Sabtu, 12 Januari 2013

Mewujudkan Pendidikan Berkualitas dan Berkeadilan


Mewujudkan Pendidikan Berkualitas dan Berkeadilan
Syamsul Bachri S ; Ketua Poksi X FPG DPR RI
MEDIA INDONESIA, 12 Januari 2013



 UNTUK kesekian kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menorehkan keputusan yang melegakan banyak kalangan. Pada Selasa (8/1) MK mengabulkan permohonan gugatan masyarakat atas Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan Nasional No 20/2003.

Pasal yang menegaskan `Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional' dinyatakan tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan UUD 1945. Dengan putusan MK tersebut, keberadaan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah bertaraf internasional (RSBI dan SBI) tidak lagi memiliki pijakan hukum. Sebagai konsekuensinya, status dan peringkatnya sebagai RSBI dan SBI harus ditanggalkan.

Jika diselisik, semangat pemerintah mewujudkan standar pendidikan yang bermutu patut kita apresiasi. Namun sayangnya, kebijakan penyelenggaraan sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) ternyata menimbulkan ekses, implementasinya bertentangan dengan falsafah pendidikan nasional. Selama ini, tanpa disadari, implementasi kebijakan RSBI dan SBI justru terkesan menempatkan pemerintah sebagai pihak yang berperan dalam menciptakan iklim pendidikan menjadi semakin komersial, diskriminatif, elitis, dan distorsif terhadap nilainilai kultural yang dianut masyarakat Indonesia.

Aneka macam pungutan untuk membiayai mahalnya ongkos operasional RSBI/ SBI merupakan fakta yang tak bisa dibantah. Pasalnya, praktik pungutan itu dibenarkan dengan dalih adanya peraturan yang mendasarinya. Itu merujuk Permendiknas No 78/2009 Pasal 13 ayat (3) tentang penyelenggaraan SBI yang berbunyi, ‘SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk menutupi biaya kekurangan di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada RPS/RKS (rencana pengembangan sekolah/rencana kerja sekolah) dan RKAS (rencana kegiatan dan anggaran sekolah)’. Ongkos yang kelewat mahal untuk sekolah di RSBI tak urung membuat banyak kalangan menyebut RSBI dengan plesetan ‘rintihan sekolah bertarif internasional’.

Pendidikan Untuk Semua

Selain itu, kebijakan penerapan RSBI/ SBI dinilai semakin melemahkan soliditas sosial masyarakat kita. Fungsi pendidikan yang seharusnya semakin merekatkan kebinekaan masyarakat kita justru membuat kian lebarnya jurang sosial. Telah terjadi semacam kastanisasi pendidikan dalam masyarakat. Pengelompokan antara siswa yang terdapat di RSBI/SBI dan yang bukan melahirkan dampak psikologis yang kurang baik. Mereka (siswa) menjadi semakin susah untuk saling membaur satu sama lain. Akibatnya, sekali lagi, itu akan semakin menggerus semangat guyub yang menjadi modal sosial masyarakat Indonesia.

Bila mencermati berbagai dampak tersebut, putusan MK terkait dengan pembubaran RSBI/SBI merupakan putusan yang tepat. Pasalnya, penyelenggaraan pendidikan dengan konsep RSBI/SBI telah jauh melenceng dari semangat yang diperintahkan konstitusi (UUD 1945). Pembukaan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 menyatakan salah satu tujuan lahirnya negara Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa perkecualian, tanpa perbedaan.

Jadi, putusan MK sesungguhnya menegaskan pesan penting kepada pemerintah untuk menata sekaligus meletakkan kembali filosofi penyelenggaraan pendidikan kita sesuai dengan mandat konstitusi.

Salah satu tugas esensial pemerintah ialah mencerdaskan kehidupan seluruh anak bangsa, `tanpa kecuali'. Untuk mewujudkan misi mulia itu, pemerintah berkewajiban memberikan layanan pendidikan yang berkualitas sekaligus berkeadilan. Dalam pengertian, pemerintah harus memberikan kesempatan seluas-luasnya dan menjamin seluruh anak bangsa memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, terjangkau, tanpa ada pembedaan sedikit pun antara anak yang mampu dan yang tidak. Karena itu, tidak ada alasan bagi anak bangsa untuk tidak dapat memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Itulah janji konstitusi, yang sesungguhnya menjadi raison d’etre para pendiri bangsa membentuk negara Indonesia yang kita cintai.

Butuh Komitmen

Pascaputusan MK membubarkan RSBI/SBI sebagai upaya mewujudkan layanan
pendidikan yang bermutu, berkeadilan, merata, dan terjangkau untuk semua kalangan, tentunya itu menjadi komitmen kita semua, terutama pemerintah. Adalah hak konstitusional seluruh anak bangsa untuk bisa menikmati layanan pendidikan yang bermutu. Karena itu,upaya peningkatan alokasi anggaran untuk mewujudkan layanan pendidikan bermutu dan bisa dinikmati seluruh anak bangsa perlu didorong terus-menerus.

Alokasi 20% APBN untuk pendidikan kita hanyalah sekitar 4% dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut tentunya masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain (Abdul Mu'ti, Seputar Indonesia,10/1).

Sekali lagi, upaya mewujudkan pendidikan bermutu bagi semua kalangan membutuhkan pemihakan dari pemerintah. Toh sejarah telah mencatatkan pada 1950 para pendiri Republik telah merancang wajib belajar, yang bebas dari aneka macam pungutan biaya. Pada periode tersebut, masuk SD, SMP, SMA, hingga universitas hampir tidak dipungut biaya (Prof Dr Soedijarto, makalah RDPU dengan DPR).

Kini, saatnya filosofi pendidikan mesti ditata ulang. Penyelenggaraan pendidikan hendaknya dimaknai sebagai tanggung jawab dalam menciptakan suasana kependidikan dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah yang diselenggarakan pemerintah, bukan dalam hal pembiayaan. Karena dalam negara demokrasi, kepentingan masyarakat diwakili pemerintah. Pembiayaan pendidikan ditanggung negara melalui sistem perpajakan yang efisien sebagai sumber pembiayaan pendidikan. Wallahu'alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar