Selasa, 15 Januari 2013

Kelahiran Kekuatan Mencintai


Kelahiran Kekuatan Mencintai
Yudi Latif ;  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 15 Januari 2013

  

Tahun baru mestinya menjadi momen kelahiran kembali semua orang. Bunyi trompet pergantian tahun menandai ritus peralihan: mengeluarkan yang buruk ke masa lalu, memasukkan yang baik ke masa depan.
Krisis Indonesia terjadi karena reformasi melalui trayek yang salah: mempertahankan yang buruk, membuang yang baik. Tradisi korupsi lebih giat dipertahankan, tetapi tradisi pelayanan publik lebih malas dikembangkan. Kepedulian kuasa lebih diarahkan untuk mempertahankan kekuasaan dengan kiat korupsi, kolusi dan nepotisme yang lebih bebal ketimbang mengembangkan nilai-nilai baru pemerintahan yang baik dan bersih.
Luput dari keinsafan, bukan berapa lama kita berkuasa, melainkan nilai apa yang kita berikan selama berkuasa. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah semakin lama berkuasa, makin banyak kebaikan yang ditanam; seburuk-buruknya kekuasaan adalah semakin lama berkuasa, makin banyak keburukan yang ditinggalkan.
Pangkal keburukan kekuasaan bermula ketika orang lebih terobsesi ”cinta kekuasaan” (the love of power) ketimbang ”kekuasaan untuk mencintai” (the power to love). Krisis kenegaraan di negeri ini terjadi karena jagat politik lebih didekap orang-orang yang mencintai kekuasaan ketimbang mereka yang menggunakan kekuasaan untuk mencintai.
Dalam krisis yang butuh kekuasaan yang bertanggung jawab pada kebaikan hidup bersama, para pemimpin justru lebih mencintai kekuasaan yang melayani kepentingannya sendiri. Seperti ironi yang dikeluhkan Thomas Paine, ”Ada saat-saat yang menguji jiwa manusia. Tentara tua (summer soldier) dan patriot muda (sunshine patriot), dalam krisis ini, menghindarkan diri dari pelayanan terhadap negerinya.”
Kemiskinan terparah bangsa ini bukanlah kemiskinan sumber daya, melainkan kemiskinan jiwa. Di tangan para pemimpin dengan mental pengemis; yang tak bisa memberi-melayani, hanya bisa diberi-dilayani, seberapa banyak pun kekayaan sumber daya yang kita miliki tak akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya.
Oleh karena itu, di momen kelahiran kembali di tahun baru ini, yang perlu kita hidupkan adalah kekayaan jiwa: the power of love. Cinta adalah obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, dan harapan bagi kebuntuan.
Kebanyakan penyakit ditimbulkan oleh kalbu yang kusut. Kekusutan jiwa diantarkan ke dalam tubuh, menimbulkan ketegangan antara hati yang sakit dan tubuh yang sehat, berujung pada kerontokan. Obat paling mujarab untuk sakit mental, menurut Sigmund Freud, adalah cinta. Sedemikian kuatnya daya kuratif cinta sehingga Freud memandang ”psikoanalisis pada hakikatnya merupakan pengobatan lewat cinta”.
Cinta menimbulkan banyak perbedaan. Orang yang bangkit dari keterpurukan kerap menuding kasih orangtua atau guru yang memotivasinya berubah secara positif. Secara historis, jalan cinta inilah yang membuka jalan pembebasan Indonesia; membuat ide nasionalisme berpendar dari lingkaran ”wong elite” menjadi kesadaran ”wong alit” (kecil). Bung Karno mengingatkan, seorang pemimpin dengan ketulusan cinta harus mampu membujuk rakyat untuk mengenali arah perjuangan yang hendak dituju; pemimpin harus dapat membangkitkan keyakinan jika mereka mampu mencapai tujuan; dan pemimpin harus bisa mendorong rakyat bertindak menggapai tujuan yang telah ditetapkan. Inilah yang disebut Soekarno sebagai trilogi daya cinta kepemimpinan: spirit kebangsaan, tekad kebangsaan, dan perbuatan kebangsaan.
Ketahanan daya cinta ini pula yang menjaga napas kebangsaan. Di tengah cengkeraman korupsi, kekerasan, dan mafioso, kita jarang mendengar kisah perjuangan, kepahlawanan, dan keberhasilan, tetapi sesungguhnya negeri ini masih menyimpan banyak pejuang cinta tanpa pamrih. Misalnya ”Suster Apung” Andi Rabiah, dengan kekuatan cinta menyirami bumi yang kering, merenda kembali dunia yang terkoyak.
Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. ”Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka,” ujar Lao Tzu.
Memasuki tahun baru, seribu masalah menghadang kita, tetapi kekuatan cinta akan membuat yang sempit jadi lebar, yang pengecut jadi pemberani, yang miskin jadi kaya. Di dalam kekuatan cinta, sesulit apa pun tantangan dan krisis yang kita hadapi, ”kita akan tetap menjadi bangsa yang kuat, yang ototnya kawat, dan balungnya besi; yang di dalam tubuhnya bersarang jiwa yang terbuat dari zat yang sama dengan zatnya halilintar dan guntur”.
Kekuatan cinta tak mengenal putus asa. Seperti diingatkan Bung Karno, ”Dan kita harus sabar, tak boleh bosan, ulet, terus menjalankan perjuangan, terus tahan menderita. Kita harus jantan! Jangan putus asa, jangan kurang tabah, jangan kurang rajin. Ingat, memproklamasikan bangsa adalah gampang, tetapi menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya, itu sukar. Hanya rakyat yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang saya sebutkan tadi—rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat yang jantan—hanya rakyat yang demikianlah dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki mutiara harus ulet menahan napas dan berani terjun menyelami samudra yang sedalam-dalamnya.” ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar