Menunggu El
Clasico di Pilgub
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar di
Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center
Murdoch University
|
JAWA
POS, 22 Januari 2013
PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur 2013 sudah di depan mata. Pada pilgub
kali ini, beberapa kalangan memprediksi pasangan incumbent Soekarwo-Gus Ipul (KarSa) akan
mudah memenangi pemilihan gubernur. Meski, dalam pertarungan nanti, salah
satu penantang utama -pada Pemilihan Gubernur 2008-, yaitu Khofifah Indar
Parawansa, memberikan sinyal untuk maju kembali pada pilgub 2013.
Tulisan ini selanjutnya akan menerka dinamika pilgub 2013. Apakah pilgub berlangsung secara adem ayem ataukah nanti menjadi perulangan duel keras El Clasico antara KarSa dan Khofifah. Selama hampir lima tahun memimpin Jawa Timur, Soekarwo-Gus Ipul memang telah menorehkan beberapa prestasi penting, terutama mengangkat popularitas Soekarwo di mata warga Jawa Timur. Sebagaimana diuraikan riset Republik Institute pada 28 Mei hingga 28 Juni 2012, tingkat elektabilitas Soekarwo memang cukup besar, yaitu sekitar 53,9 persen dengan popularitas 98,1 persen dibanding lawan tertangguhnya Khofifah Indar Parawansa 22,7 persen dengan popularitas 91,2 persen. Namun, yang perlu dipertimbangkan ketika membaca data ini adalah politik itu berkarakter dinamis dengan penurunan dan kenaikan tren popularitas yang terus berjalan. Pembaca tentu masih ingat drama Pilwali Surabaya 2010 yang memenangkan pasangan Risma-Bambang sebagai wali kota-wakil wali Kota Surabaya. Awalnya, tingkat elektabilitas Tri Rismaharini kurang dari 5 persen sebelum kemudian melesat lebih dari 20 persen ketika dicalonkan PDIP. Berangkat dari realitas contoh Surabaya, meski tingkat elektabilitas Khofifah (22,7 persen) masih di bawah Soekarwo (53,9 persen), bukan jaminan pilgub nanti dimenangi dengan mudah oleh pasangan Soekarwo. Gambaran sengitnya pertarungan nanti, tampaknya, disadari baik oleh Soekarwo maupun Saifullah. Soekarwo beberapa waktu terakhir terlihat melakukan konsolidasi politik ke partai-partai di Jawa Timur. Tentu dengan maksud secara aklamasi partai-partai tersebut akan merapat kepada dirinya. Sementara itu, yang menarik adalah sikap Saifullah yang terlihat galau untuk menentukan sikap antara kembali berpasangan dengan Soekarwo atau maju sendiri. Kegalauan Saifullah itu beralasan, mengingat dia berada di posisi Jatim-2 yang berduet dengan Soekarwo. Karena itu, dia akan berhadapan dengan basis sosial asalnya, yaitu konstituen nahdliyin yang saat ini berkonsentrasi mengusung kadernya sebagai Jatim-1. Pilihan dilematis itu tentu wajar membuat Saifullah saat ini sempat mengalami kegalauan politik, meski kecenderungan terakhir beliau memberikan sinyal akan merapat kembali ke Soekarwo. Peta Partai Politik Membaca peta dinamika politik dalam pilgub Jawa Timur mendatang, tentunya peran partai politik tidak bisa dikesampingkan. Meski kondisi politik terkini memperlihatkan pentingnya figur dibanding partai politik, dalam pilgub 2013 ke depan, partai politik masih memiliki peran penting. Mengingat, pilgub 2013 adalah momen politik bagi konsolidasi partai menjelang pileg 2014 dan pilpres 2014. Pilgub menjadi ajang unjuk performa empat kekuatan partai di Jawa Timur. Yaitu, Partai Demokrat, PDIP, Partai Golkar, dan PKB. Kondisi yang memprihatinkan dihadapi Partai Demokrat di Jawa Timur. Partai pemenang Pemilu 2009 yang diketuai Soekarwo di Jawa Timur tersebut dalam putaran pilkada di provinsi ini ternyata tidak memperlihatkan superioritasnya. Catatan kemenangan, misalnya, hanya menunjukkan beberapa prestasi kemenangan seperti sebagai partai pengusung di Pacitan, kota kelahiran Presiden SBY, dan menjadi pengikut dalam pilkada di Blitar, Malang, serta Lamongan. Hal yang kontras dengan prestasi PDIP yang terbukti berhasil menang di banyak tempat seperti Surabaya, Kota dan Kabupaten Blitar, Kediri, Ngawi, Jember, Trenggalek, serta Banyuwangi. PDIP akan memanfaatkan momen pilgub 2013 sebagai konsolidasi politik menuju pileg dan pilpres 2014. Pilihan terbaik PDIP adalah menempatkan diri sebagai kekuatan oposisi sebagai persiapan melawanincumbent Partai Demokrat pada pilpres 2014. Bila memilih sebaliknya, akan menjadi antiklimaks pertarungan bagi PDIP. Kedua terkait dengan kekuatan politik utama NU, yaitu PKB. Setelah kondisi genting dengan turunnya suara PKB dalam pileg 2009 yang hanya menempatkan 13 kursi di DPRD Jawa Timur, hal yang sama terjadi pada PPP dan PKNU. Hasil verifikasi terakhir bahkan menempatkan PKNU harus tersingkir tidak bisa maju pada pileg 2014. Kondisi genting yang dihadapi kekuatan politik NU tersebut mengharuskan mereka mengusung kadernya untuk menjadi gubernur dalam 2013. Suka tidak suka, kekuatan politik NU harus all-out untuk mengusung kadernya bila mereka tidak ingin ditinggalkan konstituennya pada pileg 2014. Hal itulah yang merisaukan Saifullah bila kembali ke KarSa. Ketiga adalah Golkar. Bila melihat dalam pilgub 2008 Ketua DPD Golkar Martono menjadi ketua tim sukses Soekarwo, sangat mungkin suara Golkar merapat ke KarSa. Ketika membaca peta politik kepartaian tersebut, setidaknya akan terjadi pertarungan yang seru di antara empat besar partai politik. Sebab, tidak semua kekuatan politik akan mendukung KarSa. Di luar kontestasi di tingkat partai-partai tersebut, yang juga patut dilihat adalah basis masyarakat sipil dalam menetukan suara mereka. Posisi Khofifah sebagai ketua Muslimat NU tentu cukup penting dalam mengonsolidasikan basis akar rumput NU serta pemilih perempuan. Hal itu akan berhadapan dengan figur Soekarwo yang saat ini tercitrakan sebagai pemimpin populer. Akhirnya, pilgub 2013 akan menjadi sebuah pertarungan yang seru seperti El Clasico, seseru duel FC Barcelona dan Real Madrid. Tentunya, pertarungan indah penuh semangat itu kita harapkan dengan asumsi tidak terjadi politisasi birokrasi, money politics, dan kecurangan-kecurangan sistemik. Malulah berbuat curang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar