Selasa, 22 Januari 2013

Generasi Biru


Generasi Biru
Sukardi Rinakit ;  Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 22 Januari 2013



Di sela-sela keprihatinan karena banjir yang melanda Jakarta dan bangkitnya solidaritas warga, saya teringat seorang teman, Saipul Bahri, yang selama ini bekerja tulus untuk warga. Dia punya kapabilitas, bergelar MSi, dan sudah lama menjadi sekretaris kelurahan. Namun, promosi lurah tidak pernah mampir di mejanya.
Ketika hal tersebut secara sederhana saya sampaikan kepada putri penulis, Hana (10), dia bersenandung sumbang potongan lagu dari grup musik Slank, ”Hidup sederhana, gak punya apa-apa tapi banyak cinta, hidup bermewah-mewahan, punya segalanya tapi sengsara, seperti para koruptor.”
Mendengar itu, penulis tersenyum dan teringat pernyataan Jusuf Kalla bahwa 2013 adalah tahun pencarian. Semoga Gubernur Joko Widodo menemukan pelayan masyarakat seperti teman itu. Semoga partai politik yang sedang mencari figur-figur potensial untuk menjadi calon anggota legislatif, kandidat presiden dan wakil presiden, berani menolak lamaran koruptor dan menepikan politisi busuk yang ada di tubuh partai.
Tahun Perburuan
Apabila Jusuf Kalla menyebut tahun ini sebagai tahun pencarian, agar ada efek dramatiknya, saya lebih suka menyebut sebagai tahun perburuan.
Sampai April 2013, misalnya, para politisi akan memburu pimpinan partai untuk memastikan nama mereka masuk daftar calon anggota legislatif. Setelah masalah ini selesai, mereka akan memburu dana politik, mempersiapkan tim sukses, dan membangun jejaring sosial sebagai pendamping mesin partai yang kerap kurang maksimal dalam bergerak.
Sebaliknya, untuk menyelamatkan suara partai agar melampaui ambang batas parlemen, partai politik menyadari betul mereka harus mendapatkan calon anggota Dewan yang mempunyai kapabilitas dan elektabilitas tinggi. Di sini, kemampuan finansial, dan bukan kesamaan ideologi, yang secara umum menjadi pertimbangan utama lolosnya seorang calon. Karena itu, praktik politik di republik ini sering disebut sangat pragmatis.
Selain itu, sebagai bagian integral dari upaya mengangkat perolehan suara partai dalam pemilu legislatif, mereka juga mulai mengelus-elus kandidat presiden. Ini berkorelasi positif dengan budaya politik Indonesia yang lebih bersandar pada ketokohan daripada kerja partai. Popularitas dan karakter tokoh dipastikan bisa mengangkat pamor partai, sedangkan infrastruktur dan pamor partai sejauh ini terbukti gagal mengangkat popularitas ketua umum partai.
Hal itu bisa dibuktikan dengan naiknya pamor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Demokrat, dan Partai Gerindra mengikuti popularitas Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Prabowo Subianto. Secara diametral, fenomena tersebut terjadi di Partai Golkar. Tingginya hasil jajak pendapat terhadap Golkar sejauh ini belum mendongkrak elektabilitas Aburizal Bakrie. Inilah bukti bahwa sejarah politik kita adalah sejarah ketokohan, bukan sejarah partai.
Fenomena tersebut tentu saja membuat ranah politik menjadi berisik tahun ini. Ribuan calon anggota Dewan, partai-partai politik, para calon presiden dan wakil presiden, semua bermanuver. Tiap aktor ingin merebut ruang publik yang ada, baik melalui media massa, media sosial, maupun tatap muka. Mereka memburu simpati publik.
Situasi berisik akan semakin parah karena secara prediktif efektivitas pemerintahan SBY diperkirakan menurun dibandingkan dua tahun sebelumnya. Ini berkaitan dengan eksistensi 18 menteri yang berasal dari partai politik dan ”pecahnya” koalisi partai berkuasa yang tergabung dalam sekretariat bersama.
Secara hipotesis, sejak Januari ini, Golkar dan PKS kemungkinan sudah menimbang-nimbang untuk menjadi spoiler. Dengan menjadi kritis, mereka berharap akan mendapatkan sokongan rakyat. Adapun PAN, PPP, dan PKB tampaknya hanya akan menunggu sambil mencermati arah dan dinamika politik yang terjadi.
Meskipun SBY sudah mengimbau agar para menteri fokus bekerja, dalam praktiknya rasanya mustahil. Siapa pun menteri yang berasal dari partai politik, perhatiannya pasti terbelah. Secara obyektif mereka dipaksa keadaan, seperti harus memenuhi keinginan para kader yang ingin bertemu dan meyakinkan tokoh-tokoh populer yang berhasil direkrut untuk calon anggota Dewan.
Selain itu, kebisingan politik juga akan disumbang oleh saling serang antarpartai karena ada politisi mereka yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dugaan korupsi yang melibatkan politisi dari partai tertentu akan dijadikan amunisi oleh partai lain untuk memburu lawan politiknya. Ini merupakan kepingan dari gerakan penggembosan menuju kontestasi akbar nanti.
Melihat gerak masyarakat sipil, tumbuhnya kelas menengah, dan usia penduduk muda (rata-rata 27,5 tahun), sebuah generasi baru sedang tumbuh di Indonesia. Ibarat laut dan langit yang luas dan biru, anak-anak muda ini mempunyai independensi tinggi.
Oleh sebab itu, apabila partai politik tidak berani mengambil langkah radikal dengan menyingkirkan para politisi busuk dari tubuhnya, dipastikan ia akan mendapatkan gelombang perlawanan, setidaknya ditinggalkan, karena dinilai tidak menjunjung kebajikan politik.
Inilah generasi yang nantinya memanggul adagium bahwa berpolitik adalah dalam rangka bernegara, dan bernegara adalah berkonstitusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar