan bunga dan pisang sajen ke dalam mulutnya. Ulah mereka sungguh gila-gilaan. Namanya saja kesurupan, tak jelas mereka mau apa. Mungkin mau bergembira bersama Roy yang tak dinyana tiba-tiba jadi Menpora? Kan, mereka sama-sama orang Yogya? Atau mungkin mereka ingin memperagakan diri bahwa mereka sungguh tak mengerti lagi dengan ulah tak terduga kekuasaan dan perilaku politik di negeri ini. Para seniman itu seakan mendramakan lakon yang membawa warta, bahwa di negeri ini politik kita memang sedang kesurupan.
Sesungguhnya acara jatilan itu tak berdiri sendiri. Acara dimaksudkan sebagai pembukaan pameran ”Kesurupan Kuda Lumping” di Bentara Budaya Yogyakarta, 15-23 Januari 2013. Ide pameran bermula dari protes seniman dan budayawan terhadap pernyataan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo yang tahun lalu sempat berkata, jatilan termasuk kesenian terjelek di dunia. Para seniman yang mencintai tradisi tentu tersinggung. Sebagai protes, para perupa Yogya dan Jateng mengadakan diskusi dan kemudian menggelar pameran lukisan itu. Ternyata para peserta pameran tak lagi bicara dengan jatilan atau kuda lumping secara tradisional. Mereka mengangkat tema kesurupan dan menyoroti betapa budaya dan politik kita sedang dilanda kesurupan. Pramono Pinunggul membuat patung gadis cantik naik kuda kepang, tetapi gaya, busana, dan dandanannya bukan seperti penari jatilan, melainkan penari gangnam.
Kita sedang dilanda demam gangnam, tari kuda-kudaan dari Korsel. Padahal, kita punya jatilan, yang juga tari kuda-kudaan. Dengan kreasi dan kerja keras, siapa tahu jatilan bisa digarap jadi tari modern yang sesuai selera dan kebudayaan kita. Namun, siapa peduli, ”Wong jatilan itu, kan, seni terjelek di dunia?” Sikap malas dan enggan menghargai kebudayaan sendiri ini membuat budaya kita rapuh. Tak heran mudah dilabrak kebudayaan asing dan kehilangan identitas. Dalam karya berjudul ”Gangnam Kepang”, si gadis cantik yang dadanya sedikit terbuka naik kuda kepang. Namun, gerak, spirit, dan jiwanya gangnam. Gangnam-lah roh yang menunggangi kuda kepang itu sehingga kuda kepang Jawa itu hanya jadi sebuah raga yang kalah. Itulah ibarat, kita kalah karena kita membiarkan budaya kita diinjak-injak budaya asing.
Jatilan adalah seni khas Jawa. Pemainnya memakai ikat kepala dan sumping di telinga. Namun, Yaksa Agus menggambarkan pemain jatilan itu memakai topi, baju, dan terompah Melayu? Lho, kok, ada Jatilan Melayu? Ada, karena jatilan itu sedang melayu. Dalam bahasa Jawa, melayu, tepatnya mlayu, adalah lari atau melarikan diri. Jatilan kita sedang lari dari diri kita karena kita tidak memeliharanya. Negara tetanggalah yang kemudian memelihara; tak heran jatilan yang melayu itu akhirnya benar-benar jadi ”Jatilan Melayu”. Itulah akibat dari kecerobohan sikap kita terhadap budaya: harta budaya kita jadi diserobot negara tetangga. Jatilan Melayu adalah peringatan, betapa kita tak menghargai budaya kita sendiri. Akibatnya, kita kehilangan roh yang menghidupi kita. Kita seperti sekadar materi atau wadah, yang bisa dirasuki kekuatan dari luar, yang memperbudak dan menjahatkan kita. Hampir di semua bidang kehidupan, kita seperti lupa diri, persis orang kesurupan.
Hakim Rakus
Kesurupan jelas juga sedang melanda pengadilan kita. Itulah yang digambarkan perupa Djoko Pekik dalam ”Pawang Pun Kesurupan”. Terlihat di sana tiga hakim berada di meja pengadilan. Di belakang mereka duduk berderet-deret orang, yang mengesankan mereka sedang bersidang di Gedung DPR Senayan. Hakim-hakim itu berwibawa karena toganya yang perbawa. Mereka duduk di kursi yang tinggi sandarannya. Kursi hakim yang tinggi ini lambang mereka makhluk mulia karena memegang tampuk hukum dan keadilan, yang harus dijunjung di atas segalanya. Namun, apa yang mereka pegang? Bukan palu ketegasan, melainkan tikus busuk dan kadal. Sesuai dengan kemuliaan dan kemegahannya, seharusnya mereka menangkap macan atau singa. Kenapa hanya tikus dan kadal di tangan mereka? Semua tahu jawabnya: tak bakal pengadilan kita berani menangkap atau menuntaskan kasus penjahat atau koruptor yang jahat dan serakahnya seperti macan atau singa. Pengadilan kita hanya sandiwara, cukuplah di sana dipentaskan drama tertangkapnya penjahat dan koruptor kelas tikus kecil-kecil itu.
Lebih memilukan lagi: di hadapan meja pengadilan kelihatan sekelompok pemain jatilan sedang ndadi. Di antara mereka terlihat seorang bertoga seperti jaksa ikut ndadi. Para pemain jatilan itu memakan bunga, sementara si makhluk bertoga menyosor ayam sajen. Dengan rakus, ia memamah ayam itu, persis pemain jatilan di puncak kesurupannya. Makhluk bertoga itu benar-benar tak ingat dirinya lagi. Ia seperti pawang yang seharusnya menertibkan chaos yang terjadi, tetapi ia sendiri malah ndadi. Kalau pawang ikut kesurupan, mana mungkin ia bisa menyembuhkan kelompoknya yang kesurupan.
Kalau pengadilan kita karut-marut, ditunggangi kepentingan sana sini, dan para koruptor makin ndadi dalam kebohongan dan kelicikannya, hakim dan jaksa mestinya menegakkan wibawa sampai ke tingkat kebijaksanaan, kewibawaan, dan keadilannya tertinggi. Namun, mereka malah ikut dalam karut-marut, kelicikan dan kebohongan. Maka, ruang pengadilan kian tak terkendali, ibarat pentas jatilan. Pawangnya, yakni para hakim dan jaksa, ikut kesurupan. Itulah istilah kebudayaan bagi dunia pengadilan kita yang rusak dewasa ini. Benar-benar chaos karena di ruang pengadilan itu juga tampak seorang hakim bertoga sedang asyik memeluk seorang perempuan, yang kesannya tersangka cantik yang sedang diadilinya. Bagaimana mungkin keadilan bisa ditegakkan jika libido hakim sedang disogok oleh seks yang disodorkan di pangkuannya?
Seperti dikatakan sastrawan Perancis, Michel Houellebecq, seks itu tak bisa dilepaskan dari kekuasaan dan politik. Itulah sebabnya, seks juga tak ”terbagi” secara adil. Sebagian menikmati seks dengan berlimpah. Mereka ini adalah kaum yang kaya, berkuasa, dan berwajah cantik atau menawan. Sebagian memperoleh kenikmatan seks dengan amat kurang. Mereka ini adalah kaum yang terbuang, miskin, dan kurang menarik wajahnya. Dunia pengadilan kita adalah dunia politik dan kuasa. Tak heran jika pengadilan kita memberi kesan glamor dan berbau wangi. Para hakimnya dekat dengan godaan seks wanita-wanita cantik, seperti digambarkan dalam ”Pawang Kesurupan”. Kesurupan membuat orang berubah muka. Ia bisa jadi Dasamuka, manusia bersepuluh muka, bertangan dua puluh. Itulah yang digambarkan Subandi dalam lukisan ”Kesurupan Dasamuka”. Dasamuka atau Rahwana raja serakah, lambang makhluk kesurupan angkara murka. Dewasa ini dunia politik kita kesurupan roh Dasamuka.
Maka, keangkaramurkaan Rahwana membuat para penguasa tak sadar diri. Mereka tak bisa mengendalikan nafsu lagi karena kepalanya berubah jadi sepuluh, masing-masing didera keserakahan tak ada batasnya. Tangan mereka pun berubah jadi banyak. Tampak tangan-tangan yang menggenggam gepokan uang ratusan ribu, dollar, dan cek lawatan. Lainnya mengepal buku pengadaan Kitab Suci, buku pelajaran berjudul ”Di-Mark Up Saja”. Tangan lain lagi mencengkeram simulator SIM dan sertifikat Hambalang. Yang lainnya lagi menggenggam jarum suntik bertuliskan alat kesehatan, barbel berterakan wisma atlet, dan HGU kelapa sawit.
Nyaris tak ada hal yang tak diserakahi oleh Dasamuka yang angkara murka. Bahkan, sepuluh tangan lain masih mencangking perempuan-perempuan setengah telanjang. Sehari-hari kita melihat keangkaramurkaan penguasa berlalu lalang. Kita tak mengenal wajah mereka sebenarnya. Padahal, sesungguhnya wajah mereka mengerikan: wajah yang kesurupan angkara murka, seperti wajah Dasamuka.
Kesurupan adalah idiom jatilan. Namun, harap diingat, dalam jatilan kesurupan tak berkenaan dengan roh jahat. Orang menganggap yang menyurupi pemain jatilan adalah roh-roh halus atau roh para danyang pedesaan. Tak heran, ketika ndadi atau trance, pemain jatilan itu bisa menghibur dan menggembirakan penonton. Atau kalau mereka mulai liar, dengan mudah dijinakkan karena, katanya, pawang mengenal roh-roh yang menyusupi.
Kesurupan macam itu kiranya lain dengan kesurupan yang dimaksudkan para seniman dalam pamerannya kali ini, yakni kesurupan kekuatan luar, yang mendorong manusia melakukan perbuatan busuk. Dalam bahasa agama, kekuatan ini disebut sebagai kekuasaan jahat atau roh jahat. Orang yang dirasuki mudah melakukan perbuatan najis. Dalam agama monoteis, najis pertama-tama terkait penyembahan berhala, pelanggaran perintah Allah, dan zina. Namun, lebih dari itu, najis juga berkaitan dengan perbuatan jahat lain. Maka, karena sama-sama didorong roh jahat, korupsi juga perbuatan najis, sama seperti perbuatan najis lain. Karena melakukan perbuatan najis, koruptor seharusnya terkucil dan ternista, persis seperti zina atau penyembahan berhala.
Untuk mempermalukan koruptor yang suka berlindung di balik agama, mungkin perlu diingatkan, sesungguhnya mereka telah melakukan perbuatan najis sehingga boleh disebut orang najis. Kalau memang mereka takut Allah, hukuman macam itu tentu lebih mengerikan daripada dikatakan bahwa korupsi hanya sekadar penumpukan harta yang melanggar hukum.
Dalam realitas, roh jahat tak hanya menyurupi hati individu, tetapi juga bersembunyi dalam struktur-struktur sosial. Struktur sosial yang kesurupan roh jahat akan memblokir segala upaya manusia membuka masa depan yang lebih baik dan memenjarakannya dalam kekinian yang terus membusuk. Struktur itu membelenggu orang untuk terus melakukan kebohongan, kemunafikan, dan keserakahan. Struktur itu membuat orang berperilaku najis. Secara teologis, ia menjadi manusia yang tak bisa lagi melihat keselamatan. Atau seperti dikatakan Albert Camus: ia jadi manusia yang hanya bisa berpegang pada dosa dan tak bisa berpegang pada rahmat yang membebaskannya.
Dalam teologi terus diperdebatkan apakah kekuatan jahat itu riil atau tidak. Pendapat klasik mengatakan, kejahatan itu adalah privatio boni, perampasan kebaikan. Maksudnya, kejahatan itu tak riil ada, yang riil adalah kebaikan yang dirongrong dan dibusukkan. Debat teologi tentang riil tidaknya kekuatan jahat sebenarnya hanya hendak bermuara: janganlah manusia sebagai insan bebas merdeka mengelak tanggung jawabnya, lalu melemparkan tanggung jawab pada kekuatan di luar dirinya, bernama roh jahat, ketika ia melakukan tindakan yang salah.
Kata ilmuwan sosial terkenal Inggris, Terry Eagleton, kekuatan jahat itu sesungguhnya bersembunyi dalam diri manusia, yang tak dapat mempertahankan hidupnya. Betapapun kuat dan pintar, manusia yang disurupi nafsu kekuasaan atau korupsi sesungguhnya manusia lemah dan rapuh kemerdekaan dan tanggung jawabnya. Politikus yang kesurupan roh gila kuasa dan korupsi sesungguhnya manusia berkualitas paling rendah dalam kemerdekaan dan tanggung jawabnya.
Kusir yang Kalah
Mari sejenak menyimak alegori Plato seperti pernah dikemukakan Uskup Westminster, Vincent Nichols. Oleh Plato, jiwa manusia dialegorikan kereta yang ditarik sepasang kuda, putih dan hitam. Kuda hitam itu nafsu dan hasrat kita yang irasional, yang memberi energi, tapi sering di luar kontrol. Kuda putih adalah keberanian, kreativitas, dan niat luhur kita. Kedua kuda harus berjalan seimbang. Jangan sampai saling mendahului. Untuk itu perlu kusir andal. Sayangnya, kata Nichols, kita sering tak bisa jadi kusir andal. Kita membiarkan kuda hitam jadi binal dan kita terjerumus ke dalam materialisme dan konsumerisme berlebihan. Paham Jawa mengajarkan hal serupa: manusia harus jadi traju sing ora njomplang (timbangan yang tak berat sebelah). Manusia harus terus menjaga keseimbangan antara kebutuhan lahir dan batin. Traju manusia sulit dipulihkan jika telanjur rusak.
Dewasa ini traju kita sedang rusak. Di mana-mana kita jumpai anak bangsa, yang hanya diperbudak kebutuhan lahirnya, jadi orang gila kuasa dan koruptor yang lupa daratan. Kita tak bisa lagi menyeimbangkan kebutuhan lahir dan batin kita. Karena itu, kita juga tak dapat lagi jadi kusir andal bagi kuda-kuda kita. Kita membiarkan diri dikendalikan dan diperbudak kuda nafsu akan kekuasaan dan harta. Kuda nafsu jadi liar membinal tidak keruan. Kita kehilangan tanggung jawab dan kemerdekaan. Lama-lama kita menyatu dengan kuda nafsu dan kebusukan: kita jadi orang kesurupan. Kita membiarkan diri diperbudak oleh roh jahat untuk berbuat najis terhadap negara dan bangsa sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar