Mewujudkan
Pendidikan Berkualitas dan Berkeadilan
Syamsul Bachri S ; Ketua Poksi X FPG
DPR RI
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Januari 2013
UNTUK kesekian kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menorehkan
keputusan yang melegakan banyak kalangan. Pada Selasa (8/1) MK mengabulkan
permohonan gugatan masyarakat atas Pasal 50 ayat (3) UU Sistem Pendidikan
Nasional No 20/2003.
Pasal yang menegaskan `Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan satu satuan pendidikan pada semua jenjang untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional' dinyatakan
tidak berlaku lagi karena bertentangan dengan UUD 1945. Dengan putusan MK
tersebut, keberadaan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sekolah
bertaraf internasional (RSBI dan SBI) tidak lagi memiliki pijakan hukum.
Sebagai konsekuensinya, status dan peringkatnya sebagai RSBI dan SBI harus
ditanggalkan.
Jika diselisik, semangat pemerintah mewujudkan standar
pendidikan yang bermutu patut kita apresiasi. Namun sayangnya, kebijakan
penyelenggaraan sekolah berstatus rintisan sekolah bertaraf internasional
(RSBI/SBI) ternyata menimbulkan ekses, implementasinya bertentangan dengan
falsafah pendidikan nasional. Selama ini, tanpa disadari, implementasi
kebijakan RSBI dan SBI justru terkesan menempatkan pemerintah sebagai pihak
yang berperan dalam menciptakan iklim pendidikan menjadi semakin komersial,
diskriminatif, elitis, dan distorsif terhadap nilainilai kultural yang dianut
masyarakat Indonesia.
Aneka macam pungutan untuk membiayai mahalnya ongkos
operasional RSBI/ SBI merupakan fakta yang tak bisa dibantah. Pasalnya,
praktik pungutan itu dibenarkan dengan dalih adanya peraturan yang
mendasarinya. Itu merujuk Permendiknas No 78/2009 Pasal 13 ayat (3) tentang
penyelenggaraan SBI yang berbunyi, ‘SBI dapat memungut biaya pendidikan untuk
menutupi biaya kekurangan di atas standar pembiayaan yang didasarkan pada
RPS/RKS (rencana pengembangan sekolah/rencana kerja sekolah) dan RKAS
(rencana kegiatan dan anggaran sekolah)’. Ongkos yang kelewat mahal untuk
sekolah di RSBI tak urung membuat banyak kalangan menyebut RSBI dengan
plesetan ‘rintihan sekolah bertarif internasional’.
Pendidikan
Untuk Semua
Selain itu, kebijakan penerapan RSBI/ SBI dinilai semakin
melemahkan soliditas sosial masyarakat kita. Fungsi pendidikan yang
seharusnya semakin merekatkan kebinekaan masyarakat kita justru membuat kian
lebarnya jurang sosial. Telah terjadi semacam kastanisasi pendidikan dalam
masyarakat. Pengelompokan antara siswa yang terdapat di RSBI/SBI dan yang
bukan melahirkan dampak psikologis yang kurang baik. Mereka (siswa) menjadi
semakin susah untuk saling membaur satu sama lain. Akibatnya, sekali lagi,
itu akan semakin menggerus semangat guyub yang menjadi modal sosial
masyarakat Indonesia.
Bila mencermati berbagai dampak tersebut, putusan MK
terkait dengan pembubaran RSBI/SBI merupakan putusan yang tepat. Pasalnya,
penyelenggaraan pendidikan dengan konsep RSBI/SBI telah jauh melenceng dari
semangat yang diperintahkan konstitusi (UUD 1945). Pembukaan UUD Negara
Kesatuan Republik Indonesia 1945 menyatakan salah satu tujuan lahirnya negara
Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa perkecualian, tanpa
perbedaan.
Jadi, putusan MK sesungguhnya menegaskan pesan penting
kepada pemerintah untuk menata sekaligus meletakkan kembali filosofi
penyelenggaraan pendidikan kita sesuai dengan mandat konstitusi.
Salah satu tugas esensial pemerintah ialah mencerdaskan
kehidupan seluruh anak bangsa, `tanpa kecuali'. Untuk mewujudkan misi mulia
itu, pemerintah berkewajiban memberikan layanan pendidikan yang berkualitas
sekaligus berkeadilan. Dalam pengertian, pemerintah harus memberikan
kesempatan seluas-luasnya dan menjamin seluruh anak bangsa memperoleh layanan
pendidikan yang bermutu, terjangkau, tanpa ada pembedaan sedikit pun antara
anak yang mampu dan yang tidak. Karena itu, tidak ada alasan bagi anak bangsa
untuk tidak dapat memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Itulah janji
konstitusi, yang sesungguhnya menjadi raison
d’etre para pendiri bangsa membentuk negara Indonesia yang kita cintai.
Butuh Komitmen
Pascaputusan MK
membubarkan RSBI/SBI sebagai upaya mewujudkan layanan
pendidikan yang bermutu, berkeadilan,
merata, dan terjangkau untuk semua kalangan, tentunya itu menjadi komitmen
kita semua, terutama pemerintah. Adalah hak konstitusional seluruh anak
bangsa untuk bisa menikmati layanan pendidikan yang bermutu. Karena itu,upaya
peningkatan alokasi anggaran untuk mewujudkan layanan pendidikan bermutu dan
bisa dinikmati seluruh anak bangsa perlu didorong terus-menerus.
Alokasi 20% APBN untuk pendidikan kita hanyalah sekitar
4% dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut tentunya masih sangat
kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain (Abdul Mu'ti, Seputar
Indonesia,10/1).
Sekali lagi, upaya mewujudkan pendidikan bermutu bagi
semua kalangan membutuhkan pemihakan dari pemerintah. Toh sejarah telah
mencatatkan pada 1950 para pendiri Republik telah merancang wajib belajar,
yang bebas dari aneka macam pungutan biaya. Pada periode tersebut, masuk SD,
SMP, SMA, hingga universitas hampir tidak dipungut biaya (Prof Dr Soedijarto,
makalah RDPU dengan DPR).
Kini, saatnya filosofi pendidikan mesti ditata ulang. Penyelenggaraan
pendidikan hendaknya dimaknai sebagai tanggung jawab dalam menciptakan
suasana kependidikan dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah yang
diselenggarakan pemerintah, bukan dalam hal pembiayaan. Karena dalam negara
demokrasi, kepentingan masyarakat diwakili pemerintah. Pembiayaan pendidikan
ditanggung negara melalui sistem perpajakan yang efisien sebagai sumber
pembiayaan pendidikan. Wallahu'alam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar