Citra Melekat
Kementerian Agama
Ibnu Djarir ; Ketua Majelis Ulama (MUI) Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 14 Januari 2013
"Semua jajaran Kemenag harus memahami
dan mengamalkan semboyan ’’Ikhlas Beramal’’ dari kementerian itu"
KEMENTERIAN Agama
(Kemenag) yang lekat dengan label agama logis menjadi tumpuan harapan warga
negara Indonesia yang Pancasilais ini menjadi lembaga yang membina keimanan,
ketakwaan, dan akhlak bangsa. Masyarakat meyakini agama merupakan landasan
moral, budi pekerti, karakter atau akhlak. Karenanya, menjadi kewajaran bila
masyarakat menaruh harapan besar kepada seluruh jajaran di kementerian itu
untuk senantiasa menunjukkan perilaku terpuji, dan bisa menjadi anutan.
Sebaliknya, seandainya
mendengar atau menjumpai ada oknum di kementerian tersebut melakukan
perbuatan tidak terpuji, bertentangan dengan ajaran agama maka masyarakat tak
hanya merasa heran tapi juga kecewa, dan tidak ikhlas. Presiden pertama
Indonesia Soekarno ketika melantik Menag KH Saifuddin Zuhri antara lain
mengatakan, ’’agama adalah unsur mutlak dalam nation and character buildingî.
Penegasan itu mengandung
tafsir Kemenag adalah lembaga pemerintah yang mempunyai tugas penting dalam membangun
karakter dan bangsa, bersama-sama dengan lembaga lain. Hal itu makin
menegaskan arti penting agama dalam kehidupan bangsa Indonesia, sekaligus
perlunya pemerintah mengurusi masalah agama.
Arti penting agama dalam
kehidupan bangsa dan negara juga tercantum dalam UUD 1945 Pasal 29 dan
ketetapan dari lembaga tertinggi negara, baik MPRS maupun MPR. Meski dengan
rumusan kalimat berbeda, substansi dari ketetapan itu berintikan sama, yakni
menjadikan agama sebagai sumber inspirasi, moral, dan etika bangsa kita.
Mengingat agama merupakan
sumber moral maka pemerintah memberikan pendidikan agama kepada anak-anak
bangsa, baik melalui lembaga pendidikan negeri maupun swasta. Pendidikan
agama di sekolah negeri merupakan bagian dari tugas Kemenag dan Kemendikbud,
yang bertujuan pokok antara lain mendidik siswa supaya memiliki moral, budi
pekerti, karakter atau akhlak mulia.
Dengan demikian, kita bisa
menyimpulkan bahwa Kemenag dan Kemendikbud mempunyai tugas strategis yang
berkaitan dengan pendidikan akhlak bangsa. Menjadi wajar pula bila pegawai
dua kementerian itu juga harus bekerja berlandaskan moral, budi pekerti,
karakter atau akhlak mulia.
Beberapa waktu lalu media
massa memberitakan bahwa menurut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laporan
pertanggungjawaban keuangan Kemenag tahun 2011 berstatus ’’wajar tanpa
pengecualian’’ (WTP). Adalah Ketua BPK Hadi Purnomo yang menyampaikan
penilaian itu kepada Menag Suryadharma Ali di Gedung BPK Jakarta (14/06/12).
Berita tersebut tentu
menggembirakan masyarakat, terutama pegawai Kemenag, karena memberi citra
positif bagi kementerian itu. Hal itu selaras dengan harapan masyarakat bahwa
kementerian yang berlabel agama harus bisa menunjukkan kinerja sebagai
lembaga yang bersih.
Tetapi, tak lama kemudian
muncul berita mengejutkan, yaitu keterungkapan dugaan kasus korupsi dalam
pengadaan Alquran dan penyediaan alat-alat laboratorium komputer untuk
madrasah tsanawiyah (MTs). Kemudian menghangat lagi berita tentang dugaan
penyelewengan dana penyelenggaraan ibadah haji, yang juga pernah mengemuka
beberapa waktu sebelumnya.
Ikhlas
Beramal
Terkait dengan berita yang
mencoreng nama baik kementeriannya, Menag cepat tanggap dan mengambil
tindakan bersih-bersih. Ia mengangkat Anggito Abimanyu sebagai Dirjen
Penyelenggaraan Haji dan Umrah, disusul mengangkat Muhammad Yasin sebagai
inspektur jenderal (irjen). Sebagai pejabat baru, Yasin menemukan rekening
gendut beberapa pejabat Kemenag, dugaan penyimpangan dana penyelenggaraan
ibadah haji, dan dugaan pungli pada hampir seluruh KUA kecamatan.
Meski pernyataan Yasin itu
masih berupa dugaan, untuk kementerian yang dianggap sebagai acuan moral, hal
itu menimbulkan keprihatinan mendalam pada kalangan pemuka agama, tak hanya
masyarakat. Berita negatif itu seharusnya bisa menggugah seluruh pegawai Kemenag
untuk menyadari tugas suci kementerian itu. Senyampang korupsi itu belum
mewabah, pimpinan harus bersikap tegas dalam membersihkan jajarannya.
Semua pegawai Kemenag
harus memahami dan mengamalkan semboyan ’’Ikhlas
Beramal’’ dari kementerian
itu. Yang dimaksud ikhlas adalah seseorang atau sekelompok orang yang dalam
ucapan, amal, dan perjuangannya diniati semata-mata karena Allah swt dan
mencari rida-Nya, tanpa pamrih mencari kekayaan, kemasyhuran, pujian, gelar,
dan jabatan.
Secara umum dapat
digambarkan bahwa pegawai Kemenag dalam tugas sehari-hari banyak berkaitan
dengan pembinaan keimanan, ketakwaan, dan akhlak. Maka dapat diasumsikan
bahwa mereka lebih mengutamakan perbuatan positif dan menjauhi perbuatan
negatif. Berdasarkan asumsi itu pula maka kita ’’berharap’’ pegawai yang
melakukan perbuatan tercela itu hanya berjumlah kecil, dan praktik itu tidak
sampai menggurita.
Untuk itu, pimpinan
Kemenag harus lebih rajin turun ke bawah, membina pegawai guna membangun
kesadaran menjaga nama baik kementerian yang diharapkan oleh masyarakat dapat
memberikan keteladanan dalam pengamalan akhlak. Program bersih-bersih
hendaknya dilakukan secara menyeluruh, tanpa pandang bulu, dan dilakukan
berkesinambungan. Perlu pula meningkatkan peran tugas pengawasan internal
menuju keterwujudan kementerian yang bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar