Sabtu, 12 Januari 2013

Fans Club, Partai, dan Demokrasi


Fans Club, Partai, dan Demokrasi
Yunarto Wijaya ; Direktur Riset Charta Politika Indonesia
MEDIA INDONESIA, 12 Januari 2013



 SUKA atau tidak, partai ialah pilar terpenting dalam proses demokratisasi suatu bangsa. Partai ialah instrumen yang menjembatani elite dalam mengejawantahkan kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Sayangnya kondisi empirik perpolitikan negara kita malah menunjukkan gejala yang berbeda. Dalam beberapa survei persepsi publik, partai tidak lagi dianggap sebagai aktor politik yang cukup dipercaya masyarakat untuk mewakili kepentingan mereka.

Salah satu yang sering dikritik ialah keberadaan partai yang lebih berfungsi menjadi mesin politik seorang tokoh semata. Sebuah fenomena yang sering saya sebut sebagai fenomena fans club. Fenomena itu sebenarnya sudah menghinggapi banyak partai, baik partai lama ataupun partai baru. Sebuah ironi di dalam sebuah proses reformasi sistem politik yang sudah berjalan sekitar 14 tahun.

Contoh pertama ialah Partai Demokrat. Sebutan fans club itu sangat melekat manakala partai terlihat lebih menonjol sebagai `mesin politik' seorang tokoh daripada tampil sebagai organisasi modern. Hal itu terlihat dari bagaimana kuatnya ketergantungan partai tersebut pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ditempatkan sebagai ketua dewan pembina, ketua majelis tinggi, sekaligus ketua dewan kehormatan. Kondisi itulah yang membantah klaim bahwa partai itu bisa diasosiasikan sebagai role model dari catch all party ala Kircheimer (1966) ataupun electoral professional party ala Panebianco (1988).

Kondisi yang tidak jauh berbeda sebenarnya juga terjadi di beberapa partai lain. Sebut saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang masih sangat bergantung pada sosok Megawati. Bukan hanya dalam konteks pencalonan presiden, ketergantungan pada sosoknya sangat terlihat dari hasil aklamasi pemilihan ketua umum dan pemberlakuan sistem formatur tunggal dalam pembentukan kepengurusan DPP.

Tidak jauh berbeda, sentralisasi kekuasaan juga terlihat di partai yang masih relatif baru seperti Hanura dan Gerindra. Indikasi paling jelas terlihat dari bagaimana kedua partai itu sudah bisa mengumumkan siapa yang akan menjadi calon presiden (capres) mereka di pemilu mendatang. Tidak aneh kalau publik mengidentikkan Hanura sebagai partai Wiranto dan Gerindra sebagai partai Prabowo Subianto.

Yang tidak kalah mengejutkan ialah kondisi yang terjadi di Partai Golkar. Partai yang terkenal karena infrastruktur politiknya itu menampilkan wajah yang berbeda pascaMunas Riau 2010. Jika dilihat dari konstelasi isu yang ada, partai itu terlihat seperti menghabiskan energi mereka terlalu banyak untuk berbicara mengenai pencalonan Aburizal `Ical' Bakrie sebagai presiden. Bahkan secara kasatmata terlihat bagaimana tampilan dari atribut-atribut partai dalam setiap acara yang lebih menonjolkan sosok Ical jika dibandingkan dengan branding partai.

Keadaan itu menunjukkan bagaimana pemilu damai yang selalu kita banggakan pascareformasi belumlah teruji secara kualitatif. Perubahan sistem politik kita ternyata belum diikuti sebuah evolusi sistem kepartaian yang mampu menampung nilai-nilai demokrasi. Demokrasi kita masih diisi partai-partai yang tidak bisa melepaskan dirinya dari apa yang disebut dengan `demokrasi kultus'.

Demokrasi Elitis

Fenomena fans club itu pada akhirnya akan melestarikan budaya feodal dan oligarkis dalam tubuh partai. Partai lebih terlihat sebagai kerumunan elite yang lebih mengurus kepentingan mereka sendiri (Katz dan Mair, 1995). Karakter partai seperti itulah yang kemudian melahirkan demokrasi yang sifatnya elitis.

Karakter demokrasi elitis itu, paling tidak, bertentangan dengan tiga dari tujuh indikator demokrasi secara empiris yang diajukan Robert Dahl (Robert Dahl, 1989). Pertama, akuntabilitas. Dalam demokrasi setiap pemegang jabatan yang dipilih rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan dan telah ditempuhnya. Hal itu tentu saja harus diikuti transparansi setiap kebijakan yang akan atau sudah dibuat.
Kedua, rotasi kekuasaan, sebuah esensi utama dari demokrasi yang menolak adanya kekuasaan yang tak berkesudahan. Ketiga, rekrutmen politik yang terbuka, untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, hal itu berkaitan dengan pemberlakuan hak bagi siapa pun untuk bisa memegang otoritas kekuasaan dalam sebuah mekanisme yang berimbang dan adil.

Contoh yang paling riil ialah ketika melihat bagaimana proses penentuan calon kepala daerah di internal partai. Kader di level bawah dan simpatisan biasanya hanya menjadi penonton yang tinggal menunggu eputusan yang diberikan pengurus partai di daerah. Keputusan oleh pengurus daerah pun tidak jarang bisa dimentahkan begitu saja oleh DPP.

Kondisi yang hampir mirip terjadi dalam proses penentuan calon legislatif (caleg) baik di level DPR atau DPRD. Tidak ada keterbukaan yang bisa diakses oleh kader di level bawah ataupun konstituen untuk memberikan penilaian mengenai caleg yang pantas atau tidak. Isu yang lebih banyak beredar adalah berapa `mahar' yang harus disediakan apabila seseorang ingin namanya masuk daftar caleg.

Masih banyak contoh-contoh lain yang memperlihatkan bagaimana partai belum sepenuhnya menjelma menjadi organisasi modern yang bisa menopang sebuah sistem demokrasi secara utuh.

Demokrasi Partisipasi

Kondisi partai yang seperti itu tentu saja berbanding terbalik dengan perkembangan sejarah pemahaman demokrasi kontemporer yang terjadi di berbagai belahan dunia. Demokrasi partisipasi (participatory democracy) te lah menjadi tra disi baru yang berkembang seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang membuka akses luas bagi masyarakat sebagai penentu kebijakan. Di dalam demokrasi partisipasi itu, `partisipasi efektif ' menjadi salah satu prasyarat yang harus dijamin keberadaannya. Partisipasi efektif itu dapat diartikan sebagai kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif (Dahl, 1985).

Keterlibatan aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan itu bisa bersifat konsultatif ataupun dalam konteks peran yang dimainkan. Secara konsultatif, masyarakat berhak untuk memberi masukan dan diberi tahu mengenai argumentasi dalam pengambilan kebijakan. Dalam konteks peran serta, masyarakat diposisikan sejajar sebagai mitra dalam proses pengambilan keputusan (Cormick, 1979).

Dari pemahaman itu dapat terlihat bahwa proses pengambilan keputusan di dalam tubuh partai yang menihilkan peran serta kader dan masyarakat ialah bentuk penistaan terhadap demokrasi itu sendiri. Suatu bentuk penistaan yang `menyunat' hak masyarakat baik secara konsultatif ataupun dalam sifat peran mereka sebagai pemilik kedaulatan.

Suka atau tidak, fenomena fans club itu akan tenggelam dengan sendirinya dalam perjalanan waktu. Rentang usia politik seorang individu dan aturan konstitusi mengenai pembatasan jabatan akan menjadi variabel yang menegaskan keterbatasan kekuatan pengaruh seorang tokoh terhadap partainya.

Dengan berkaca pada fakta itu, kita bisa melihat bagaimana 2014 akan menjadi persimpangan yang harus dilalui oleh beberapa partai. Sebuah persimpangan untuk menentukan, apakah partai tersebut siap bertransformasi menjadi organisasi modern, atau ia lebih memilih tenggelam dalam arus besar demokrasi partisipasi dengan konstituen sebagai panglimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar